Bahaya Laten ORBA: Stempel Komunis!
Oleh: erros djarot
Pada zaman Orde Baru, bicara sedikit keras membela rakyat, buruh, tani, dan 
nelayan, sangat mudah  untuk dituduh dan distempel oleh aparat sebagai gerakan 
kaum Komunis. Menafsirkan Pancasila yang sedikit saja berbeda dengan tafsir 
tunggal versi penguasa, sudah cukup untuk dikategorikan dan dikelompokan 
sebagai perongrong Pancasila. Dan siapa yang merongrong pastilah para aktivis 
agen Komunis, alias simpatisan atau kader Partai Komunis Indonesia (PKI). 
Begitu pola pikir aparat rezim Orde Baru. Stigma seperti ini berjalan selama 
hampir tiga dekade tanpa jedah. 
Terjadinya lebelisasi Komunis ini berawal jelang terjadinya peristiwa Gerakan 
30 September (G30S) 1965. Untuk menghancurkan barisan pendukung Bung Karno yang 
terkonsentrasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI) dan barisan kaum Marhaenis, 
lebelisasi Komunis ini sengaja dijadikan alat pemecah belah kekuatan barisan 
pendukung Bung Karno. PNI pun diisyukan beberapa tokohnya diberi stempel 
sebagai pro Komunis. Sehingga PNI pun terbelah menjadi dua; PNI Ali-Surahman 
(ASU) dan PNI yang dipimpin Osa-Usep. 
Marhaenisme (ajaran Bung Karno) pun diberi lebel sebagai faham yang senyawa 
dengan Marxisme-Leninisme. Tidak secara tegas dinyatakan sebagai ideologi 
terlarang, namun keberadaannya digolongkan dengan status ‘sangat berbahaya’. 
Oleh karenanya beberapa kader aktivisnya banyak yang dipenjarakan oleh rezim 
Orde Baru tanpa proses peradilan. Hal yang dialami oleh, sebut saja sebagai 
contoh nama populer, penyair Sitor Situmorang yang selama kurang lebih 9 tahun 
mendekam di penjara.
Bahkan salah satu angkatan bersenjata kita, yakni Angkatan Udara Republik 
Indonesia (AURI) dilebelisasi sebagai angkatan bersenjata pro PKI. Sehingga 
para perwiranya banyak yang mengalami perlakuan yang sangat diskriminatif 
bahkan dikriminalisasi. Kepala Staf AURI, Marsekal Udara Oemar Dhani dan 
beberapa perwira lainnya dipenjarakan hingga belasan tahun. Hak-hak mereka 
sebagai warga negara pun direduksi sampai ke titik nadir. Keluarga mereka pun 
hidup dalam keprihatinan yang sangat tinggi.
Semua upaya ini dilakukan oleh Rezim militer Orde Baru untuk melumpuhkan 
sepenuhnya Bung Karno dan seluruh kekuatan politik yang berada di belakangnya.. 
Politik lebelisasi Komunis ini ternyata sangat berhasil mencuci otak warga 
bangsa selama tiga dekade. Hingga kini pun masih tersisa otak- otak hasil 
cucian rezim Orde Baru yang selalu berusaha menempatkan Marhaenisme sebagai 
bagian dari The teaching of Marxism-Leninism. . Upaya yang ternyata terus 
dihembuskan oleh para pendukung rezim Orde Baru ini, layak untuk dinyatakan 
sebagai  ‘Bahaya Laten Orde Baru’. Sebuah upaya untuk mengembalikan kejayaan 
rezim Orde Baru dengan cara menghidupkan kembali ‘luka’ rekayasa masa lalu. 
Sehingga kehadiran barisan kaum Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme, diposisikan 
sebagai rangkaian sebuah eksistensi kelompok pro Marxisme-Leninisme. Dengan 
demikian eksistensi mereka sengaja dikaitkan dengan keberadaan TAP MPR no. 
XXV/66 yang secara tegas melarang segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan 
ajaran Marxisme-Leninisme.
Upaya seperti ini (lebelisasi Komunis) terhadap lawan politik, sangat terasa 
hadir saat polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) 
mencuat ke permukaan kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini.. Suatu 
upaya yang tentunya sebuah kesia-siaan dan kemunduran berpikir yang sangat 
menyesatkan. Karena upaya ini menisbikan realita fenomena peradaban politik 
dunia yang sudah jauh bergeser dari situasi dan kondisi sosial politik di masa 
terjadinya peristiwa G30S 1965. Sehingga menarik bangsa ini untuk kembali 
mundur kejaman ‘jahiliah’ sungguh merupakan strategi politik yang sangat kontra 
produktif dan tak laku dipasarkan pada dunia akal waras warga bangsa kita.
Semula ketika terjadi pro kontra terhadap RUU HIP, secara pribadi saya maknai 
sebagi dinamika yang menarik dan perlu. Karena bangsa ini memang perlu 
diskursus intelektual yang hangat dan sehat. Akan tetapi ketika polemik ini 
diberi muatan politik murahan yang serta merta melebelisasi PDIP dengan stempel 
Komunis dan bahkan menuntut dibubarkan, nilai perdebatanpun menjadi bermutu 
rendah. Tidak lagi dalam koridor kajian yang proporsional -rasional-obyektif, 
tapi kepentingan subyektivitas politik kelompok tertentu terasa kental mewarnai.
Semula kritik seperti dilakukan seorang Yudi Latif, mantan Kepala BPIP, masih 
saya golongkan sebagai lontaran reaksi pemikiran yang positif. Begitu juga 
dengan sejumlah kritik tajam yang ditujukan kepada DPR (pimpinan Panja 
khususnya) tergolong wajar-wajar saja. Karena toh sebuah Draft RUU memang layak 
diperlakukan dengan sikap pro kontra selama dalam koridor pembahasan 
ilmiah-akademis, dan pemikiran kenegaraan dari berbagai sudut pandang 
masyarakat sebuah bangsa yang pruralis dan archipelagos.
Saya sendiri sebagai salah seorang yang ikut membangun PDIP di masa-masa sulit 
( perjuangan melawan rezim ORBA) turut memberi kritikan yang cukup tajam. 
Semata saya lakukan agar pemahaman terhadap ajaran Bung Karno tidak bias dan 
tereduksi hingga berpotensi menimbulkan salah faham yang dapat berkembang 
melahirkan faham yang salah. Saya lakukan dalam rangka menyadarkan kawan-kawan 
saya yang tengah berkuasa, bahwa; meminjam istilah bahasa Jawa, bener iku urung 
tentu pener (benar itu belum tentu tepat-pas-manfaat).
Saya bisa memahami mengapa banyak juga awam yang ikutan bereaksi sangat keras. 
Utamanya terhimbas oleh gorengan politik yang sengaja memaknai kata ‘peras’ dan 
‘Berkebudayaan’ dengan pendekatan yang sengaja melepaskan dari kesejarahan dan 
keterkaitannya dengan apa yang disampaikan Bung Karno pada pidato hari lahirnya 
Pancasila 1 Juni 1945.  Semata karena digelontorkan begitu saja oleh para 
penggagas tanpa pengantar dan penjelasan yang komprehensif. Sehingga wajar bila 
diplintir sampai menohok jantung dan pikiran para pendukung Bung Besar, 
Pemimpin besar revolusi Indonesia, Bung Karno.
Dengan miskin pengantar dan penjelasan yang komprehensif, wajar bila kata 
‘peras’ dalam rangkaian kata Pancasila di’peras’ menjadi Trisila dan Trisila 
menjadi Ekasila; dimaknai melalui jendela pendekatan yang semata serba fisik 
dan matematik, 5-3-1. Sederhananya, sebagaimana’ buah jeruk’ diperas menjadi 
‘juice’ (jeruknya hilang dibuang) dan juice diperas menjadi ‘bubuk’-nutrisari’ 
(juice pun hilang tinggal menjadi bubuk). Sebuah proses negasi lewat pendekatan 
serba fisik dan matematik ini bisa timbul karena fihak penggagas kurang cermat 
dan sembrono memahami ajaran dan realita obyektif masyarakat kita. 
Padahal digelarnya Trisila oleh Bung Karno sebagai upaya menjelaskan riwayat, 
kedudukan, dan makna, mengapa lahir tawaran Trisila (Sosio Nasionalisme, Sosio 
Demokrasi, dan Ketuhanan yang Maha Esa). Semata untuk menjelaskan lebih 
mendalam dan meluas bagaimana sifat, karakter, dan hakekat Nasionalisme 
Indonesia yang humanis, anti chauvinis, anti kapitalis-imperialis; 
Perikemanusiaan Yang adil dan beradab (berbeda dgnHAM yang berakar dari faham 
individualisme), Kerakyatan-Demokrasi Indonesia yang bukan liberal 
(musyawarah-mufakat non voting oriented) Dimana tujuan akhir bermuara pada 
tegaknya Keadilan Sosial (kesejahteraan rakyat)
Sementara Ekasila dihadirkan bukan untuk meniadakan Trisila dan apalagi 
Pancasila. Karena Gotongroyong bagi Bung Karno merupakan pijakan dasar budaya 
bangsa bila ingin berhasil mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara yang 
berpijak pada Pancasila! Jadi semacam pakem atau kunci dasar! Jadi bukan 
seperti bayangan diperas peres seperti perasan jeruk atau pakaian di jemuran! 
Nah, bila saja ada penjelasan yang komprehensif dari para penggagas RUU HIP 
yang disampaikan ke publik secara jelas dan lugas, saya yakin heboh RUU HIP 
tidak akan separah ini. Dan, kaum pemegang stempel Komunis milik rezim Orde 
Baru, tak berpeluang untuk beraksi dan bermanuver politik. 
Saran saya, seperti kata mas Tukul ... kita kembali ke Laptop saja! Percuma 
jualan komunis, gak laku! Pabriknya sudah bangkrut! Peminat ludes! Kecuali 
segelintir orang ‘kenthir’ yang dilusional yang masih doyan Komunisme!
Jadi, damai-damai saja lah, kita semua saudara sebangsa seTanahair, Indonesia! 
Ana juga ogah Komunis, Bib! Anak milenial kate ... NO Way!
Nah kebetulan bulan Juni adalah bulan  Lahir dan meninggalnya Bung Karno dan 
juga bulan lahirnya almarhum Pak Harto, mari kita doakan agar arwah beliau 
berdua beristirahat dengan damai di sisi Tuhan Yang Esa, alfatihah Aamiin

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke