Ketika Dosen Syariah Merusak Syariah" [image: Cetak halaman
ini]<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=4996&pop=1&page=0&Itemid=55>
[image:
Kirim halaman ini melalui
E-mail]<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=4996&itemid=55>
 Senin,
09 Juli 2007

*Dosen IAIN Semarang membolehkan menikah 'tanpa wali'. Pikiran 'wathon
suloyo' atau ada motiv lain? baca Catatan Akhir Pekan [CAP] ke-202 Adian
Husaini*

Oleh: *Adian Husaini*



Pekan lalu, dalam acara *workshop* di Semarang, saya mendapatkan kembali
sejumlah nomor jurnal yang diterbitkan di Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang. Jurnal ini beralamat di Fakultas Syariah IAIN Semarang dan terbit
atas ijin Dekan Fakultas Syariah. Sudah beberapa kali kita bahas JURNAL ini
melalui forum CAP. Namun, setiap membaca edisi jurnal ini, selalu
memunculkan ketakjuban dan perasaan aneh, mengapa dari sebuah Fakultas
Syariah justru muncul pemikiran-pemikiran yang merusak syariah, bahkan
merusak aqidah Islam itu sendiri?

Sebagai orang muslim, kita tentu pantas bertanya, untuk apakah Fakultas
Syariah didirikan? Bukankah tujuannya untuk mengkaji syariah Islam dan
berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa dunia ini sudah
terbalik-balik? Para pejuang Islam terdahulu sibuk mengatasi serangan
terhadap Islam yang dilakukan oleh kaum orientalis. Kini, kita dipaksa harus
berpikir keras, mengapa anak-anak yang kita didik ilmu syariah justru
menjadi anti-syariah?

Lebih parah dari itu, justru kini bermunculan dosen-dosen syariah yang aktif
menghancurkan syariah Islam. Jika George W. Bush anti-syariah Islam, kita
bisa maklum. Kita maklum, kalau Ariel Sharon benci kepada Islam. Kita pun
maklum jika setan senantiasa berusaha menyesatkan manusia. Kita sangat
paham, jika bertahun-tahun para orientalis Kristen, seperti Peter the
Venerable, Arthur Jeffery, dan sebagainya senantiasa berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk menyerang kesucian dan keotentikan Al-Quran. Tapi,
bagaimana jika semua serangan itu datangnya justru dari dosen-dosen syariah?
Kita perlu berteriak-teriak terus sekencang-kencangnya untuk menyadarkan
umat kita, agar jangan lengah dan jangan tidur panjang dalam kebodohan dan
ketidakpedulian. Kita perlu mengetuk hati dan pikiran para ulama dan
pemerintah agar memahami akar masalah yang sedang kita hadapi, dan tidak
terjebak ke dalam hal-hal yang superfisial.

Di dalam jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 30/2006, misalnya,
terdapat sebuah tulisan dari Prof. Dr. Muhibbin yang berjudul "Nikah Tanpa
Wali". Dia adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Semarang periode 2002-2006.
Profesor ini menyebarkan pendapat bahwa untuk menikah, perempuan tidak
memerlukan wali. Sebab, sebagaimana laki-laki, perempuan juga dianggap mampu
untuk mengurus dirinya sendiri. Hukum yang mewajibkan adanya wali bagi
wanita dalam hukum perkawinan dianggapnya tidak adil bagi wanita dan
bernuansa diskriminasi gender. Bahkan, dia katakan, "Maka, secara rasional
keberadaan wali nikah sangat perlu dipertanyakan dan ditinjau ulang."
Menurut sang profesor IAIN ini, jika keberadaan wali nikah bagi wanita terus
dipertahankan dalam hukum Islam, maka perlu dipertanyakan kepada para ulama
dan cendekiawan tentang rasa keadilan yang digadaikan demi keberadaan wali
nikah. Untuk melegalisasikan pendapatnya yang berbasis pada ide 'kesetaraan
gender' profesor IAIN itu lalu membuat pernyataan yang aneh: "Sejauh
penelitian ulama terdahulu maupun penulis sendiri, Hadits-hadits tentang
wali nikah di atas ternyata tidak ada yang shahih."

Benarkah hadits-hadits tentang wali nikah bagi wanita tidak ada yang shahih?
Pendapat ini sangat dulit diterima secara ilmiah. Para ulama hadits dan
ulama fiqih telah banyak membahas masalah ini dengan sangat terperinci.
Dalam *Fiqih Sunnah*, Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa hadits "Tidak sah
nikah tanpa wali" disahkan oleh Hakim dan Ibn Hibban. Banyak hadits lain
yang maknanya sejenis yang diterima oleh para ulama sebagai hadits shahih
atau hasan.  Qurthubi misalnya, juga menyatakan sebuah hadits shahih dalam
soal wali nikah bagi wanita: "Siapa pun diantara wanita yang menikah tanpa
seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal."

Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa hadits "Tidak sah nikah tanpa wali" diikuti
pula oleh golongan ahli ilmu di kalangan para sahabat, seperti Umar, Ali,
Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud dan Aisyah. Begitu
juga para ahli fiqih di kalangan tabi'in seperti Said bin Musayab, Hasan
al-Bashri, Syuraih, Ibrahim bin Nakhai, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya.

Sebenarnya, selama ini, dalam perjalanan hukum Islam di Indonesia, soal wali
nikah ini juga tidak menjadi masalah. Kitab-kitab Fiqih pun sudah membahas
masalah ini dengan terperinci. Barangkali, si professor dari IAIN Semarang
itu pun dulunya menikah dengan istrinya juga dengan wali bagi istrinya.
Mungkin, dia nanti juga mau menjadi wali bagi putrinya yang menikah. Atau,
jika dia konsisten dengan pendapatnya yang keliru itu, jangan-jangan dia pun
akan membiarkan putri-putrinya menikah tanpa wali? Karena dalam
pandangannya, kewajiban adanya wali bagi wanita dalam perkawinan dipandang
sebagai penistaan derajat wanita.

Sebenarnya pandangan profesor IAIN itu telah meletakkan perspektif gender di
atas Al-Quran. Perspektif gender dijadikannya cara untuk melihat hukum-hukum
Islam. Dalam perspektif gender, pembedaan peran wanita dan laki-laki dalam
aspek sosial-budaya dipandang sebagai produk sosial-budaya yang bias gender.
Kaum pengusung gender memang memandang bahwa perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan wanita tidak membawa akibat apa-apa terhadap peran sosial
budaya. Menurut mereka, wanita tidak boleh ditempatkan sebagai makhluk
domestik dan laki-laki makhluk di luar. Kepala rumah tangga tidak boleh
diserahkan kepada kaum laki-laki, hanya karena dia laki-laki. Laki-laki
tidak boleh diberi hak-hak dalam rumah tangga atau di luar ramah tangga.
Bagi kaum ini, laki-laki dan wanita harus diberi kesempatan dan hak yang
sama, baik di dalam maupun di luar rumah.

Di dalam hukum Islam, memang ada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Wanita tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, laki-laki wajib menafkahi
istrinya. Wanita diizinkan untuk tidak shalat dan puasa karena haid.
Laki-laki tidak ada cuti shalat dan puasa karena haid. Faktanya, aurat
wanita juga berbeda dengan laki-laki. Perbedaan hukum itu terkait dengan
perbedaan peran laki-laki dan wanita di dunia. Semua perbedaan itu bukan
menunjukkan tinggi dan rendahnya status seseorang di mata Allah SWT. Jika
seorang Ibu bermakmum di belakang anak laki-lakinya dalam shalat, bukan
berarti di Ibu dilecehkan oleh anaknya. Jika wanita diberikan hak cuti hamil
dan haid, bukanlah itu merupakan bentuk pelecehan oleh kaum laki-laki.
Seorang istri yang menyediakan minuman bagi suaminya bukanlah suatu bentuk
penindasan laki-laki atas wanita.

Tapi, semua itu tergantung dari perspektif mana dia melihat. Syahdan,
seorang mahasiswi yang berfaham kesetaraan gender pada sebuah perguruan
tinggi Islam di Jakarta merasa tersinggung ketika diberi kesempatan
menempati tempat duduk di suatu bus umum oleh temannya yang laki-laki.
Baginya, lebih terhormat berdiri berdesak-desakan di suatu bus umum
ketimbang menerima belas kasihan kaum laki-laki. Bagi aktivis gender yang
dimotivasi ideologi 'kiri baru' (*new left*), mereka bahkan memiliki
perasaan dendam kepada kaum laki-laki. Bagi mereka, laki-laki adalah kaum
penindas wanita. Ulama-ulama mereka tuduh sebagai kaum penindas yang telah
menafsirkan Al-Quran untuk kepentingan kaum laki-laki. Karena itulah, mereka
aktif menentang berbagai diskriminasi peran sosial berdasarkan gender. Hanya
saja, hingga kini, kita belum mendengar protes kaum penganut kesetaraan
gender ini tentang pemisahan kamar kecil (WC) bagi laki-laki dan wanita.
Malah, di sebuah mal di Lebak Bulus, Jakarta, terlihat sebuah tanda tempat
parkir khusus bagi pengemudi wanita.

Cara pandang kaum aktivis gender itu tentu saja sangat berbeda dengan kaum
Muslim yang memahami agamanya dengan tenang tanpa perasaan dendam dan
memandang hidup ini sebagai ujian dari Allah untuk menjalani peran
masing-masing sesuai ketentuan dari Allah. Kaum Muslimah selama ini merasa
tenang dan bahagia hidupnya ketika berkutat dalam kehidupan rumah tangga dan
mendidik anak-anaknya dengan baik. Seorang Muslimah akan merasa nyaman dan
bahagia ketika membersihkan rumah, mencuci baju suami dan anak-anaknya,
menyediakan makanan bagi keluarganya. Semua itu dijalani dengan suka cita,
karena yakin, bahwa itu adalah suatu ibadah. Konsep pengabdian dan ibadah
ini tentu saja luput dari pikiran kaum aktivis gender.

Walhasil, pendapat yang disebarkan oleh profesor IAIN Semarang dalam soal
wali nikah bagi wanita juga merupakan pendangan yang sangat tidak bijak.
Sebagai dosen syariah, seyogyanya dia menghormati pendapat para ulama yang
jauh lebih alim dari dirinya. Untuk apa dia menyebarkan pendapat seperti
itu; apakah sekedar WtS (*waton suloyo*/asal beda, red)? Atau ada motivasi
lain? Bagaimana jika para remaja putri kemudian menganggapnya sebagai
pendapat yang benar, lalu mereka beramai-ramai kawin dengan pacarnya, tanpa
perlu meminta perwalian dari orang tua? Bukankah ini akan menimbulkan
kekacauan di tengah masyarakat? Kita heran dengan mental dan perilaku
dosen-dosen syariah semacam ini? Bukankah lebih baik dia mendiskusikan
terlebih dahulu pendapatnya tersebut dengan para ulama dan para pakar bidang
syariah dan hadits, sebelum menyebarkan pendapatnya yang keliru itu ke
tengah masyarakat?

Pendapat yang asal-asalan tentang syariah Islam juga ditunjukkan oleh dosen
syariah lainnya di IAIN Semarang, yaitu Rokhmadi, MAg. Pada Jurnal yang sama
edisi 28/2005, pada rubrik dialog hukum ada pertanyaan kepada dosen syariah
tersebut, bahwa di seorang laki-laki asal Minang menikah dengan wanita
Minang tanpa harus memberikan mahar. Sebaliknya, justri pihak wanita yang
memberikan mahar, karena adat Minang memang begitu. Pertanyaan itu dijawab
oleh si dosen, dengan mengatakan, bahwa masalah mahar adalah berkaitan
dengan hukum keluarga (*al-ahwal al-syakhshiyah*) dan bukan ibadah mahdhah,
yang harus diterima apa adanya. Maka, katanya, nash-nash dalam masalah ini
terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakat pra-Arab dan masyarakat
Arab. "Artinya, ketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan Rasul-Nya
sangat dipengaruhi situasi dan kondisi setempat, dengan menjadikan unsur
budaya lokal saat itu sebagai pertimbangan utama penetapan ajaran Islam.
Bahwa Al-Quran dan al-Sunnah sarat dan lengket unsur historisitas. Maka,
tidak tepat mengakui (menerima) dan mempertahankan keberadaannya dengan
segala konsekuensinya."

Jadi, menurut di dosen syariah itu, karena masyarakat Arab menganut budaya
patriarchi, maka wajar jika kewajiban memberikan mahar diwajibkan kepada
laki-laki. Karena di daerah Minang yang dominan adalah wanita (*matriachat
tribe*), maka kata si dosen, "Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak
perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat
keluarga."

Menyimak pendapat dosen-dosen syariah seperti ini, kita tentu saja sangat
prihatin, sekaligus geli. Betapa naifnya pendapat ini. Sepanjang sejarah
Islam, kita melihat, tata cara perkawinan Islam yang satu di berbagai
belahan dunia Islam, tanpa memandang unsur budaya. Jika mahar harus
diberikan oleh pihak yang dominan, sesuai sosial budaya, maka akhirnya soal
mahar ini tergantung kepada kondisi dan situasi setempat. Padahal, untuk
Indonesia saja, ada berbagai budaya yang saling berlainan. Malah, bisa jadi,
kondisi personal tiap orang berbeda-beda. Jika keluarga wanitanya yang kaya,
sedangkan laki-lakinya miskin, apakah laki-laki tidak harus memberikan
mahar?

Si dosen itu telah melakukan kebohongan atau kebodohan yang luar biasa yang
menyatakan bahwa kewajiban mahar bagi laki-laki adalah terkait dengan budaya
pra-Arab atau budaya masyarakat Arab. Dalam hadits riwayat Bukhari dan
Muslim disebutkan, Rasulullah saw tetap mewajibkan mahar harus diberikan
oleh laki-laki, meskipun laki-laki itu sangat miskin, sehingga hanya bisa
memberikan mahar berupa bacaan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Bahkan,
Abu Thalhah pernah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar "masuknya dia ke agama
Islam". Karena itulah, masalah kewajiban mahar bagi laki-laki ini adalah
masalah sunnah Rasululullah saw, dan bukan urusan budaya Arab.

Pemikiran-pemikiran yang 'nyeleneh' dan merusak syariah Islam memang sudah
bukan hal yang asing lagi di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Semarang.
Jangankan pemikiran yang menyerang syariah, pemikiran yang menyerang
Al-Quran habis-habisan pun dibiarkan saja dengan leluasa diterbitkan dalam
Jurnal ini. Pada edisi 30/2006, Jurnal dari Fakultas Syariah IAIN Semarang
ini malah menurunkan satu tulisan yang mengusulkan agar dilakukan amandemen
terhadap ayat-ayat Al-Quran yang dianggapnya bermasalah. Menurut si penulis,
yang juga alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, di dalam Al-Quran ada ayat
"yang kotor" dan ayat "yang bersih". Karena itu, dia mengusulkan, agar umat
Islam berani "menghapus dalam pengertian "mengamandemen" teks-teks keislaman
terutama ayat-ayat Quran yang "bermasalah" tadi." (hal. 112-113).

Dengan semakin bertambahnya usia kampus-kampus Islam di Indonesia, kita
sebenarnya berharap, dari Fakultas-fakultas syariah akan lahir
pemikiran-pemikiran bermutu yang benar dan sehat. Dari kampus ini, kita
harapkan lahir ulama atau cendekiawan yang shalih yang menjadi panutan bagi
umatnya. Tentu saja merupakan musibah besar bagi umat, jika dari institusi
pendidikan Islam, lahir cendekiawan atau pemikiran yang merusak Islam. Ke
depan, kita berharap, pihak Departemen Agama lebih berhati-hati dalam
mengangkap dosen-dosen syariah. Jangan sampai yang anti Al-Quran justru
diangkat menjadi dosen agama.

Tapi, yang membuat kita terheran-heran adalah sikap para pejabat kampus dan
para tokoh serta ulama di Semarang yang berdiam diri terhadap tindak
kemunkaran yang sudah amat sangat keterlaluan dalam menyerang Islam seperti
ini. Kampus ini membawa nama Islam dan menyandang nama Walisongo, para ulama
yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Konon, kabarnya,
semua itu dilihat sebagai 'wacana' belaka. Padahal, siapa pun tentu akan
tersinggung, andaikan anaknya menyebarkan wacana 'perlunya membunuh orang
tua masing-masing'. Meskipun itu sekedar wacana. Di dalam Islam ada adab
dalam mencari ilmu. Tidak setiap wacana boleh disebarluaskan seenaknya
sendiri. Jika masih dalam taraf belajar dan mencari ilmu, sebaiknya para
mahasiswa diajar adab mencari ilmu dalam Islam, dan tidak berlaku sombong
serta bebas sebebas-bebasnya dalam menyebarkan pendapat yang keliru. Sekali
lagi, kita hanya bisa mengingatkan dan berharap, para dosen dan mahasiswa
yang menyerang syariah dan Al-Quran agar bertobat dan memperbaiki pemikiran
serta akhlak keilmuannya. *Wallahu A'lam*. [Depok, 7 Juli 2007/
www.hidayatullah.com <http://hidayatullah.com/>]


*Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM
dan www.hidayatullah.com <http://hidayatullah.com/>*

Kirim email ke