assl.wr.wb.
Apa yang telah saya lakukan ketika beberapa hari yang lalu kembali
mengirimkan email ( tepatnya menjual ) buku-buku terbitan GIP yang memang di
konsinyasi kan ke Masjid Ar-Royyan ( ketika acara Bedah Buku sekaligus
meramaikan Bazaar Amal Ramadhan 1428 H ) dan memang masih banyak buku yang
tersisa, akhirnya dengan pola menjemput rezeki ( untuk GIP dan sebelumnya
ketika Bazaar Amal dan Halal Bihalal ahad lalu mendapatkan laba dari diskon
untuk Masjid Ar-Royyan ) saya lakukan dengan berbagai cara via email dan
terakhir melalui sinopsis buku-buku tersebut. Alhamdulillah, respon nya
cukup positif ( email balasan via japri ke saya ). Hari ini, bahkan dalam
rangka menjemput rezeki itu juga, saya kirim email ke pak Erwin ( GIP )
untuk meminta tempo lagi dalam pengembalian buku-buku sisa Bazaar tersebut,
dan syukurnya dikabulkan. Hingga terakhir ini, sudah 38 persen buku-buku
tersebut terjual ( baik dgn diskon maupun tanpa diskon yang kesemuanya
memang diberikan GIP ke masjid Ar-Royyan, bukan untuk saya, sedangkan saya
hanya contact person dari GIP saja, alias tidak ambil keuntungan ... kecuali
ada yang pesan buku yang tidak ada didaftar yang saya berikan beberapa hari
lalu, diantaranya ketika Halal Bihalal kemarin ada yang pesan buku 40 Kisah
Pengantar Anak Tidur dan buku tersebut sudah saya pesan via pak Erwin (
GIP ) yang kebetulan domisilinya di BDB juga.
Nah ... begitulah menjemput rezeki ... sebuah perjalanan ... bahkan sampai
pernah saya bawa ke kantor segala, dan alhamdulillah ada yang laku juga
seperti 40 Kisah Pengantar Anak Tidur dan Membentuk Anak Hebat.
Wallahu 'alam.
wassl.wr.wb. / Agus rasidi
-------------------------------------------------------------------
Menjemput Rezeki
9 Nov 07 11:10 WIB
Oleh Fiyan Arjun
Mulanya sore itu saya tak sengaja mengahampiri dirinya. Itu pun karena saya
dapat perintah dari kakak perempuan saya yang sedang sakit untuk minta
dibelikan bubur ayam langganan saya itu. Sebenarnya saya ingin menolaknya!
Dikarenakan saat itu saya lagi ada keperluan mendadak. Akhirnya (dengan)
terpaksa keperluan saya itu pun saya tunda. Dari pada nanti sakit kakak
perempuan saya itu tambah parah. Terpaksa saya sesegera mungkin membeli
bubur ayam langganan saya itu. Ya, biasanya bubur ayam langganan saya setiap
sore, ba'da ashar itu sudah mangkal di lapangan volley.
Mas Rizal namanya. Ia adalah penjual bubur ayam langganan saya tiap sore
tiba. Entah kenapa tiap sore tiba saya selalu ingin mencoba bubur ayam Mas
Rizal itu? Saya sendiri juga tak tahu. Itu pun jika uang disaku celana saya
"stabil" dan lagi punya rezeki lebih. Pasti saya saya selalu membelinya!
Bahkan jika saya sedang lapar luar biasa, bisa-bisa sampai menambah porsi.
Bisa-bisa saya menambah dua piring mangkuk sekaligus jika saya masih lapar.
Habis MAKNYUSSS sih!
Disayangkan sore itu saya tak lama-lama membelinya. Apalagi untuk seperti
biasanya. Jika saya sudah berjumpa dengan Mas Rizal pasti saya
bercakap-cakap lebih dahulu. Entah itu membicarakan tentang sembako yang
sedang naiklah, kampung halamannyalah, masalah keadaan negara inilah bahkan
sampai sampai menjurus masalah curhatan segala. Tapi saya tak menolak itu
semua! Bagi saya terpenting jauh dari ghabah pasti saya akan sudi
bercakap-cakan dengannya lebih lama lagi. Lain hal dengan sore itu saya tak
bisa lama-lama bercakap-cakap dengannya. Lantaran sore itu cuaca tak lagi
mau bersahabat dengan saya maupun dengan Mas Rizal yang sedang berjualan
bubur ayam. Sejak siang langit terus mendung. Tanda akan turun hujan.
Padahal sore itu saya ingin sekali bercakap-cakap dengannya. Namun apa daya
keadaan menentukan lain.
Memang sejak Ramadhan tiba saya tak jumpa lagi dengannya. Dikarenakan ia
pulang ke halaman kampungnya. Alias, mudik. Namun baru sore itu saya dapat
disempatkan bertemu kembali oleh Yang Maha Kuasa untuk bisa berjumpa kembali
dengan sesama saudara seiman saya. Yakni, Mas Rizal, si penjual bubur ayam!
Akhirnya sore itu saya tak meninggalkan kesempatan itu. Berbincang-bincang
dengannya walau hanya sesaat. Padahal saat itu cuaca benar-benar tak mau
kompromi dengan saya lagi. Tanda akan turun hujan makin jelas. Saya pun
langsung menanyakan segalanya kepadanya? Dari menanyakan kabarnyalah? Lagi
musim apa di kampungnyalah? Ramai tidak Lebaran dikampungnyalah?
Sampai-sampai menanyakan kabar isterinya pula? Namun belum sampai ia
menjawab pertanyaan dari saya semua, saya langsung tergoda dan tertuju
dengan gerobak dorong bubur ayamnya yang sudah apik dan menarik dari
sebelumnya. Apalagi ketika ekor mata saya melihat dan tertuju pada sebuah
tulisan di kaca gerobak dorong bubur ayamnya yang begitu mengharu biru.
"Ini, Mas Rizal yang buat, ya?" tanya saya sambil memeperhatikan tulisan
yang tertulis di kaca gerobak dorong bubur ayamnya yang diwarnai dengan cat
yang begitu matching. Bukan itu saja tulisan itu pun mengandung filosofi
serta tersirat makna yang dalam. MENJEMPUT REJEKI. Begitu yang saya lihat
ketika tulisan itu tertera di kaca gerobak dorong bubur ayam Mas Rizal itu.
Begitu mengharukan!
"Iya!" jawabnya lantang.
"Keren juga., Mas!" seru saya memuji tulisannya itu.
Tapi memang benar tulisan yang ia buat itu sangat bagus. Dan saya pun tidak
mengada-ada. Apalagi memuji dengan kebohongan.
"Lha, kan sesuai dengan saya kerjakan sekarang. Lagi sedang menjemput
rejeki. Berjualan bubur ayam!" jawabnya lagi sambil membuat pesanan saya.
Saya pun berdiam sejenak.
Memikirkan apa yang dikatakan olehnya barusan.
"Benar juga yang dikatakan Mas Rizal, " gumam saya dalam hati. Memahami
tentang apa yang barusan ia katakan kepada saya. Saya pun akhirmya menyadari
hal itu. Ternyata rezeki walau pun sudah ada yang mengatur tetapi sebagai
umatNya patut harus menjemput rejeki itu. Menyamparinya. Berikhtiar.
Berusaha. Tidak hanya dengan berdoa saja tanpa ada action (aksi) yang
memadai. Bagimana cara mendapatkan rejeki itu yang sudah Tuhan atur? Masa
sih hanya berdoa saja tanpa ada kerja keras. Berusaha untuk mencapainya.
Lagi pula mana mungkin rejeki bisa jalan sendiri. Atau, bisa "jatuh" secara
tiba-tiba tanpa dijemput. Sepertinya mustahilkan itu bisa terwujud.
"Benar juga ya apa Mas Rizal bilang, " ucap saya sambil tersenyum melihat
antusiasnya ia mengatakanya kepada saya.
Memang sih rezeki Tuhan yang mengaturnya sesuai dengan ketentuanNya. Walau
pun sampai dikejar sampai ke ujung gunung kalau rejekinya hanya sampai
segitu saja ya apa boleh dikata? Hanya Dia-lah Yang Tahu Segala-galanya.
Masa sih harus mengeluh juga padahal rezeki sudah DIA yang mengatur? Dan
juga sebagai umatNya haruslah patut menjemput rejekiNya itu. Jangan hanya
minta dikabulkan saja tapi usaha tidak ada. Ya, itu sih sama saja bohong!
Seperti pepatah mengatakan: Mengharapkan Rejeki (uang) Jatuh dari Langit.
Entah langit yang mana saya sendiri juga kurang tahu? Memang rejeki manusia
yang mengatur? Mustahilkan.?
Untuk konkritnya ambil saja contohnya tidak jauh-jauh. Yakni, Mas Rizal si
penjual bubur ayam langganan saya tiap sore tiba. Ia menjemput rejekiNya
sendiri. Walau ia sendiri sudah tahu bahwa Yang Maha Kuasa sudah
mentakdirkan rejekinya hanya sampai di situ. Tapi Mas Rizal masih tetap
berusaha. Menjual bubur ayamnya. Coba kalau ia tidak usaha. Tidak
berikhtiar. Tidak berjualan bubur ayam misalkan? Mana mungkin ia akan
mendapatkan rejekinya itu. Halnya sesuai dengan apa yang ia tulis di kaca
gerobak dorong bubur ayamnya yang bertuliskan: MENJEMPUT REJEKI. Tanpa usaha
berjualan bubur ayam ia tak akan mungkin mendapatkan rezekinya itu.
Menjemput rezeki seperti apa yang ia tulis di kaca gerobak dorong bubur
ayam!
Kampung Rawa, Keb-Lama, 06 November 2007
Specially to penjual bubur ayam yang telah menginspirasikan saya sehingga
menjadi sebuah tulisan. Semoga Allah melimpahkan rezeki tiada tara. Amin!
------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia (Shahih Muslim no. 469)