Dasar Indonesia mengambil Papua ke dalam wilayahnya sendiri adalah karena Papua 
termasuk jajahan Belanda. Dasar itu tidak cukup kuat. Ada kenyataan lain  yang 
perlu dilihat jelas: etnis Papua sangat lain dengan etnis-etnis yang telah 
bersatu dalam NKRI. Juga kebudayaan orang Papua sangat lain  dan punya 
kehususan yang sangat spesifik  yang sama sekali lain dibandingkan dengan 
kebudayaan etnis-etnis dalam NKRI. Juga secara historis bangsa Papua tidak 
pernah dekat dengan etnis-etnis di wilayah Nusantara, tidak ketika jaman 
Majapahit, tidak juga di jaman Sriwijaya, apalagi sebelumnya. Sejarah Papua 
dengan Indonesia dimulai dengan serangan Sukarno yang kemudian dicaplok  dari 
tangan kaum kolonialis Belanda. Karnanya secara historis dan juga secara etnis, 
bangsa Papua memang punya hak, (bila mereka mau) MEMISAHAKAN DIRI DAN 
MEMERDEKAKAN DIRI DARI KEKUASAAN NEGARA INDONESIA .Kemana selanjutnya mereka 
akan pergi , itu adalah soal bangsa mereka sendiri. Indonesia tidak punya hak 
menghalanginya dengan alasan kekuatiaran politis maupun ekonomis maupun 
alasan-alasan yang manapun, strategis maupun taktis. BILA PAPUA INGIN MERDEKA 
DAN MEMISAHKANN DIRI, JANGAN HALANGI MEREKA. Itu juga akan jauh lebih baik bagi 
Indonesia. Karna Papua yang dipaksa masuk dalam wilayah Indonesia adalah duri 
dalam daging yang abadi bagi Indonesia juga. Pantaskah kita harus bersatu 
kembali dengan cara mengorbankan bangsa Papua? Justru kita terpecah karena ada 
masaalah Papua yang tak terselesaikan dan juga tidak mungkin terslesaikan bila 
kita terus mempertahankan  jajahan kita terhadap bangsa Papua.
ASAHAN AIDIT.

From: Salim Said 
Sent: Sunday, January 24, 2016 1:19 AM
To: Group Diskusi Kita ; alumnas-oot ; alumnilemhana...@yahoo.com ; 
group-indepen...@googlegroups.com ; Tito Karnavian ; tiaraly ; Abdillah Toha ; 
Martiono Hadianto ; Retno L Marsudi 
Subject: Fwd: Re.: PAPUA MERDEKA, TINGGAL SOAL WAKTU



Ada komentar?


---------- Forwarded message ----------
From: B.DORPI P. <bdo...@indopetroleum.com>
Date: 2016-01-23 7:16 GMT+07:00
Subject: Re.: PAPUA MERDEKA, TINGGAL SOAL WAKTU
To: "!B.DORPI P." <bdo...@indopetroleum.com>



http://www.rmol.co/read/2016/01/20/232692/Papua-Merdeka,-Tinggal-Soal-Waktu-

RABU, 20 JANUARI 2016 , 12:13:00 WIB

PAPUA MERDEKA, TINGGAL SOAL WAKTU
OLEH: DEREK MANANGKA

THEO Waemuri sebelum menjadi Dubes RI untuk Namibia, salah satu negara di 
Afrika, pada satu pertemuan yang tidak disengaja, menyatakan sebuah 
keyakinannya yang sangat kuat. Bahwa Papua kelak akan menjadi sebuah negara 
merdeka.

"Bung, cepat-cepat bikin KTP Irian. Sebab kita orang so mo merdeka. Begitu kami 
merdeka, bung pindah ke sana. Torang bangun Irian jadi Swiss-nya Asia," ujar 
Theo dalam logat daerah di tahun 1996.

Ketika itu nama Papua belum digunakan. Selain Papua masih bernama Irian Jaya 
dari sebelumnya Irian Barat, Papua belum dimekarkan dua provinsi: Papua dan 
Papua Barat.

Ketika percakapan kami itu terjadi, 20 tahun lalu, Indonesia masih dipimpin 
oleh sebuah rezim militer yang sangat kuat.

Selain itu, Jenderal Soeharto sebagai pimpinan rezim, merupakan seorang 
prajurit yang di era Soekarno, ditugaskan memimpin penggabungan Irian Barat ke 
Indonesia. Dan Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Mandala yang 
berkedudukan di Makassar, berhasil !

Sehingga faktor keberhasilan Soeharto memasukan Irian Barat ke NKRI, 
bagaimanapun sangat penting dan menentukan. Menjadi perekat Jawa dan Papua.

Saya beranggapan bekas Panglima Kostrad yang menjadi Presiden RI pada waktu 
itu, akan melakukan segala upaya mencegah Papua keluar dari bingkai NKRI. 
Soeharto tidak mau hasil pekerjaannya bagi republik menjadi sia-sia.

Selain itu pemerintahan Soeharto - di mata negara-negara Barat khususnya negara 
donor, masih cukup kredibel. Dan negara donor ini masih ingin mengalirkan utang 
dan beban bagi rezim Soeharto. Jadi negara donor menganggap Indonesia merupakan 
"customer" atau "client" terbaik. Sehingga mereka tak akan mau Indonesia di 
bawah Soeharto punya masalah.

Soeharto sendiri, secara domestik, masih dianggap sebagai figur yang tak 
tergantikan.

Pada tahun itu Indonesia masih santer disebut sebagai salah satu negara "Macan 
Asia".

Sebutan lainnya, negara yang sedang menuju ke status negara industri baru - NIC 
(Newly Industrialized Country).

Atas dasar itu, saya antara lain memperhitungkan gagasan Theo Waemuri tak 
mungkin terlaksana.

Tapi Theo Waemuri terus bersikeras. Rupanya putera Papua ini sudah memiliki 
peta internasional yang tertarik mendukung kemerdekaan Papua.

Dia sudah banyak mendapat masukan dari sejumlah senator Amerika Serikat yang 
mereka bahkan sudah membentuk Kaukus untuk mendukung aspirasi memerdekakan 
Papua.

Theo bertugas di KBRI Washington, ibukota sekaligus pusat kekuasaan Amerika 
Serikat, selama 6 tahun.

Waktu yang relatif panjang itu dimanfaatkannya secara maksimal. Dia tidak hanya 
berkerja bagi kepentingan Pejambon, Departemen Luar Negeri. Melainkan secara 
sembunyi-sembunyi juga merangkap atau "nyambi" sebagai aktifis bagi perjuangan 
memerdekakan Papua.

Posturnya yang mirip "African American" atau mirip penduduk asli dari Kepulauan 
Fiji, di Pasifik, membuatnya mudah diterima oleh Kaukus Mikronesia.

Saat itu kesadaran Theo atas kebebasan berbicara, berdemokrasi dan menentukan 
nasib sendiri, sudah sangat tinggi.

Rupanya 6 tahun tinggal di Washington, mengubah kepribadiannya lebih adaptif 
terhadap nilai-nilai Amerika ketimbang Indonesia. Nasionalisme dan 
kedaerahannya yang secara geografis berasal dari Bibir Pasifik, menjadi lebih 
kental.

Dan semua itu dia anggap sebagai bagian penting dan fundamental dari Hak Azasi 
Manusia (HAM).

Oleh sebab itu, Theo tidak takut untuk berbicara apa adanya. Orang Papua ingin 
merdeka, tidak boleh dituding pengkhianat atau pendosa.

Ketika kami berdiskusi, dia sadar sekalipun sebagai teman, di saat kami 
berbicara soal isu nasional, dalam diri saya juga melekat jiwa nasionalis. 
Wartawan hanya penegas sebuah indentitas profesi.

Dengan menyandang wartawan "Media Indonesia" pada waktu itu, dia tahu saya 
tidak bersetuju dengan gagasannya, memerdekakan Papua.

Tapi Theo tidak perduli dengan perbedaan kami. Sebab baginya, hak bagi rakyat 
Papua untuk berdaulat di atas tanah kelahiran mereka, jauh lebih penting.

Di pihak lain, ia merasa aman berdiskusi dengan saya. Karena dia menganggap 
sebagai putra Indonesia asal Kawanua, kami berdua memiliki persamaan dalam 
keminoritasan. Sehingga hal ini sebetulnya yang membuat dia cukup percaya. 
Bahwa apsirasi kami sebagai anggota kelompok masyarakat minoritas yang seperti 
dimarjinalkan, relatif sama.

Orang Papua juga banyak yang merasa berutang budi kepada etnis Kawanua, daerah 
asal saya. Selain banyak tenaga guru asal Kawanua yang mengajar di berbagai 
lembaga pendidikan Papua, cukup banyak pula mahasiswa Papua yang belajar di 
Universitas Sam Ratulangi, Manado. "Chemistry" dalam soal perbedaan dan 
persamaan terjadi.

Akibat lain, hubungan etnik Kawanua atau Manado dengan etnik Papua, lebih mudah 
terbentuk. Logat orang Papua dalam berbahasa Indonesia, banyak yang meniru 
Bahasa Manado.

"Kami mau merdeka baik-baik, tidak mau bermusuhan dengan Jakarta. Dan Bahasa 
Indonesia tetap menjadi bahasa nasional kami", begitu kurang lebih Theo Waemuri 
berwacana.

Saya beranggapan, suara oleh saudara dari Papua ini, penting dan belum tentu 
pernah didengar oleh elit pengambil keputusan di pemerintah pusat. Jadi saya 
beruntung, karena secara individu, saya merasa dipercaya oleh tokoh Papua.

Tahun ini atau dua dekade kemudian, percakapan itu mengganggu saya. Pemahaman 
saya tentang keinginan rakyat Papua merdeka, berubah.

Yang terbentang di hadapan, potensi Papua menjadi sebuah negara merdeka, sangat 
besar. Bahkan waktunya, relatif sangat dekat. Sementara persatuan Indonesia 
rapuh sehingga sulit mencegah gagasan merdeka itu.

Di Papua saat ini sudah muncul banyak "Theo Waemuri". Salah satunya, Gubernur 
Papua, Lukas Enembe. Lukas secara terang-terangan berani menolak kunjungan 
Presiden Joko Widodo.

Keberanian menjadi negara merdeka ini muncul sebab Indonesia sendiri, sudah 
menjadi negara yang dipimpin oleh elit penakut serta tidak bersatu.

Lantas apa yang bisa diharap oleh rakyat Papua dari pemimpin berkelamin seperti 
itu?

Kondisi Indonesia sendiri sepertinya tidak cukup kondusif menahan arus 
keinginan yang kuat dari Theo Waemuri dan kawan-kawan untuk merdeka.

Persatuan Indonesia yang rapuh, menyebabkan Indonesia seperti orang sakit Asam 
Urat. Tidak bisa bergerak.

Akibat tidak bisa bergerak, sulit bagi bangsa ini melihat dan memperhatikan 
seluruh persoalan. Termasuk kekuatan bangsa melihat Papua sebagai sebuah 
persoalan bersama.

Papua tidak lagi dilhat sebagai aset nasional. Melainkan aset bagi beberapa 
kelompok kecil saja. 
.
Situasi semakin parah, sebab yang berada di luar kelompok itu, tak mau peduli. 
Sementara apa yang sebetulnya bisa disebut kepentingan nasional definisinya 
menjadi kabur. Tergantung siapa yang berbicara. So, siapa peduli atau EGP - 
Emangnya Gue Pikirin.........

Dimulai dari Jakarta Pusat, khusus di Istana Merdeka Utara (Presiden) dan 
Istana Merdeka Selatan (Wakil Presiden).

Antara Merdeka Utara dan Merdeka Selatan, walaupun tidak separah permusuhan 
seperti Korea Utara dan Korea Selatan, tapi yang terlihat sudah satu tahun 
lebih, kedua duet pemimpin ini seperti bekerja menurut garis demarkasi di Dua 
Korea.

Kalaupun ada, persatuan duet pemimpin RI, lebih pantas disebut "persatuan atau 
kesatuan semu".Dan ketidak satuan antara duet ini, serta merta menyandera 
Indonesia. Tidak bisa bergerak lebih leluasa.

Menghadapi isu Papua yang berpotensi menjadi sebuah negara, baru, tidak 
terlihat adanya keprihatinan yang tinggi dan sama di antara duet politisi 
nasional ini.

Presiden terkesan lebih peduli membangun infrasturktur atau Istana Kepresidenan 
di Papua. Semenjak dilantik jadi Presiden pada Oktober 2014, Joko Widodo tidak 
kurang dari 3 kali mengunjungi Papua.

Berbeda dengan Wapres Jusuf Kalla. Kesan yang ada, saudagar asal Sulawesi 
Selatan ini lebih fokus pada soal bisnis, khususnya eksistensi PT Freeport.

JK cenderung lebih suka memperpanjang kontrak PT Freeport di Papua dan 
keputusan itu harus segera. Panjang ceriteranya.

Kalau boleh disingkat, intinya, dalam soal bisnis di Papua, JK dan Jokowi, 
berseberangan.

Mau tidak mau hal ini membela sikap mereka terhadap Papua.

JK juga kalau tidak keliru, selama menjadi Wapres di era Jokowi, belum pernah 
melakukan perjalanan ke Papua. Jarang terdengar JK tertarik menengok Papua dari 
dekat.

Secara politik, sekalipun berkuasa, tapi de facto, pemerintahan Jokowi-JK, 
tidak bisa dikatakan berdaulat penuh.

Adanya Koalisi Merah Putih (KMP) yang dipimpin Prabowo Subianto, menyebabkan, 
(hampir) semua kebijakan rezim Jokowi relatif atau praktis tidak mendapat 
dukungan penuh oleh semua kekuatan di tanah air.

Dalam soal Papua, boleh jadi Prabowo Subianto merupakan orang yang sangat tidak 
setuju jika Papua lepas dari NKRI. Tetapi untuk mengucapkan sikap itu secara 
eksplisit apalagi dalam bentuk kebijakan politik oleh KMP, sepertinya tidak 
mungkin dilakukan Prabowo.

Hal mana membuat kebijakan Indonesia terhadap Papua menjadi terbelah.

Persatuan Indonesia semakin rapuh, jika ditambah berbagai perpecahan. 
Perpecahan di republik ini mungkin lebih parah dibanding penyakit korupsi.

Ada "Golkar Kembar", "PPP Kembar", "DPR Kembar", "Polri Kembar", "KPK Kembar" 
dan hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2015 yang juga "multi-kembar".

Yang belum ada dan semoga tidak terjadi, "RI-Kembar".

Pokoknya untuk saat ini, mencari sebuah satu kesatuan di NKRI itu, merupakan 
sebuah pekerjaan yang sulit. Kalau persatuan itu boleh dinilai dengan uang, 
harganya, super duper mahal.

Mencari persatuan nasional, sama sulitnya kita mencari satu pandangan dari dua 
ahli hukum.

Hasilnya bukan saja dua pandangan yang berbeda. Tetapi dua kuadrat yang berbeda 
sekalipun sumber hukumnya sama. Intinya, tak akan pernah ditemukan definsi yang 
sama tentang persatuan.

Jadi lepasnya Papua dari NKRI - semoga tidak terjadi, sebetulnya lebih 
disebabkan oleh tiadanya persatuan di antara bangsa Indonesia.

Kita juga tidak punya pemimpin yang bisa mempersatukan bangsa.

Dan semua persoalan ini, mudah dibaca oleh semua kalangan. Termasuk Amerika 
Serikat. Seperti makanan semua kelemahan Indonesia tersaji di atas meja.

Seperti wanita, Indonesia sudah telanjang bulat di atas ranjang. Sementara 
pintu kamar tidak terkunci.

Dan kalau Papua menjadi sebuah negara merdeka, bukan pula semata-mata karena 
Januari 2016 ini terjadi kunjungan Dubes AS Robert Blake ke Papua. Dimana dia 
dicurigai melakukan "obok-obok", merusak hubungan Papua - Jakarta atau Jawa, 
yang konotasinya untuk memecah persatuan Indonesia.

Benar, bahwa faktor "intervensi" AS bisa saja masuk dalam perhitungan. Dan kita 
sebagai "pemilik" Papua, wajib memperhitungkannya atau bersuara dan bersikap.

Tapi Papua masih atau tetap bisa dipertahankan, itu semuanya berpulang kepada 
bangsa Indonesia.

Apakah secara keseluruhan, kekuatan-kekuatan yang tercerai berai masih dapat 
bersatu ? 

[***]

*penulis adalah jurnalis senior








-- 
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke