Menyemai Akhlaq Rasul      

      Minggu, 18 Pebruari 2007 

     
      Tak ada akhlaq sebagai akhlaq nya Rasulullah. Beliau tidak gila harta, 
tidak rakus, tidak licik, tidak culas, tidak khianat dan tidak mencekik. Beliau 
juga  hidup sederhana 

      Menyelami akhlak Rasul, ibarat kita menyelami samudra, terhampar luas 
seakan tak bertepi, indah mengagumkan dan menyimpan bulir-bulir mutiara yang 
amat berharga. Semakin kita mendalami, semakin kita dibuat terpesona oleh 
keanekaragaman ikan, plankton dan karangnya. Begitujuga akhlak Nabi, semakin 
kita mengkaji lebih dalam, semakin kita terbuai oleh kemuliaan yang senantiasa 
memancar dari sukmanya. Betapa hati terasa sejuk nikmat dan damai, jika beliau 
hadir di tengah kita. Pantas kiranya jika Allah SWT memuji dalam firman-Nya 
yang berbunyi, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." 
(QS. Al Qalam: 04)

      Dalam kamus Al Muhith, akhlak menurut bahasa adalah tabiat, watak, harga 
diri dan agama. Ia merupakan gambaran batin seseorang, yang meliputi jiwa, 
sifat-sifat jiwa dan makna-makna khusus dari jiwa tersebut. Jika akhlak atau 
moral erat kaitannya dengan batin, maka pengejawentahan lahirnya adalah 
prilaku. Akhlak yang baik akan mencerminkan prilaku yang baik pula dan 
sebaliknya akhlak yang buruk akan mencerminkan prilaku yang buruk. Jadi, baik 
atau buruknya prilaku kehidupan manusia sangat tergantung pada hati yang ada di 
balik dadanya. Dan inilah yang menjadi modal utama bagi keutuhan sebuah bangsa.

      Kita hampir sepakat bahwa ketidakstabilan ekonomi, sosial, hukum dan 
politik adalah akibat moral bangsa kita yang anjlok, runtuh dan tercabik-cabik. 
Korupsi yang menggurita, kriminalitas yang terus mendera, pornografi dan 
pornoaksi yang menyampah adalah potret bangsa yang menyesakkan dada. Tak heran 
jika musibah terus menghampiri kita. "Dan musibah apa saja yang  menimpa  kamu  
maka  adalah  disebabkan  oleh perbuatan  tanganmu  sendiri." (QS. Asy Syura: 
30). Siklus alam yang biasanya mendatangkan berkah justru menjadi bencana. Lalu 
apakah bangsa kita akhirnya akan tergulung sebagaimana bangsa 'Aad? Seorang 
penyair kenamaan, Ahmad Syauqi pernah mendendangkan lagunya yang berbunyi, 
"Kekekalan suatu bangsa itu tergantung pada akhlaknya, apabila akhlak mereka 
hilang maka akan lenyaplah suatu bangsa".

      Wahai saudara-saudaraku, kita masih memiliki banyak kesempatan untuk 
membangun kesadaran diri masing-masing sebelum turun azab yang lebih besar 
lagi. Selama kita masih mengakui Muhammad sebagai Rasul teladan kita, maka 
percikan harapan yang menggantung nun jauh di sana akan kita raih. Dengan 
segenap rindu dan cinta, cahaya Muhammad harus kita tangkap lalu kita pantulkan 
ke bumi tercinta ini yang kering akan nilai-nilai spiritual (spiritual of 
values). 

      Mencintai Rasulullah tidak cukup dengan bershalawat sebanyak mungkin, 
tapi berupaya bagaimana meneladani akhlak mulia beliau yang pernah dipraktikkan 
dalam kesehariannya. Karena Nabi adalah manifestasi dari ajaran Allah yang di 
sampaikan dalam bentuk tingkah laku. Bahkan Allah sendiri mensyaratkan kepada 
para hamba-Nya, bahwa untuk mencintai Aku (Allah), maka ikutilah Nabi, 
sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi, "Katakanlah, "Jika kamu 
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan 
mengampuni dosa-dosamu." (QS. Ali Imran: 31). 

      Betapa mulianya engkau wahai Rasul, namamu bersanding dengan Asma` Allah 
yang paling agung, sehingga untuk meniti tangga cinta yang sejati harus melalui 
engkau terlebih dahulu.

      Wahai Rasululullah, sudah terlampau jauh kiranya kami melenceng dari gaya 
hidupmu yang tidak gila harta, tidak rakus, tidak licik, tidak culas, tidak 
khianat dan tidak mencekik. Engkau hidup sederhana, dermawan, penyabar, 
penyayang, pemalu, jujur, adil dan sifat-sifat lainnya yang jika kita gali satu 
persatu mungkin akan menghabiskan berlembar-lembar HVS. 

      Oleh karena itu, di sini kita hanya akan memberikan kilas balik tentang 
empat akhlak Nabi yang menurut hemat penulis sangat dibutuhkan pada zaman 
sekarang ini dalam rangka menyehatkan dan mengawal moral bangsa dari 
kehancuran. Empat akhlak Nabi yang dimaksud adalah adil, jujur, penyayang dan 
pemalu. Apapun profesi kita dan siapapun kita, jika benar-benar 
mengimplementasikan keempat akhlak tersebut, niscaya kedamaian akan bertaburan 
di seluruh pelosok nusantara. 

      Keadilan

      Kita sebagai bangsa besar yang mengaku sebagai bangsa pancasilais dan 
religius, ternyata begitu rapuh moralnya. Banyak kebijakan dan keputusan 
mengandung muatan yang bertentangan dengan moral, penuh dendam dan saling 
menjatuhkan. Produk kekuasaan seharusnya mengalir kepada rakyat dalam bentuk 
keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenteraman. 

      Coba kita menengok konsep keadilan yang pernah dipraktekkan Nabi, 
Infinite Justice: sebuah keadilan yang tak mengenal sekat ruang, pelaku dan 
takaran sekaligus tidak mengandung unsur kecongkakan dan kedengkian (ghurur dan 
ghulul). Memang terasa aneh, anak tukang ojek maling ayam dihakimi, tapi 
pejabat yang maling duit negara (rakyat) dalam jumlah miliaran kebal hukum. 
Kedua jenis kriminal tersebut di mata hukum sama salahnya, tapi lebih salah 
lagi jika maling yang dilakukan pejabat dan dalam takaran yang jauh lebih besar 
daripada seekor ayam bisa lolos dari jerat hukum. Tidak habis pikir, apa karena 
pelakunya adalah pejabat ataukah karena malingnya di lingkungan kantor? 

      Diskriminasi hukum yang sedang menggejala dewasa ini, pernah juga 
dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad pada saat menghadapi kasus pencurian yang 
dilakukan oleh Fathimah Al Makhzumiyah, putri dari kepala suku Al Makhzum. 
Beliau tetap menghukumnya meski mendapat amnesti dari Usamah bin Zaid, sahabat 
dekat Nabi. Sehingga menjelang sore beliau berpidato di depan para sahabat, 
''Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian semua adalah disebabkan oleh 
perbuatan mereka sendiri. Ketika salah seorang yang dianggap memiliki kedudukan 
dan jabatan yang tinggi mencuri, mereka melewatkannya atau tidak menghukumnya. 
Namun, ketika ada seorang yang dianggap rendah, lemah dari segi materi, ataupun 
orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, dan rakyat biasa, mereka 
menghukumnya. Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam 
kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong 
tangannya.'' (HR. Bukhari-Muslim). Akhirnya, Nabi tetap menghukum Fathimah Al 
Makhzumiyah, sehingga ia kembali ke jalan yang benar.

      Pada kasus lain, saat Nabi Muhammad sakit menjelang wafatnya, dengan 
istri yang jumlahnya 9, beliau tetap berupaya menunjukkan sikap keadilannya. 
Beliau meminta salah seorang sahabat agar menuntun dirinya untuk menggilir ke 
setiap istrinya. Beliau selalu memberikan apa yang menjadi hak seorang istri, 
hingga para istri Nabi merasa kasihan melihat kondisi Nabi dan mereka setuju 
dalam masa pengobatannya Nabi ditempatkan di rumah Aisyah.

      Keadilan yang dibangun oleh Nabi bukan sekadar memastikan bahwa pelaku 
kejahatan itu benar-benar diadili dan dihukum tapi juga untuk mengekang dan 
meminimalisir perbuatan kriminal. Kita bukan bermaksud untuk menyeret-nyeret 
zaman Nabi ke era moderen atau mempersoalkan hukum potong tangan dan praktik 
poligaminya, akan tetapi jauh lebih mulia dari itu, yaitu bahwa menjunjung 
tinggi kepastian hukum, mengusung keadilan yang inklusif-universal dan 
mementingkan kepentingan rakyat, keadilan bagi semua, adalah energi yang paling 
penting bagi kelangsungan sebuah bangsa.  

      Kejujuran

      "Ikhlas beramal" adalah salah satu slogan yang sangat akrab di telinga 
kita. Namun apakah kita bisa menjamin seseorang bisa benar-benar ikhlas dalam 
beramal? Kehidupan yang sudah diformat dengan gaya kapitalis, rasanya susah 
untuk mencapai derajat sufi yang satu ini. Orang betawi bilang, "Hari gini gitu 
lho, mane ade yang gratis alias ikhlas tanpa imbalan". 

      Salah-salah dalam bibir terucap ikhlas dengan gaji yang telah ditetapkan, 
tapi buntutnya nilep. Ini lebih menyeramkan, karena kejujuran telah tergadaikan 
oleh kemunafikan. Komitmen kejujuran harus dijunjung tinggi bersama, baik di 
level negara, pemegang kekuasaan (stake holders), korporat, maupun 
masyarakatnya. Bahkan kelanggengan dan keharmonisan rumah tangga juga sangat 
tergantung pada tingkat kejujuran dan keterbukaan dari kedua belah pihak.

      Betapa mahal harga sebuah kejujuran, sehingga Nabi SAW pernah berpesan, 
"Kamu sekalian harus bersikap jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu dapat 
mengarahkan pada kebaikan dan kebaikan bisa mengarahkan ke surga dan seorang 
laki-laki yang terus menerus bersikap jujur dan berusaha untuk bersikap jujur, 
maka di sisi Allah dia tercatat sebagai orang yang jujur. Dan berhati-hatilah 
kamu dari kebohongan, karena kebohongan bisa mengarahkan kamu ke perbuatan keji 
dan perbuatan keji bisa mengarahkan kamu ke neraka dan seorang laki-laki yang 
terus menerus berbuat bohong dan selalu berusaha untuk berbuat bohong, maka di 
sisi Allah dia tercatat sebagai pembohong". (HR. Muslim)

      Kata siapa "Jujur itu Hancur"?. Pameo yang sering terdengar di tempat 
kita. Meski agak iseng, kondisi bansa kita tak jauh dari itu. Padahal, jika 
dicermati, kata-kata itu hanya cocok pada  orang yang tamak. 

      Lihatlah Muhammad Rasulullah. Kejujurannya  sebelum didaulat menjadi 
Rasul, diakui oleh para musuhnya, sehingga mereka memberi julukan Al Amin 
(orang yang jujur). Khadijah, seorang pembisnis wanita yang sukses pada waktu 
itu, memilih Nabi sebagai pendamping hidupnya juga karena faktor kejujurannya. 

      Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih (good 
governance), kita harus berani berkata yang benar walaupun bagi sebagian orang 
memang terasa pahit! tapi itulah yang seperti diajarkan Rasulullah SAW 
"Katakanlah kejujuran itu walaupun pahit rasanya.!" Walaupun risiko yang 
diterima adalah cemooh 'sok suci', pengucilan atau bahkan di-chutik- dari meja 
kerjanya, tapi itu lebih terhormat daripada kebusukan menjadi komoditas di 
balik kursi empuknya dan akhirnya terperosok dalam lingkaran kejahatan 
kolektif. 

      Cinta dan Kasih Sayang 

      Rasa cinta merupakan salah satu naluri fitrah yang telah Allah SWT 
anugerahkan kepada makhluk-Nya. Curahan cinta yang berlebihan terkadang dapat 
mentolerir tindakan kriminal seseorang. Cinta yang demikian justru mengaburkan 
makna cinta itu sendiri. Karena cinta seseorang kepada sesuatu, meniscayakan 
dia berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesuatu yang dicintainya. Kita sayang 
pada tubuh kita, secara otomatis kita tidak akan menyentuh narkoba dan 
sejenisnya. Kita sayang pada lingkungan, berarti kita tidak mungkin membuang 
sampah di sembarang tempat atau membabat hutan secara liar. Kita cinta pada 
sesama manusia, maka sudah pasti kita tidak rela melihatnya kelaparan. Dan 
seterusnya....

      Itulah kekuatan cinta (The Power of Love). Bisa dibayangkan, jika kuncup 
cinta bersemi di setiap sudut bumi pertiwi, maka tidak ada eksploitasi alam 
tanpa kontrol, tidak ada manusia saling memangsa dan menggilas. Nabi SAW pernah 
bersabda, "Sayangilah makhluk yang ada di bumi, maka para malaikat yang ada di 
langit akan menyayangimu". (HR. Tirmidzi). 

      Dengan musibah yang bertubi-tubi, apakah selama ini kasih sayang kita 
tertutupi oleh rasa dendam, benci, sombong, nafsu dan ambisi, sehingga penduduk 
langit sudah tak sayang lagi? Rasululullah SAW teladan kita, dikenal sebagai 
sosok yang amat penyayang, bahkan terhadap binatang dan musuh-musuhnya 
sekalipun. Dikisahkan pada suatu hari ketika Rasul berjalan pulang ke rumahnya, 
beliau melihat seekor kucing sedang tidur bersama anak-anaknya di atas jubah 
yang hendak dipakainya. Agar mereka tidak terganggu, lalu beliau menggunting 
bagian jubah yang ditiduri kucing tersebut dan selebihnya beliau pakai. 

      Di tengah kesibukannya sebagai pemimpin, beliau tidak ingin melihat ada 
umat yang terluka hatinya, kecewa, sedih, marah, dan benci. Dalam sebuah hadits 
disebutkan, "Tidak sempurna iman kalian sehingga kalian saling berkasih sayang. 
Para sahabat berkata, "Kami sudah saling menyayangi." Lalu Nabi bersabda: 
"Bahwa sayang yang dimaksud di sini bukan saja sayang sekadar kepada salah 
seorang temannya, dalam ruang lingkup terbatas, tetapi sayang (yang dimaksud) 
adalah sayang yang bersifat menyeluruh." (HR. Thabrani). Dan sejarah 
membuktikan, karena sifat penyayangnya yang begitu besar, mengakibatkan banyak 
orang kafir jatuh dalam pelukan Islam.  

      Malu

      Allah SWT merasa malu, jika membiarkan kedua tangan hamba yang shaleh 
hampa. Malaikat merasa malu kepada Allah, saat menyodorkan catatan amal seorang 
hamba yang penuh dengan dosa. Dan ketika Mikraj, Nabi Muhammad merasa malu 
kepada Allah karena bolak-balik meminta keringanan jumlah rakaat shalat. Nah, 
sekarang giliran kita, seberapa parahkah kita terjangkit penyakit 'bermuka 
tebal'? Rasa malu yang seharusnya menjadi rem prilaku kotor kita, telah 
terkikis oleh sifat egois (mengejar kepentingan sendiri). Sehingga kebaikan 
menjadi terbalik 180 derajat, kejujuran kita cerca, sementara kepalsuan kita 
amini. Berjilbab dinilai kuno dan berkostum ketat yang terlihat pusarnya 
dianggap modis. Mematuhi sesuai prosedur dianggap menghambat kemajuan dan cara 
pintas kita anggap lumrah. Kelicikan kita bela, dan ketulusan kita jegal. 
Memang benar apa kata Nabi SAW, "Jika sudah tidak ada rasa malu, maka 
berbuatlah sesukamu." (HR. Bukhari)

      Rasa malu yang sudah menjauh entah kemana, bisa membuat keimanan 
seseorang luntur, mata batin menjadi gelap dan Tuhan dianggap tidak ada. 
Na'udzu billah min dzalik. Mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh, 
memang tidaklah mudah. Oleh karena itu, budayakanlah rasa malu untuk berbuat 
sesuatu yang merugikan, mengganggu dan merampas hak orang lain. Dan tanamkanlah 
rasa malu semenjak dini terhadap anak-anak dan murid-murid kita, yang mana 
mereka adalah tunas harapan bangsa.  

      Sebagai penutup tulisan ini, kita sama-sama berdoa semoga dengan 
memperbaiki akhlak dan prilaku kita, serta menyadari kealpaan kita dalam 
meneladani Rasul SAW, kita akan mendapatkan kucuran rahmat dan berkah dari 
Allah SWT. Amin... Ingat sabda Nabi yang berbunyi, " Diantara kamu sekalian 
yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya." (HR 
Bukhari).

      Bahkan Buddha  saja ada salah satu  ajaran yang mengatakan, "Harumnya 
bunga tak dapat melawan arah angin, begitu pula harumnya kayu cendana, bunga 
tagara dan melati. Tetapi harumnya kebaikan dapat melawan arah angin: harumnya 
nama orang yang baik dapat menyebar ke segenap penjuru." Begitu pulalah dalam 
Islam, Wallâhu `A'lam bi Ash Shawab. [Penulis alumni Al-Azhar, Kairo] 


      www.hidayatullah.com 

Kirim email ke