----------------------------------------------------------
FREE Subscribe/UNsubscribe Indonesia Daily News Online
go to: http://www.indo-news.com/subscribe.html
- FREE - FREE - FREE - FREE - FREE - FREE -
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

Warga Kristen Tobelo Tolak Pasukan TNI

TERNATE:  Warga  Kristen  di  Kecamatan Tobelo melalui "Panglima Halmahera"
Bernard  Bitjara menyatakan menolak penempatan pasukan TNI khususnya satuan
Komando  Cadangan  Strategis  Angkatan  Darat  (Kostrad) untuk melaksanakan
tugas pemulihan keamanan di Kecamatan Tobelo, Kabupaten Maluku Utara.

Mengutip   kantor   berita  Antara  kemarin,  warga  Kristen  Tobelo  dalam
pernyataan  sikap  yang ditandatangani oleh enam Kapitan di Pulau Halmahera
Utara,  Kamis  (9/3),  menyatakan  tidak  setuju  dengan  penempatan aparat
keamanan di wilayahnya.

Pernyataan   sikap  itu  muncul  dari  umat  Kristen  setelah  ada  rencana
penempatan  satu  peleton  batalyon  501  Briwijaya  di  kompleks Pelabuhan
Tobelo, Selasa pekan lalu.

Pernyataan  sikap yang juga diketahui Bernard Bitjara alias Benny Doro itu,
diputuskan  seusai  pertemuan  tokoh-tokoh  agama  Kristen dan para Kapitan
pekan  lalu di Tobelo. Penolakan terhadap aparat keamanan khususnya TNI dan
Kostrad  dengan  alasan  aparat  yang ditugaskan ke wilayah Provinsi Maluku
Utara tidak netral lagi.

Penolakan  penempatan  aparat  keamanan  yang  ditugaskan  untuk memulihkan
keamanan  di  Maluku Utara, menurut mereka, karena ada indikasi mengabaikan
manuver  yang dilakukan kelompok Muslim yang mau menyerang kelompok "merah"
di sana.

Danramil Tobelo, Kapten Inf Made P, yang dihubungi Antara via telepon, Ahad
(12/3) malam, membenarkan adanya pernyataan penolakan pasukan TNI itu.

Made  menjelaskan  penolakan  itu didasarkan alasan kawasan Halmahera Utara
khususnya wilayah kecamatan Tobelo sudah relatif aman.

"Meskipun  aparat  telah  negosiasi  dengan  Panglima  Halmahera, tapi umat
Kristen  setempat  tetap  menolak  adanya  rencana  penambahan pasukan dari
sektor  Pemulihan  Keamanan  Maluku Utara," kata Made yang juga mantan Pasi
Ops Kodim 1501 Maluku Utara itu.

Secara  terpisah,  panglima  Jihad  Komando Pusat Front Pembela Islam (FPI)
Maluku  Utara,  Abubakar Wahid, menanggapi pernyataan itu mengatakan ia tak
menginginkan  Provinsi  Maluku  Utara  nasibnya  seperti Timor Timur.  Umat
Islam   provinsi  hasil  pemekaran  bertekad  bendera  "Merah-Putih"  tetap
berkibar di bumi Halmahera.

"Manuver  yang  dilakukan  [pihak  Kristen]  ini merupakan cara klasik yang
dipakai  untuk  menyerang  umat Islam secara besar-besaran," ujar Abubakar,
pensiunan Depdikbud Kabupaten Halmahera Tengah itu.

FPI  Maluku  Utara  juga  menolak  campur  tangan  pihak  luar  untuk  ikut
menyelesaikan  pertikaian  di  Pulau  Halmahera  Utara  itu.  Yel-yel  yang
disampaikan  pada  saat  pecahnya kerusuhan di Tobelo dan Galela 2 Desember
tahun lalu, misalnya "Hidup Israel", "Jangan takut, Belanda ada di belakang
kita"  atau  "Selamat  datang  Israel  Baru, menurut Abubakar, tampak jelas
menyusul adanya surat pernyataan itu.

Abubakar  menambahkan  ada  indikasi  intervensi  pihak  luar  dalam  kasus
pembantaian  di  kawasan  bagian  utara  Pulau  Halmahera  itu. Karena itu,
pihaknya  kini  mempersiapkan  20  ribu  mujahidin untuk melakukan jihad ke
Halmahera dan sekitarnya.

Berdasarkan  catatan  Antara Ternate, penolakkan penempatan aparat keamanan
bukan  hal  baru,  tetapi  telah direncanakan sebelum pecahnya kerusuhan di
Halmahera. Pernyataan Forum Komunikasi Pemuda Kristen Halmahera 17 November
1999 lalu juga menyebutkan umat Kristen di Tobelo menolak TNI/Kostrad untuk
bertugas di Halmahera Utara.

Sementara  itu,  Kapuspen  TNI  Marsda  TNI Graito Usodo mengatakan masalah
pasukan  yang  dikerahkan  ke  Maluku  Utara  sepenuhnya  diserahkan kepada
Pangdam XVI/Pattimura. Dengan begitu semua masalah yang timbul di lapangan,
lanjutnya,   menjadi  tanggung  jawab  Panglima  sebagai  penguasa  daerah.
"Termasuk jika ada penolakan dari salah satu pihak yang bertikai."

"Kita  hanya  memberikan  bantuan  pada  Panglima.  Panglima  yang mengatur
kebijakan di lapangan," kata Graito kepada Republika kemarin.

Graito  mengaku  tidak  melihat adanya indikasi gerakan separatis di Maluku
Utara. "Saya melihat sejak saat ini tidak ada gerakan separatis. Sebelumnya
di  Halmahera  Selatan  sempat  ada  cikal  bakal  RMS  yang  memang  ingin
memisahkan diri," katanya.

Pangdam Pattimura, Brigjen Max Tamaela, tak berhasil dikonfirmasi Republika
tadi  malam.  Ketika  dihubungi  via  telepon, seorang ajudannya mengatakan
Pangdam tak mau "diganggu".

Sebelumnya,  Pada jumpa pers kemarin sore, Pangdam Tamaela membenarkan tiga
orang tewas dalam pertikaian yang kembali terjadi di Desa Saketa, Halmahera
Utara,  kemarin  siang.  Di lokasi pertikaian yang tak jauh dari Gane Utara
itu terjadi konsentrasi massa sejak Senin dinihari.

"Karena  kedua  kelompok  terus  berusaha  saling  serang,  akhirnya aparat
keamanan  melumpuhkan  massa,  dan  tiga orang tewas," kata Tamaela, seraya
menyebutkan  siapa  pun  yang memulai penyerangan dianggap sebagai perusuh.
"Dan, prosedur tembak di tempat kita ambil," katanya.

Sehari  sebelumnya,  pertikaian juga terjadi di Desa Hido dan Tawali, Pulau
Morotai.  "Tapi kedua massa tak jadi bentrok, sebab lebih dulu dicegah oleh
aparat," ujar Pangdam.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 15 Mar 2000 jam 15:09:42 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke