Refleksi : Tidak ada illegal logging di NKRI, karena pembabatan hutan berada dalam tangan kekuasaan hukum dan perlindungan rezim Neo-Mojopahit.
http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=502:terorisme-itu-bernama-illegal-logging&catid=76:lingkungan-hidup&Itemid=126 Terorisme itu bernama Illegal Logging Wednesday, 30 March 2011 21:02 Written by Rifki Furqan dan Saiful Akmal | Mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Jerman. Kaye ka iikoh rata sagoe glee, tan na dipike dudo bahaya. Gajah ngon rimueng bandum asoe glee kasaket hatee bak manusia. Geupeuget lagee, toke hana HPH, bak pemerintah ijin geupeuna Uteun kajikoh kiban yang galak, ka habeh cupak gunong binasa, diureung gampong sayang that leupah, diteuka patah jitrom ie raya. Peujeut meunan peubuet yang galak? (Grup Musik Etnik Aceh: Bidjeh, Lagu: Uteun) Penggalan syair lagu diatas sudah lebih dari cukup bagi kita untuk mengalihkan pandangan kita ke Tangse, Pidie yang dilanda banjir bandang. Banjir bandang sejatinya adalah miniatur tsunami, yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004 dan yang kita saksikan di Jepang bagian Utara beberapa hari lalu. Namun bencana banjir bandang yang kembali menghampiri Nanggroe, mau tidak mau membuat kita di Aceh untuk lebih melihat kedalam, meski tanpa bermaksud menafikan apa yang terjadi di Jepang, yang hampir bisa dipastikan mendapat perhatian dan bantuan dari segenap penjuru dunia. Zaman sekarang kata "Terorisme" sangat sering diungkap dan terdengar di media. Teror selalu identik dengan manusia-manusia tak berdosa yang menjadi korbannya dan kali ini terorisme itu bertema "Illegal Logger" atau oknum penebang hutan secara ilegal yang menjadi penyebab parahnya banjir bandang di Tangse. Kali ini sang banjir dengan secepat kilat merampas rumah bahkan nyawa banyak manusia. Begitu besar resiko kerugian, baik materil maupun lingkungan yang telah lebih dulu dirusak secara sepihak. Kecamatan Tangse, Pidie (dan juga kabarnya di dataran tinggi Gayo, meskipun yang terakhir disebutkan tidak separah di Tangse) kembali menjadi bukti nyata bagaimana dahsyatnya banjir bandang tersebut. Banjir yang membawa serta gelondongan kayu tersebut menelan apa saja yang dilewatinya. Banjir bandang ini juga mempertegas terjadinya aksi penebangan liar yang menjadi penyebab utama bencana. Sebenarnya banjir bukanlah bencana baru bagi kita semua. Tentu masih jelas ingatan kita terhadap peristiwa banjir bandang di Wasior, sebuah daerah di Papua Barat sana pada medio Oktober tahun lalu. Jika itu terlalu jauh dan sulit kita bayangkan daerahnya, maka sebut saja banjir bandang di Bukit Lawang tahun 2003 lalu, atau banjir bandang di Tamiang pada tahun 2006 lalu, yang secara bentangan alam lebih mudah untuk kita bayangkan. Apakah kita sudah belajar dari bencana-bencana tersebut? Barangkali belum, karena penebang kayu liar itu bahkan tidak memikirkan dampak kegiatan ilegal mereka dan hanya mementingkan keuntungan sepihak saja. Jika dicermati, ada dua istilah banjir jika kita lihat dalam kerangka efek yang diciptakannya. Pertama adalah istilah banjir (genangan) biasa seperti yang sering disampaikan dimana dalam istilah asing disebut "Flood", banjir ini sebelumnya ditandai dengan kenaikan permukaan air di sungai atau pintu air di hulu sungai. Istilah selanjutnya adalah banjir bandang seperti yang terjadi Kamis malam lalu di Tangse, yang dalam istilah asing disebut "Flash Flood". Banjir bandang memiliki kriteria khusus; sifatnya yang mematikan yaitu datang tiba-tiba dengan kekuatan penuh dan dalam waktu singkat menghancurkan semua yang menghalanginya, hampir serupa dengan Tsunami di daerah pantai, seperti yang juga terjadi di pesisir Sendai, bagian utara dari Jepang pada Jum'at kemarin. "Flash flood" atau banjir bandang ini bukannya tidak dapat diprediksi, bencana ini sangat mungkin diprediksi karena memiliki tanda-tanda. Salah satu tanda utamanya adalah tingginya presipitasi selama beberapa hari beruntun. Presipitasi adalah bentuk lain siklus air yang turun berupa berbagai bentuk, di daerah subtropis yang memungkinkan suhu permukaan tanah di bawah 0°C, maka selain hujan bentuk lainnya adalah salju. Sedangkan bentuk presipitasi di daerah tropis seperti Indonesia yang suhu permukaan tanahnya selalu di atas 0°C, maka bentuk presipitasinya akan selalu hujan. Curah hujan tinggi yang terus menerus inilah yang merupakan tanda akan kemungkinan terjadinya banjir bandang. Banjir bandang ini sebenarnya tidak akan terjadi jika curah hujan tinggi ini dapat diserap dengan teratur dan seimbang oleh hutan dan tanah yang sehat. Semua kita pasti sadar bahwa hutan adalah pengumpul air tanah alami yang dengan kita merusaknya maka secara tidak langsung kita telah membahayakan diri dan alam kita sendiri. Sudah banyak pelajaran dari deretan bencana di masa lampau, tapi tidak membuat kita semua sadar sehingga bersikap tepat dalam mengantisipasi kemungkinan bencana selanjutnya. Mitigasi bencana hanya sekedar slogan dan laporan rapi yang tak pernah teraplikasi. Prinsip-prinsip mitigasi bencana seperti penyuluhan dan pemberian informasi serta pelatihan penanggulangan bencana bagi masyarakat hanya dijadikan peluang proyek yang sama sekali tidak berdampak langsung terhadap masyarakat sebagai komunitas yang paling terancam ketika bencana menerjang. Belum lagi sikap tidak cepat tanggap dan siaga pasca bencana, hal ini juga termasuk prinsip dasar dari mitigasi bencana yang lagi-lagi masih terus harus kita benahi bersama. Bersedih pasti, berdo'a wajib tapi yang paling penting lagi adalah bagaimana menghilangkan trauma setelah bencana dan mengembalikan semangat masyarakat untuk cepat pulih secara mental dan fisik, sehingga "post flood recovery" atau masa pemulihan setelah banjir dapat lebih cepat berjalan. Pada saat-saat itulah, peran saudara-saudara dari daerah lain yang sering kita sebut sebagai relawan menjadi sangat penting. Kemana gaung Aceh Green Vision yang begitu megah tampil di media massa beberapa waktu lalu? Jangan-jangan publikasi dan penandatanganan komitmen bersama program REDD (Reduction Emision Degradation and Deforestation) tahun 2008 di Amerika Serikat waktu itu hanya "bussines as usual" saja dengan berfoto bersama Gubernur California: Arnold Schwarzeneger yang juga mantan artis Holywood itu. Lebih disayangkan lagi jika keseriusan Aceh dalam program yang salah satu penekanannya adalah pemberantasan praktek penebangan liar tersebut ikut hilang dibawa banjir bandang. Kemana pula para Polisi Hutan kita? Apakah pantas kita membebankan tanggung jawab pelestarian dan pencegahan pembalakan liar hanya pada Polisi Hutan saja? Karena ketika banjir bandang melanda, ia tidak mau tau apakah kita Polisi Hutan, Cukong Kayu atau masyarakat biasa, semuanya dihantam tanpa pandang bulu. Dan ketika bencana yang sama selalu berulang, mengapa kita selalu gagal mengambil pelajaran darinya? Hom hai, mandum heut droe atau semua punya keinginan sendiri. Tangse, yang dulunya bercuaca sejuk dan menjadi tempat wisata alami bagi warga Pidie disekitarnya, kini berubah menjadi Tangse yang gerah, gundul dan tidak lagi bersahabat. Daerah yang juga dikenal sebagai penghasil durian itu kini juga tidak luput dari bencana. Atau inikah yang disebut dengan man made disaster atau bencana buatan manusia sebagai kebalikan Tsunami sebagai natural made disaster yang merupakan kuasa Tuhan? Tentu peran Tuhan dalam setiap detik kehidupan manusia adalah sebuah keniscayaan. Tapi bukankah Dia juga sudah memberi isyarat kepada kita bahwa bumi ini sudah jera dengan kezaliman manusia (QS.Ar Rum: 41) dan manusia kerap kali mendustakan nikmat-Nya sekaligus pada saat yang sama, yaitu dengan merusak keseimbangan bumi (Surat Ar-Rahman:7-8, 16)? Semoga kedepan janganlah kita menyalahkan alam dan yang lainnya apabila terjadi bencana dan kerusakan dimana-mana, tetapi salahkan diri kita sendiri. Setiap bencana yang menimpa dan musibah yang melanda adalah akibat tangan kita sendiri | Rifki Furqan dan Saiful Akmal | Mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Jerman. Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute | Bila ingin mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini silahkan menyebut (membubuhkan) link/URL website Aceh Institute sebagai sumber, tanpa mengubah judul, isi dst sesuai kode etik intelektual. Foto repro abhe27.blogspot [Non-text portions of this message have been removed]