Meskipun saya belum membaca buku ini( dan sangat mungkin tidak akan membacanya) 
karna isinya sudah bisa ditebak: memuji-muji Tiongkok yang sekarang ini sebagai 
pembangun negara “sosialis berciri Tiongkok”.Saya tidak a priory namun 
tulisan-tulisan Ibrahim Isa sudah saya ikuti selama belasan tahun terus menerus 
yang isinya sama saja,itu-itu saja dan membosankan. Ibarahim Isa adalah pemuji 
dan pengagum Tiongkok hingga mabok kepayang sejak dari jaman Mao Tse Tung 
hingga Teng Siauw Ping yang semuanya dia puji dan kagumi tanpa cacad cela 
sedikitpun.Di jaman Mao dia berteriak-teriak di radio Peking setiap pagi 
mengumumkan ke  seluruh dunia bahwa Tiongkok adalah benteng revolusi dunia. Di 
jaman Teng dia hijrah ke Belanda sebagai turis istimewa untuk mempropagandakan  
Tiongkok sebagai “negeri Sosialis berciri Tiongkok”. Jamak dia diterima dan 
diperlakukan Tiongkok baik di jaman Mao maupun di jaman Teng, secara istimewa 
hingga ahir hidupnya. Tapi dia tidak pernah membela PKI dari fitnah suhartO, 
tidak membantah bahwa PKI dalang G30S. Dia hanya baik dan berguna bagi 
Tiongkok. . Terhadap PKI dia selalu bermuka dua.
ASAHAN AIDIT.

From: Chan CT 
Sent: Saturday, May 07, 2016 2:34 PM
To: GELORA_In 
Subject: Telah terbit buku "Tiongkok Yang Kukenal" -- Ibrahim Isa

http://www.ultimus-online.com/index.php/toko-buku/terbitan-ultimus/product/113-tiongkok-yang-kukenal


IBRAHIM ISA adalah satu dari ribuan orang eksil 65, yaitu mereka yang pada masa 
itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk 
menghadiri konferensi internasional.



Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno pada tahun 1960-an. Pada 
masa itu, dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, 
pemerintah RI melakukan kerja sama dengan negara asing untuk mengirim 
orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang 
studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Cita-cita 
Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli, 
sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya 
alam Indonesia kelak.



Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu yaitu anti-imperialisme. 
Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok, kedua negara 
sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada blok Barat dan blok Timur. 
Beberapa negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara 
sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, 
Rumania, Albania, Tiongkok, dan sebagainya. Sekitar 1.500 orang dikirim ke 
negara-negara itu.



Pemerintah Indonesia juga sedang gencar membangun hubungan baik dengan dunia 
internasional. Menjelang tahun-tahun 1965, pemerintah mengirim sejumlah 
delegasi untuk menghadiri sejumlah konferensi di negara-negara sosialis. Antara 
lain ke Tiongkok untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok yang jatuh 
pada 1 Oktober.



Peristiwa pembunuhan enam jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian 
dinarasikan oleh orde baru sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai 
Komunis Indonesia (PKI), menjadi dalih penangkapan, penahanan, penyiksaan, dan 
pembunuhan massal jutaan korban manusia tidak berdosa atas tuduhan menjadi 
bagian dari komunis, lalu menjadi stigmatisasi dan diskriminasi bahkan berimbas 
sampai kepada anak-cucu mereka.



Sebelum 1 Oktober 1965, profesi Ibrahim Isa adalah wakil Indonesia di 
Sekretariat Tetap AAPSO (Afro-Asian People’s Solidarity Organization) di Kairo, 
Mesir, sejak tahun 1960. Sekretariat Tetap AAPSO adalah sebuah Badan Pimpinan 
Harian dari AAPSO. Dalam Sekretariat Tetap ini, terdapat juga wakil-wakil dari 
Mesir, RRT, Jepang, India, Indonesia, Vietnam Selatan, Tanzania, Aljazair, 
Guinea, dan Kamerun. AAPSO didirikan pada tahun 1957 sesudah Konferensi Pertama 
Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia Afrika di Kairo, Mesir.



Sebagai Sekretaris Komite Perdamaian Indonesia, beberapa kali Ibrahim Isa 
mewakili Indonesia di berbagai konferensi internasional untuk perdamaian. Pada 
awal musim panas  tahun 1965, sebagai salah satu persiapan Indonesia 
menyelenggarakan Konferensi Bandung ke-2, Ibrahim Isa  ambil bagian dalam Misi 
Safari Berdikari Pemerintah Republik Indonesia, mengunjungi 14 negeri-negeri 
Afrika dan Timur Tengah, dalam kapasitas sebagai Penasihat Menlu RI Subandrio.



Ibrahim Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 
September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 
17 Oktober 1965. Ia melihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saat itu, sudah 
ada undangan untuk menghadiri Konferensi Solidaritas Asia – Afrika – Amerika 
Latin di Havana. Ia sudah memperhitungkan pasti pemerintah Indonesia tidak akan 
mengirimkan delegasi yang dipimpinnya, sebab ini delegasi rakyat, yang isinya 
banyak simpatisan kiri dan sudah banyak di antaranya yang ditangkap atau 
hilang. Mereka tidak akan mendapat dukungan sama sekali dari tanah air.



Pada Desember 65, Isa menjelaskan kepada panitia organisasi bahwa di Indonesia 
terjadi pergolakan, sehingga tidak akan mampu mengirim orang ke Havana. Lalu, 
panitia mengatakan kalau Bung Isa saja yang mewakili, karena ia sudah mewakili 
Indonesia di Kairo untuk Gerakan Asia-Afrika. Isa menjawab, tidak bisa sendiri, 
mesti bersama-sama dengan yang lain. Kebetulan banyak teman lain yang berada di 
luar negeri. Ibrahim Isa meminta kepada mereka, akhirnya ada tujuh atau delapan 
orang membentuk delegasi Indonesia, dan berangkatlah mereka ke Havana.



Di Havana, tiba-tiba datang delegasi lain dari Indonesia, diketuai oleh 
Brigjen. Latief Hendraningrat. Latief adalah anggota parlemen komisi luar 
negeri, mewakili PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi masih jenderal. Secara 
hierarkis, ia berada bawah Soeharto. Komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, 
salah satu orang terpentingnya letnan kolonel. Ibrahim Isa menjelaskan pada 
panitia bahwa ini bukan delegasi rakyat, tapi dikontrol militer.



Ketika Isa bertanya kepada Brigjen. Latief apa yang mau dibicarakannya dalam 
konferensi, Latief bilang, “Saya garis PNI, garis Presiden Soekarno, 
anti-imperialisme, ganyang.” Bung Isa menjawab, panitia di Havana tidak mau 
dengar tentang itu. Mereka tahu ada pergolakan di Jakarta dan mereka ingin tahu 
bagaimana Presiden Soekarno. Sebab Presiden Soekarno diketahui sebagai tokoh 
yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena Brigjen. Latief mengatakan tidak 
bisa menjelaskan hal itu, Ibrahim Isa mengatakan bahwa dia sendirilah yang akan 
menjelaskan kepada panitia. Tapi Brigjen. Latief mengatakan tidak bisa. Tidak 
tercapai sepakat, maka diajukanlah ke komite. Komite akhirnya memutuskan untuk 
menerima perwakilan yang dipimpin oleh Ibrahim Isa.



Selanjutnya sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, 
Havana, awal Januari 1966, Ibrahim Isa berpidato di muka kurang lebih 1000 
hadirin yang terdiri dari para delegasi organisasi pejuang kemerdekaan 
anti-kolonialisme, neo-kolonialisme dan imperialisme, dan wartawan 
internasional. Ia mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. 
Yaitu naik panggungnya suatu kekuasaan militer di bawah Jenderal Soeharto yang 
mulai menggerogoti Presiden Soekarno.



Kontan saja, Jakarta marah sekali. Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yudha 
dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang 
berada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekkan Indonesia, dan 
sebagainya. Fotonya dimuat dengan huruf-huruf besar di bawahnya: “Gantung 
Ibrahim Isa”. Itulah yang menyebabkan paspornya dan teman-teman lain dicabut 
tanpa proses, tanpa ditanya.



Namun, tiba-tiba Presiden Fidel Castro memerlukan mengunjungi teman-teman 
Delegasi Indonesia, di kamar mereka di Hotel Habana Libre. Kunjungan ini 
merupakan suatu pernyataan politik penting Presiden Castro untuk menunjukkan 
bahwa Kuba berada di pihak rakyat Indonesia. Fidel Castro menawarkan fasilitas 
dan memberikan paspor Kuba, setelah mengetahui bahwa paspor mereka dicabut oleh 
rezim militer Jakarta.



Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran 
sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Sekitar setahun 
kemudian, atas undangan Tiongkok, Ibrahim Isa pindah ke Beijing dan bekerja 
pada sebuah Lambaga  Riset Asia-Afrika di sana. Pada saat yang bersamaan, Isa 
mendapat informasi bahwa istri dan anak-anaknya yang pada saat itu masih 
berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali 
ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat 
menyusul Isa ke Tiongkok.



Selama di RRT kegiatan utama Isa adalah mengadakan penerbitan mingguan Suara 
Rakyat Indonesia dan OISRAA Bulletin dalam bahasa Inggris. OISRAA adalah 
Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika. Penerbitan tersebut 
memberikan informasi mengenai perkembangan politik Indonesia, mengkritik rezim 
orde baru dan mendukung Presiden Soekarno.



Setelah orde baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar 
negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dianggap sebagai komunis. 
Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang 
berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap 
dan diinterogasi oleh pihak militer. Bertahun-tahun, para eksil 65 hidup tanpa 
kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, 
Kuba, dan lain-lain.



Pada akhir 1986, Ibrahim Isa pindah ke Belanda dengan mengajukan permintaan 
suaka politik, yang diterima oleh pemerintah Belanda. Bersama kawan-kawan 
lainnya, ia mendirikan Yayasan Asia Studies. Ia aktif dalam Yayasan Wertheim 
Foundation. Menjabat sebagai Sekretaris dan merangkap sebagai Bendahara. Ia 
juga dikenal sebagai salah seorang pengurus Amnesti Internasional. Ia adalah 
anggota sesepuh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia dan Lembaga Perjuangan 
Korban 1965 di Belanda. Dengan penuh antusias ia turut membina Perhimpunan 
Persaudaraan Indonesia agar tetap terpelihara sebagai organisasi yang hidup dan 
dinamis. Ia merupakan salah seorang anggota Yayasan Sejarah dan Budaya 
Indonesia (YSBI) di Belanda



Ibrahim Isa tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih 
memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal 
umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai 
pemikirannya tentang Indonesia lewat berbagai tulisan. Lewat tulisan-tulisannya 
itulah Isa mencoba melawan lupa. Dengan “Kolom Ibrahim Isa”, ia aktif dan terus 
menulis di berbagai milis, Facebook, dan beberapa media cetak. Selama tinggal 
di Belanda, ia telah menulis beberapa buah buku: Suara Seorang Eksil, Bui Tanpa 
Jerajak Besi, dan Kabar dari Seberang.



Beberapa hari sebelum terbitnya buku Tiongkok yang Kukenal ini, kami menerima 
kabar berita duka itu. Ibrahim Isa meninggalkan kita semua pada hari Rabu, 16 
Maret 2016 jam 15.30 di rumahnya di Amsterdam Zuid Oost.



Pada hari Selasa 22 Maret 2016 di pekuburan Westgaarde Ookmeerweg Amsterdam 
telah dilangsungkan upacara pemakaman Ibrahim Isa. Bung Chalik Hamid, yang 
bersama Ibrahim Isa juga menjadi eksil 65 di Belanda, melukiskan selengkapnya 
seperti kami kutip berikut ini:



Udara sangat bersahabat, cerah dan sejuk mengusap dada. Mentari hadir 
menampakkan wajahnya di langit Amsterdam. Angin lembut kadang bertiup perlahan 
mengantarkan kepergian seorang teman, seorang sahabat dan pejuang kemerdekaan 
yang meninggalkan kita untuk selamanya. Setelah mayatnya dimandikan dan 
disembahyangkan secara Islam, kemudian dibawa ke ruangan pertemuan.



Gedung tempat berlangsungnya upacara penuh sesak oleh para hadirin yang datang 
dari berbagai negeri, dari kota-kota besar Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, 
Belgia, dan Indonesia. Tampak hadir Dubes RI di Belanda yang berkedudukan di 
Den Haag, Bapak I Gusti Agung Wesaka Puja, wakil-wakil dari pengurus berbagai 
organisasi masyarakat Indonesia di Belanda seperti Persaudaraan, LPK65, YSBI, 
DIAN, Stichting Wertheim, Amnesti Internasional, IPT65, Stichting Nusantara, 
Paguyuban (dari Swedia), dan PPI dari Leiden. Karangan bunga warna-warni 
persembahan dari para sahabat penuh mengelilingi peti mati yang diletakkan di 
ruangan gedung, di hadapan para hadirin.



Sebelum kata sambutan dari berbagai kalangan, Tiwi, putri sulung Ibrahim Isa 
menyampaikan pidato. Ia mengatakan, “Hari ini kita akan bersama-sama mengantar 
ayah, kakek, eyang-buyut, bapak mertua, dan suami ibuku ke tempat 
peristirahatan beliau untuk selamanya. Mohon maaf atas segala kesalahan atau 
kekhilafannya. Ingin saya sebutkan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ke-62 
perkawinan ayah dan ibuku, A’im dan Mungi, demikian panggilan mereka. ‘Hari 
pernikahanku, juga hari perpisahanku dengan ayahmu,’ kata ibuku waktu kami 
memutuskan bahwa upacara akan dijatuhkan pada hari ini tanggal 22 Maret 2016.



Ada sedikit cerita kecil tentang bagaimana ayah bertemu ibu. Ayah adalah 
seorang guru, pada umur muda sudah menjadi kepala sekolah. Pada suatu hari 
seorang muridnya datang ke kantor ayah dan pandangannya tertarik ke sebuah 
kalender yang tergantung di dinding. Kalender tersebut dihiasi foto seorang 
wanita berbaju Minangkabau. Sang murid menceritakan bahwa foto itu adalah foto 
mbakyunya, juga seorang guru dan sedang mencari pekerjaan. Ayah menyuruh sang 
murid memberitahunya supaya datang melamar pekerjaan sebagai guru di sekolah 
ayah. Akhir cerita, di akhir tahun 1954 mereka menikah dan mendiami rumah paman 
ibu yang pernah beberapa waktu terkenal sebagai rumah kediaman Barack Obama di 
Indonesia ketika masih kanak-kanak.



Enam puluh dua tahun suka dan duka, jalan panjang dan berliku, penuh tantangan 
dan cobaan, ayah dan ibuku selalu bersama menghadapinya dengan tabah. Demikian 
juga selama periode ketika ayah menderita sakit terakhir ini. Ibu sebagai 
tulang punggung dari seluruh keluarga dalam memberikan sokongan dan rawatannya 
dengan sabar dan penuh kasih sayang kepada ayah. Sehari suntuk ibu sibuk tak 
henti-hentinya menjawab panggilan ayah, membuatkan minuman atau makanan apa 
saja yang ayah minta.”



Kemudian Tiwi melanjutkan, “Dari Indonesia ke Mesir, lalu ke Tiongkok, sampai 
berakhir di negeri Belanda. Kehidupan ayah telah menjadikan kami seorang 
manusia dunia. Akan tetapi di negeri mana pun kami bermukim, ayah selalu 
mengingatkan kami agar selalu menggunakan bahasa Indonesia, mengenal Indonesia 
dan kebudayaannya. Ayah telah dengan gigih berusaha melawan penyakitnya, yang 
semakin lama semakin merusak jasmaninya. Akan tetapi semangat dan kepeduliannya 
terhadap sesama manusia akan selalu menjadi sumber inspirasi yang mendorong 
kami berteladan kepadanya. Hari ini saya ingin mengucapkan, ‘Ayah, Yi Lu Ping 
An!’ Kata-kata dalam bahasa Tionghoa ini yang selalu tak lupa ayah ucapkan jika 
kami berpamit dari rumah ayah dan ibu. Berarti: Selamat jalan!”



Haru menyusup ke celah hati ketika seorang wanita kecil, cucu Ibrahim Isa, 
menggesek senar biolanya melantunkan sebuah lagu sedih sebagai sinyal ucapan 
selamat jalan kepada sang eyang. Irama itu merupakan ucapan terima kasih kepada 
eyang yang telah hadir di bumi pertiwi dengan segala sumbangannya bagi 
kemanusiaan.



Setelah irama melenyap, tak lama tampil menghadap mikrofon seorang menantu 
Ibrahim Isa yang berasal dari Afghanistan. Ia juga menyatakan selamat jalan 
kepada sang mertua. Ia menyatakan bahwa keluarga besar Ibrahim Isa adalah 
keluarga internasional, keluarga berbagai bangsa. Dalam keluarga ini terdapat 
orang Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, Polandia, dan Iran. Putri Isa yang 
berada di Jerman memiliki dua putra. Salah seorang dari putra ini menikah 
dengan seorang gadis Iran. Putri Iran ini juga hadir dalam upacara dengan 
mendorong kereta bayi yang masih kecil dan baru lahir. Dengan demikian Ibrahim 
Isa bukan saja memiliki banyak cucu, tetapi bahkan telah memiliki cicit. Seolah 
memberikan jawaban kepada orde baru Soeharto, bahwa generasi korban kejahatan 
akan lahir dan berkembang di mana saja, tidak bisa dibendung oleh siapa pun. Ia 
akan memberikan perlawanan terhadap setiap kejahatan.



Pada kesempatan itu juga putra-putri Isa lainnya memberikan kata sambutannya, 
termasuk kerabat dan sahabat lain. Setelah upacara dalam gedung selesai, 
keranda mayat digiring menuju liang lahat. Keranda diikuti barisan keluarga, 
berjejer ke belakang diikuti barisan para sahabat dengan berbagai karangan 
bunga persembahan yang datang dari berbagai negeri.



Sebelum keranda dimasukkan ke dalam liang kubur, di tempat ini diadakan upacara 
perpisahan terakhir. Bapak Haji M.D. Kartaprawira, Ketua Lembaga Perjuangan 
Korban 65 (LPK65) menyampaikan sepatah dua patah kata perpisahan dan 
dilanjutkan dengan doa selamat jalan secara muslim. Perlahan-lahan keranda 
diturunkan. Keluarga dan para hadirin secara teratur menabur bunga ke atas 
keranda.



Selamat jalan Bung Ibrahim Isa! Beristirahatlah dengan tenang di tempat 
pembaringan terakhir!




-- 
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke