Memang benar seperti yang disebutkan dalam tulisan di bawah ini bahwa 
NEGARA/PEMERINTAH TIDAK  PUNYA MAKSUD BAIK dalam tipu dayanya menyelesaikan 
persoalan pelanggaran HAM berat korban 65. Pemerintahan Jokowi bukan hanya 
ingin cuci tangan tapi juga ingin mengalihkan persoalan  yang mengganjal semua 
penyelesaian , yaitu TAP MPRS/25/1966 yang hingga sekarang tetap  menjadi duri 
besar dalam daging bangsa Indonesia yang semakin bernanah dan semakin membusuk. 
Pemerintah tak sedikitpun menyinggung soal usaha atau keinginan mencabut TAP 
MPRS/25/1966  dikarenakan  Pemerintah dan Negara memang tidak ingin TAP anti 
demokrasi yang dilahirkan rezim suhartO itu diganggu gugat apalagi hingga 
dicabut. Pemerintah takut dan berlindung di bawah TAP-nya suhartO  itu karnanya 
simposium digelar, rekonsiliasi ditawarkan, yang semua ini untuk membuat rakyat 
Indonesia lupa  bahwa TAP MPRS/25/1966 ADALAH POLISI DAN PENJARA BAGI RAKYAT. 
Polisi dan penjara rakyat ini masih diperlukan oleh Pemerintah Jokowi sebagai 
jaminan dia tidak akan digoyang militer yang sudah sejak mula mengepung dirinya 
yang juga dia butuhkan. Tapi juga selama TAP MPRS/25/1966 tidak dicabut dan 
dihapus, rakyat tidak akan mempercayai dan tidak akan menyambut semua bentuk 
simposium dan rekonsiliasi karna semua itu jelas adalah pengalihan perhatian, 
penipuan dan kebohongan serta jebakan belaka.Semua yang dibuat oleh Pemerintah 
sekarang tidak ada gunanya bagi rakyat, tidak ada sngkut pautnya dengan 
kepentingan rakyat dan semata hanya untuk kepentingan Pemerintah belaka  
.Rakyat berada di luar semua ini. Semua usaha Pemerintah niscaya akan sia-sia 
dan gagal total.
ASAHAN AIDIT.




From: Chan CT 
Sent: Sunday, May 01, 2016 8:29 AM
To: GELORA_In 
Subject: Negara Jangan Cuci Tangan

Negara Jangan Cuci Tangan

Ariel Heryanto, CNN Indonesia

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160426085258-21-126499/negara-jangan-cuci-tangan/

Selasa, 26/04/2016 08:53 WIB

Ilustrasi. (CNN Indonesia)

Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah saatnya khalayak Indonesia membedakan dan 
memahami kaitan antara bangsa, negara, dan sebuah pemerintahan. Pemahaman minim 
dan mendasar demikian bisa membantu mengurangi banyak dan parahnya salah kaprah 
dalam perbincangan tentang kekejaman sejak Oktober 1965 maupun berbagai 
kekerasan massal lain.

PERBEDAAN

Bangsa (nasion) merupakan sebuah komunitas modern. Di Indonesia, terbentuk di 
awal abad 20, dari penduduk bekas tanah jajahan Hindia Belanda. Komunitas ini 
sangat majemuk namun sederajat di depan hukum dan dipersatukan oleh cita-cita 
bersama sebagai sebuah masyarakat bertanah-air satu.

Negara merupakan satu-satunya badan hukum di sebuah nasion (di mana pun) yang 
mendapat hak istimewa dan monopoli untuk membentuk pasukan bersenjata dan 
menggunakan senjata itu dalam wilayah teritorinya; mendirikan dan mengelola 
pengadilan serta penjara; serta mencetak uang dan memajaki warganya. Semua hak 
istimewa itu diimbangi oleh tanggung jawab negara atas perlindungan, keamanan, 
kemakmuran, kesehatan, pendidikan, dan tingkat kesejahteraan warganya.

Bangsa dan negara saling membutuhkan. Seperti dikatakan Ben Anderson, bangsa 
bersifat abstrak atau bayangan, sehingga membutuhkan negara sebagai wujud 
konkret yang mewakili kepentingannya. Sebaliknya negara membutuhkan bangsa 
untuk mendapatkan keabsahan atas kehadirannya di sebuah teritori.

Tapi bangsa dan negara bisa hadir sendiri-sendiri, atau saling bersitegang. 
Indonesia merupakan contoh ada negara (kolonial) tanpa atau sebelum memiliki 
bangsa (nasional). Sebaliknya, ada bangsa yang hadir jauh hari tanpa atau 
sebelum memiliki badan hukum yang dinamakan negara, misalnya Palestina.

Pemerintahan mengisi jabatan kenegaraan dan menjalankan fungsi kenegaraan. 
Berbeda dari bangsa dan negara yang sifatnya permanen atau panjang-usia, sebuah 
pemerintahan selalu bersifat sementara dengan masa tugas relatif pendek. Sebuah 
negara bisa tetap stabil, walau pemerintahannya silih-berganti. Hak dan 
kewajiban negara tidak lenyap atau berganti karena pergantian pemerintahan. 
Termasuk kewenangan teritorinya. Atau hutang negara pada negara lain. Juga 
hutang politik dan moral pada bangsanya sendiri.

KEKEJAMAN 1965

Tidak ada peristiwa kekerasan massal di mana pun bisa meliputi wilayah luas, 
dan berlangsung dalam masa yang panjang, dan memakan banyak korban, jika tidak 
disponsori negara. Hal ini berulang kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya di 
seputar “kasus 1965” yang mencakup masa menjelang 1965 maupun puluhan tahun 
sesudahnya. 

Di situ yang menjadi korban bukan hanya satu pihak (komunis), bukan hanya dua 
pihak (pro dan anti-komunis), tetapi berbagai pihak (bangsa yang 
terbelah-belah). Dengan demikian, sebetulnya berbagai pihak yang menjadi korban 
ini tidak perlu saling bermusuhan. Bersama-sama mereka layak menuntut 
tanggung-jawab negara atas kerugian yang mereka derita. 

Namun, selama ini kisah kekejaman 1965 disempitkan seakan-akan hanyalah puncak 
dan akibat konflik horizontal pro dan anti-komunis.  Dalam berbagai pidato 
pejabat negara, buku resmi sejarah, dan pembahasan dalam ruang publik, 
kejahatan Negara dalam peristiwa itu diabaikan. Sebagai gantinya, tanggung 
jawab itu dilimpahkan kepada masyarakat yang anti-komunis, termasuk mereka yang 
menjadi korban karena dipaksa aparat Negara (dengan ancaman jika menolak) untuk 
membasmi komunis.

Sebelum maupun sesudah 1965, konflik horizontal itu memang ada. Tetapi konflik 
itu teramat kecil jika dibandingkan dengan skala dan peran kejahatan vertikal 
oleh Negara pada peristiwa yang sama. Seandainya konflik pro dan anti-komunis 
dibiarkan terjadi sendiri,  tanpa campur-tangan negara, jumlah korbannya 
mungkin puluhan, atau beberapa ratus. Sulit membayangkan akan mencapai angka 
seribu. Kalau ternyata korbannya ratusan ribu dalam waktu singkat, pasti Negara 
berperan penting dalam kekejaman itu.

Warga sipil anti-komunis dikisahkan dalam berbagai ceramah, ulasan berita, 
novel, atau film sebagai kaum yang bengis, atau aneh. Mereka diwawancarai 
mengapa mereka membunuh komunis, atau terlibat membantu pembunuhan itu. Mereka 
dituduh sebagai pihak yang bersalah. Sementara Negara dibebaskan dari tuduhan 
apapun.

Bukannya menolak tuduhan semacam itu, banyak di antara kaum anti-komunis yang 
termakan propaganda Orde Baru. Dua pilihan sikap mereka yang menonjol. Pertama, 
mayoritas dari mereka membela diri dan mencari pembenaran atas tuduhan membunuh 
komunis. Misalnya, dengan dalih terpaksa membunuh, kalau tidak akan dibunuh 
komunis. Mereka juga terus berkampanye anti-komunis lebih dari 50 tahun sesudah 
peristiwa 1965.

Kedua, sebagian kecil dari mereka ikut usaha rujuk atau “rekonsiliasi” yang 
sifatnya lokal dan personal. Hal ini terpuji. Namun, masalah politik yang 
sedahsyat 1965 dengan peran Negara sebagai aktor utama, tidak dapat dituntaskan 
dalam bentuk prakarsa mulia antarwarga di tingkat lokal dan individual, betapa 
pun mulia prakarsa itu.

PEMERINTAHAN JOKOWI

Pemerintahan Jokowi menyatakan minat dan niat untuk menyelesaikan masalah 1965, 
dan sejumlah masalah hak asasi lain. Niat ini layak disambut, tetapi secara 
kritis. Layak diuji.

Setidak-tidaknya Presiden yang mantan pedagang perabot ini memiliki wawasan 
politik, dan komitmen moral jauh lebih baik daripada penyair Goenawan Mohamad 
yang berpendapat pemerintahan Jokowi tidak perlu meminta maaf pada korban 1965. 
Alasan Goenawan, Jokowi baru berusia lima tahun ketika terjadi pembunuhan 1965, 
pemerintahan Jokowi tidak punya sangkut paut dengan Negara RI yang sama ketika 
tahun 1965. 

Simposium Nasional Tragedi 1965 (Jakarta, 18-19/04/2016) menunjukkan tidak 
hanya langkah awal yang membesarkan hati. Simposium itu juga menunjukkan 
perlawanan dari sebagian organ negara terhadap niat Jokowi untuk membuka 
masalah 1965 secara adil dan jujur. 

Di bagian awal Simposium, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut 
Panjaitan memberikan pidato pembukaan yang sangat provokatif. Ia menegaskan 
pemerintahnya tidak akan meminta maaf atas kekejaman 1965. Luhut menyangkal 
jumlah korban pembunuhan sebanyak yang selama ini diyakini berbagai pihak 
(antara setengah hingga satu juta). Ia menantang pihak lain untuk menyanggahnya 
atau memberikan bukti.

Dalam hitungan menit, pidato Luhut menjadi bulan-bulanan berbagai caci maki di 
media sosial. Tapi sebagian aktivis menyambut baik tantangan Luhut dengan kerja 
keras mengumpulkan data-data yang luar biasa banyaknya dan berserakan, untuk 
disusun dan disampaikan kepada Luhut, mewakili pemerintahan Jokowi. 

Terus terang, reaksi awal saya sangat negatif. Kesan saya, Luhut sudah 
berprasangka buruk. Sebuah sikap yang justru bertolak belakang dengan janji 
Jokowi. Saya kurang setuju dengan maksud baik para aktivis yang menyusun data 
dan bukti korban 1965 untuk Luhut. Ada dua alasan saya.

Pertama, kalau Luhut atas nama pemerintahan Jokowi dan atas nama Negara RI 
memang berniat mencari kebenaran tentang korban 1965, seharusnya hal itu dapat 
dikerjakannya sendiri dengan sarana negara. Ini bukan tugas dan tanggung jawab 
warga, termasuk aktivis dan LSM. Tentu, pemerintah bisa meminta tolong warga, 
termasuk LSM, untuk membantunya. Untuk itu pemerintah perlu bersikap santun 
kepada yang dimintai tolong. Pemerintah juga perlu menyediakan sarana yang 
dibutuhkan. Bukan dengan sikap bermusuhan, negatif dan menuntut apa yang 
menjadi tugas dan tanggung-jawab negara.

Kedua, bila sejak awal sudah ada sikap negatif dan tertutup dari pihak Luhut, 
sia-sia saja sumbangan data dan bukti dari warga. Betapa pun kuatnya bukti dan 
data itu, dengan mudah akan ditampik atau diabaikan oleh mereka yang memang 
sejak awal tidak meminatinya. Contohnya, nasib laporan Komnas HAM tentang 1965 
atau yang lain.

Tapi kemudian timbul keraguan baru dalam benak saya. Sebagai pengamat yang jauh 
dari hiruk-pikuk politik elite di Jakarta, mungkin kemarin saja saya luput 
memahami kompleksitas persoalan. Bukan mustahil, Luhut sedang  berakrobatik di 
antara sejumlah kepentingan yang saling bertolak belakang dan menekannya dari 
sejumlah arah.

Terlepas dari sikap pribadinya, mungkin Luhut tampil untuk menyenangkan militer 
yang menolak Simposium 1965 dan upaya rekonsiliasi. Bukan berarti ia sepenuhnya 
menolak kebenaran dan rekonsiliasi itu. Bisa jadi, ia berharap, apabila semua 
itu harus berproses, ia ingin berlindung di belakang Presiden Jokowi, dan 
berharap tangan warga non-negara yang bekerja-keras dalam proses itu. Sehingga 
ia tidak dituduh berkhianat pada militer.

Negara berutang tanggung jawab besar atas kekejaman 1965, biarpun pemerintahan 
RI berganti berkali-kali. Pemerintahan Jokowi bisa mulai mengakui utang ini, 
dan mencicil pembayaran moral dan politik sebatas kesiapan pemerintahannya, 
jika bukan melunasinya secara tuntas. Permintaan maaf sudah terlalu lama 
ditunda, dan layak diberikan bukan hanya pada satu pihak, misalnya Komunis dan 
simpatisannya. Tetapi kepada bangsa ini secara keseluruhan, karena penderitaan 
yang lebih dari setengah abad.



-- 
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


[Non-text portions of this message have been removed]

  • [inti-net] Re: Negara Jangan ... 'A. Alham' a.alham1...@kpnmail.nl [inti-net]

Kirim email ke