-----Original
Message-----
From: Noly
Sukendar
Sent: Thursday,
October 13, 2005 8:43 AM
Subject: Do We Care With It
?
Makan
Dua Hari Sekali
Tangerang, Warta
Kota
Keluarga Idup (44),
warga Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Neglasari, Kota Tangerang, terpaksa harus makan dua hari sekali. Untuk
mengirit minyak tanah, keluarga itu minum air mentah.
Kesengsaraan
keluarga dengan empat anak itu semakin terasa setelah harga BBM naik.
Penghasilan Idup sebagai kuli angkut pasir kian terpuruk, begitu pula istrinya
Selih (32) yang bekerja sebagai buruh cuci.Sebelum harga BBM naik, keluarga
itu masih bisa makan sehari sekali dan Idup masih bisa ngopi dua kali.
"Sekarang sudah tak bisa lagi. Dengan uang Rp 3.000 sudah tidak bisa
membeli apa-apa lagi," ujar Idup meratapi nasibnya. Ia pun menuding pemerintah
buta dan tuli. Menurutnya, para penggede tak peduli terhadap kehidupan
orang-orang seperti dirinya yang jumlahnya jutaan.
Idup dan keluarganya
tinggal di Kampung Sewan Bedeng RT 01/02, kampung kumuh di bantaran Kali
Cisadane, tak jauh dari pintu irigasi Pintu Air X. Kampung itu dipadati rumah
gubuk yang ditempati para kuli angkut pasir dan buruh cuci. Seperti
kebanyakan rumah gubuk di kampung itu, rumah Idup juga tak berjendela. Udara
segar hanya bisa masuk dari sela-sela anyaman dinding gedek. Gubuk
berukuran 3 m x 3 m yang disewa Rp 50.000 per bulan itu pun hanya punya satu
ruangan yang difungsikan sebagai ruang tamu, kamar tidur, dan dapur
sekaligus.
Pasangan Idup dan
Selih memiliki empat orang anak. Anak pertama dan kedua, Gustiawan (15) dan
Yuliana (13), terpaksa berhenti sekolah di kelas IV SD. Keduanya kini
dititipkan kepada neneknya, lantaran Idup dan Selih tak sanggup memberi makan.
Hanya dua anak yang tinggal bersama mereka, yakni anak ketiga Julendra (11)
yang duduk di kelas V SD dan anak keempat Faisal (3).
"Julendra juga
terancam berhenti sekolah, karena sejak bulan Juni sampai Oktober dia belum
bayar SPP. Bagaimana kami bisa bayar uang sekolah yang sebulan Rp 5.000, kalau
makan aja susahnya bukan main," kata Selih.
Ketika Warta
Kota menyambangi rumah kecil berdinding gedek dan beratap anyaman
daun kelapa itu, kemarin, Idup bertelanjang dada duduk murung menatap anak
laki-lakinya Faisal asyik melahap nasi putih tanpa lauk. Sesekali tangan Idup
menuangkan air putih ke piring plastik bocah itu agar nasinya tidak
menggumpal.
Di belakang kedua
orang itu, Selih duduk bersandar lemari kayu usang sambil mengurut kedua
kakinya. Mata perempuan itu terus menatap ayunan tangan si bocah menyuapkan
nasi ke mulutnya.
Belum habis nasi di
piring Faisal, tiba-tiba kakaknya Julendra menyeruak masuk. Tanpa bicara
apa-apa, si kakak merebut piring plastik di depan adiknya. Piring itu
dibawanya menjauh ke sudut ruangan. Setelah sejenak melirik ke kanan dan ke
kiri, tanpa ragu Julendra menyuap nasi yang tinggal setengah itu ke
mulutnya.
Melihat piringnya
direbut, Faisal tak bereaksi apa-apa. Dia bangkit dan menjangkau gelas di
belakangnya. Ia lalu mengisi gelas dengan air yang diambil dari dalam ember
plastik warna hitam. Usai menenggak habis isi gelas, bocah itu berbaring di
atas kasur tipis yang dibentangkan di lantai semen. Bau tak sedap merebak dari
setumpuk kain gombal yang dijadikan alas kepala si bocah.
"Iya begini deh.
Saya dan bapaknya anak-anak mengalah nggak makan hari ini. Habis nasinya
nggak cukup buat berempat. Biar aja anak-anak duluan yang makan. Kalau saya
dan bapaknya masih kuat nggak makan sampai besok," ujar Selih disusul anggukan
lemas suaminya Idup.
Kompor
nganggur
Sebagai buruh cuci,
Selih mengaku tak bisa berbuat banyak. Penghasilannya yang cuma Rp 30.000
setiap bulan, tak pernah cukup untuk sekadar hidup layak. Sementara
penghasilan Idup yang jadi kuli angkut pasir pun tak jelas. Sekali menurunkan
pasir, ia dibayar Rp 3.000. Jika banyak orderan, Idup paling banter bawa
pulang uang Rp 9.000. Tapi Idup lebih banyak menganggur.
"Sebelum BBM naik,
kami sekeluarga hanya makan sehari sekali dengan nasi putih dan kerupuk.
Sesekali pakai tempe juga. Bapaknya anak-anak juga masih bisa ngopi paling
nggak dua kali sehari. Tapi sekarang, saya dan bapaknya anak- anak kadang baru
makan dua hari sekali. Ngopi juga kalau ada orang yang ngasih.
Kalau anak-anak sih kami belain makan sekali sehari. Nasi putih aja. Lauknya
seketemunya. Biar nggak kering, nasinya dicampur air," ujar
Selih.
Idup lalu meneruskan
cerita kelam hidup keluarganya. Sambil menunjuk kompor minyak tanah usang yang
tergolek di sudut ruangan, ia berkata, "Kompor itu udah lama nggak nyala. Saya
nggak kuat beli minyak tanah karena harganya naik terus. Sekarang aja satu
liter Rp 2. 900. Sama harganya dengan upah saya sekali nurunin
pasir."
Kalau pun ada uang,
lanjut Selih, ia dan suaminya hanya mampu membeli setengah liter minyak tanah
yang digunakan untuk menanak nasi. "Saya cuma berani menggunakan minyak tanah
untuk masak nasi. Agar mengirit minyak tanah, kami nggak pernah masak air
minum. Kalau mau minum, ambil saja air di sumur pakai ember. Anak-anak saya
juga biasa minum air mentah. Kata mereka lebih enak, rasanya adem. Syukurnya
sih mereka nggak pernah sakit," kata Selih.
Selih dan Idup
kemudian terdiam. Mata mereka menerawang ke langit-langit rumbia yang jika
hujan pasti bocor di sana-sini. "Saya dari dulu mau pindah kontrakan. Tapi
uangnya nggak ada. Tinggal di sini susah banget. Kami tidur berempat
berdesak-desakan di atas satu kasur. Kadang kepala saya mentok ke kompor.
Kalau nggak kaki saya harus dilipat semalaman. Belum lagi kalau hujan,
atap pasti bocor. Tidur terpaksa harus gantian, karena kasurnya kebasahan,"
kata Idup.
Pasangan suami istri
itu lalu menanyakan dana kompensasi BBM. "Katanya ada bantuan dari pemerintah
buat orang miskin. Kok sampai sekarang kami nggak kebagian. Boro-boro dapat
duit, didata saja nggak. Bagaimana nih Pak Walikota, kok yang miskin
makin tambah miskin aja," kata Selih lirih.
(Has)
SPONSORED
LINKS
YAHOO!
GROUPS LINKS