Bagaimana dengan Arroyyan yang selalu mengikuti pemerintah?................piye pak Roziq, Om Djarod?????....................memang masalah klasik sih..tapi perlu diluruskan juga......Hari harafah cuma 1 hari lho......saya pribadi setuju dengan Makkah.
almasdi On 11/30/07, Diran <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > *PENENTUAN IDUL ADHA* - *2007/11/26 17:42* *PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB > BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH* > Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi > > Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu > ru'yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi'i menganut ru'yat lokal, > yaitu mereka mengamalkan ru'yat masing-masing negeri. Sementara madzhab > Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru'yat global, yakni mengamalkan ru'yat > yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru'yat telah terjadi di > suatu bumi, maka ru'yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, > meskipun mereka sendiri tidak dapat meru'yat. > > Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. > Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) > telah sepakat mengamalkan ru'yat yang sama untuk Idul Adha. Ru'yat yang > dimaksud, adalah ru'yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan > awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru'yat ini > berlaku untuk seluruh dunia. > > Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha > pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang > banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan > pada masa Khulafa' Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa > kita sekarang. > Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma'luumun minad diini bidl > dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran > Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama > telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia > sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam > beridul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari > pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada > yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah). > > Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari > yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara'. Di antaranya > adalah sebagai berikut : > > *(1) Hadits A'isyah RA*, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda : > > *"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berkata. Dan Idul > Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." *(al-fithru yauma > yufthiru al-naasu wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu} HR. At-Tirmidzi dan > dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, > [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305). > > Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu > Hurairah RA dengan lafal : > *"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri > adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban. > *"(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa al-adh-ha > yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn > Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306) > > Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul 'ilmi (ulama) menafsirkan hadits > ini dengan menyatakan : > *"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan > bersama jama'ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan > sebahagian besar orang*."(innama ma'na haadza ash-shaum wa al-fithr ma'a > al-jamaah wa 'azhiim al-nas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : > Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699) > > Sementara itu Imam Badrudin Al-'Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata: > *"Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). > Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul > Fitri), mereka wajib pula berbuka."* > > Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, > beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits : > an-naas), yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya, baik tatkala > mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, maupun > tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat > ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924. > > Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau > berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, > dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada > umumnya. > > *(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA*, dia berkata : > "Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata : > "*Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji > berdasarkan ru'yat. Jika kami tidak berhasil meru'yat tetapi ada dua saksi > adil yang berhasil meru'yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan > kesaksian keduanya." *('ahida ilaynaa rasulullah SAW an nansuka li > al-ru`yah fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa 'adlin nasaknaa > bi-syahadatihimaa) (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz > II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,'Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan > shahih.' > Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. > 841, hadits no 1629) > > Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan > hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya > Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi > SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji > berdasarkan ru'yat. > Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan > manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di > Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru'yat penduduk > Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru'yat penduduk Madinah, penduduk Najd, > atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah > Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan > pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum muslimin, meskipun > kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara'. Dalam keadaan demikian, kaum > muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada yaumun nahr (hari > penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang > menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan > harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia. > > *(3) Hadits Abu Hurairah RA*, dia berkata : > *"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di > Arafah" *(nahaa rasulullah SAW 'an shaumi 'arafata bi-'arafaat) (HR. Abu > Dawud, An Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, > Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709). > > Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi'i berkata : > *"Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka > yang bukan jamaah haji."* > Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban > penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib 'ain atas seluruh kaum > muslimin. Sebab, jika disyari'atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari > Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, > Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih > dari satu. > > Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa > Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang > sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa > pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka > Sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul Adha pada tanggal > 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)? > Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid'ah yang munkar > (bid'ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih > punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya! > > Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan > hadits : > "Berpuasalah kalian karena telah meru'yat hilal (mengamati adanya bulan > sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru'yat hilal. > Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !" > > Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan > perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan > untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang *keliru*. > Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi : > > *Pertama*, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak > menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. > Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, > tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan > perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) > bulan dan perbedaan mathla' (tempat/waktu terbit) hilal, di antara > negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla' hilal itu sendiri faktanya tidaklah > berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. > Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang > berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan ini pun hanya terjadi pada > jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak > lebih dari 12 jam. > > *Kedua*, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul > Fitri berdasarkan ru'yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits > tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang membolehkan > pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya > Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(……jika pandangan kalian > terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya bukanlah perkiraan > berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya'ban dan > Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru'yat. > > *Ketiga*, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk > Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara > ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah-- maka hadits tersebut justru akan > bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat > khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW > telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan > ru'yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji > berdasarkan ru'yat penduduk Makkah (bukan ru'yat kaum muslimin yang lain di > berbagai negeri Islam). > Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari > negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. > Indonesia tidak boleh menentang ijma' (kesepakatan) seluruh kaum muslimin di > seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 > Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru'yat penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada > yang menyalahi ijma' kaum muslimin itu, selain Indonesia ! > > Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma' > tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin ? > Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang mempelopori > suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi'ah) sehingga para umaro' dan ulama di > Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang > mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti? > > Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini > sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia > Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara > kebangsaan yang direkayasa oleh kaum penjajah yang kafir. > > Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan > Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah Islamiyah > Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum muslimin di seluruh > dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara > dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah > cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi ! > > Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah ! > > Legal disclaimer > ------------------------- > This email may contain confidential and/or legally privileged information. > If you are not the intended recipient (or have received this email by error), > please notify the sender immediately and delete this email. > Any unauthorized copying, disclosure, or distribution of the material in this > email is strictly forbidden. > >