----------------------------------------------------------
Visit Indonesia Daily News Online HomePage:
http://www.indo-news.com/
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

Salam sejahtera !

***Surat ini saya tujukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri), Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Kapolda Sumsel),
Kepala Direktorat Lalu Lintas (Kadit Lantas) Polda Sumsel serta Kepala
Satuan Lalu Lintas (Kasat Lantas) Poltabes Palembang.***

Hati saya mendidih, ketika membaca berita berjudul "Sopir Kopaja Ugalugalan,
Dua pengendara Sepeda Motor Tewas", yang dimuat dalam harian Kompas edisi
Rabu, tanggal 5 Januari 2000, halaman 6. Satusatunya keperdulian saya
terhadap Anwar -pengemudi Kopaja yang telah menjadi pembunuh itu- adalah
harapan agar ia hidup lama dalam derita dan kesengsaraan. Dan bersamaan
dengan itu, kembali sebuah pertanyaan menggema dari batin saya -dan mungkin
Anda semua- mengenai bagaimana ia bisa mendapatkan Surat Izin Mengemudi
(SIM) dengan moral yang brutal seperti itu.

Jawabnya jelas : dari Polri c/q Dit Lantas c/q Sat Lantas Polda Setempat.
Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa membawa kendaraan umum dan
sekaligus menjadi pembantai di jalan raya ? Apakah karena ia telah menyogok
oknum-oknum Polri ? Ataukah justru oknum-oknum Polri yang telah meminta
sogok darinya ? Menurut pengalaman saya, hal terakhir inilah yang tepat.

Pada tanggal 20 Februari 1997, saya berada di kantor Sat Lantas Poltabes
Palembang, dengan tujuan memperpanjang masa berlaku SIM A Umum. Pembayaran
dengan jumlah sesuai dengan yang diumumkan -sekitar Rp. 50.000- saya
bayarkan di loket. Sama sekali tidak ada niat untuk berbuat _haram_ dengan
cara menyogok petugas untuk pengurusan. Namun belum apa-apa, seorang petugas
telah meminta uang 'administrasi' pengetikan surat pengantar ke Dit Lantas
Polda Sumsel, karena ujian pengambilan SIM jenis ini musti dilakukan di
tempat tersebut. Dengak muak, saya tanyakan apakah ada ketentuan resmi yang
mengatur hal ini. Beaya yang diminta lalu saya bayar, karena petugas ini
menyatakan memang demikianlah adanya.

Di Klinik Pengemudi Dit Lantas, petugas -seorang PNS- menyatakan bahwa beaya
yang harus disetorkan adalah sejumlah Rp. 50.000. Lho, kenapa tidak sesuai
dengan pengumuman ya ? Ada tanda terimanya, tanya saya. Akan diberikan
kemudian, jawab petugas. Baiklah, batin saya, karena saya sudah melakukan
dengan cara yang benar -tidak menyogok petugas- maka tidak mungkin saya
dikibuli.

Dalam Klinik, saya bergabung dengan para pengemudi yang umumnya pembawa
kendaraan berat atau pun kendaraan umum (angkot). Dan di ruang inilah si
penguji menunjukkan perannya sebagai pembentuk malaikat maut di jalanan.

Ia membohongi para teruji -yang tidak mempunyai pendidikan yang memadai-
bahwa segala kegiatan pengujian diawasi langsung oleh Kadit Lantas, melalui
komputer. Saya tahu ia berbohong, karena saya tidak asing dengan jaringan
komputer, sementara di dalam ruangan tersebut tidak tampak kabel yang
menghubungkan alat uji dengan dunia luar.

Setelah ujian dilakukan, berramairamai para teruji -kecuali saya-
menghampiri si petugasdab menyelipkan sejumlah uang di tangannya. Sambil
menerima 'persembahan' dengan suara keras ia berkata seraya melirik saya,
"Jangan terpaksa...Yang rela saja !" Kegiatan yang sekadar formalitas ini
selesai. Yang jelas saya lulus dengan hasil paling baik, karena hasilnya
tersaji langsung. Namun belum secara keseluruhan ini belum selesai, karena
SIM harus diambil di Sat Lantas.

Pada tanggal 21 Februari 1997 (keesokan harinya), saya telah berada kembali
di kantor Sat Lantas Poltabes Palembang. Pada sebuah ruangan, kembali saya
diminta oleh seorang bintara untuk membayar uang sejumlah Rp. 55.000. Beaya
untuk apa lagi ? Dengan raut masam, ia mengatakan silakan menanyakan
langsung pada Kasat Lantas. 'Ditantang' seperti ini, tentu saja dengan
senang hati saya lakukan. Namun ternyata justru sang beliau (Kasat Lantas)
yang 'takut' menerima saya. Akibatnya seorang perwira bawahannya menyatakan
'salut' kepada ke-kepalabatu-an saya. Ia mengatakan bahwa mereka cuma
menjalankan perintah dan ia sendiri tidak bisa berbuat apa pun. Dua hal yang
dapat ia bantu adalah mengakukan saya sebagai adiknya, dengan cara
melampirkan salinan KTA-nya pada berkas SIM saya serta memberikan 'potongan
harga', sehingga beaya yang musti saya bayar cuma sekitar Rp. 10.000 saja.

Dengan kejadian ini, saya merasa ditipu oleh institusi Polri, paling tidak
oleh para anggotanya. Itulah sebabnya saya -pada tanggal itu juga- segera
mengirimkan surat kepada Kapolri di Trunojoyo (Jakarta), dengan tembusan
kepada para pejabat terkait di atas. Namun hampir 3 tahun, tidak ada jawaban
dari para beliau yang 'terhormat' ini. Mereka malah menimbulkan kesan bahwa
surat-surat seperti itu hanya ungkapan kecerewetan saja, karena 'kecil'
masalahnya.

Lalu, apa sebetulnya yang Bapak-bapak inginkan dari warga negara taat hukum
seperti saya ? Apakah Anda sekalian lebih senang menjadi 'bapak asuh' dari
manusia-manusia brutal seperti si Anwar itu ? Surat ini saya kirimkan ke
media apa pun yang saya ingat -termasuk Internet- sebagai usaha terakhir.
Saya tidak perduli lagi apakah Anda sekalian masih terketuk atau tidak untuk
membersihkan noda pada institusi Polri. Yang perlu saya ingatkan adalah
bahwa bekas-bekas tangan Anda tampak pada tubuh semua korban Anwar dan
pengemudi-pengemudi brutal lainnya.

Sharif Dayan
Palembang

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 12 Jan 2000 jam 12:10:55 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke