QURBAN  SESUNGGUHNYA
 
oleh
Jojo Wahyudi
 
“ Ayah, kenapa kita kalau Lebaran Haji harus potong Kambing?” anak ke 3 ku 
Zidan bertanya, saat kami sedang mengantar kambing untuk Qurban ke masjid.
 
“ Karena itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam, untuk 
melaksanakannya sayang “ ujarku sambil memegang tali tambatan kambing.
 
“ Kenapa menjadi kewajiban ayah, kan kasihan kambingnya jadi pada mati dipotong 
lehernya..... iiiiih Zidan ngeri melihatnya!” lanjutnya sambil meringis.
 
“ Lho kan Zidan sudah pernah bilang, kalau Guru TPA pernah bercerita kita harus 
mengikuti perintah Allah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat harus 
menyembelih anaknya Nabi Ismail”, kataku berusaha menghilangkan kengeriannya.
 
“ O iya ya, Zidan lupa cerita tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Karena Nabi 
Ibrahim mengikuti perintah Allah, lalu Nabi Ismail diubah menjadi gibas. Gibas 
itu sama dengan kambing ya Yah?” ketakutannya sudah mulai sirna dari wajah 
lugunya.
 
“ Ya Gibas itu kalau di Indonesia sama dengan domba. atau kambing” aku berusaha 
menjelaskan pada dia, agar kengeriannya terhapus dengan kisah para NabiAllah.
 
“ Terus dagingnya untuk apa Yah ? Sebegitu banyak kambing yang dipotong, 
malahan itu Zidan lihat ada sapinya juga.” katanya kembali bersemangat.
 
“ Nanti setelah di potong, daging hewan qurban itu di bagikan pada orang yang 
membutuhkannya. Zidan lihat kan, kalau disekeliling komplek kita masih banyak 
yang kurang mampu. Kepada mereka itulah daging qurban diberikan.” sambutku.
 
“ Iya ya Yah, banyak sekali orang yang nggak mampu punya rumah, sampai-sampai 
rumah kontrakan milik ayah yang di pinggir komplek itu nggak pernah kosong.” 
lanjutnya, aku menganggukkan kepala menyetujui ucapannya.
 
“ Zidan jadi ingat sama si Ujang deh Yah” katanya kemudian dengan wajah sedikit 
sedih.
 
Memang begitulah mimik anak-anak, gampang berubah dalam beberapa saat, takut, 
gembira, kemudian sedih lalu gembira lagi. Tapi kali ini ada yang lain dari 
ucapan terakhirnya itu. Wajahnya cukup lama muram, tampak belum bisa melupakan 
hal yang ada di benaknya. Aku jadi ingin mengetahui apa yang sedang 
dipikirkannya.
 
“ Ngomong-ngomong Ujang yang mana ya? Lalu kenapa Zidan kelihatan sedih ? 
kataku berusaha mengorek keterangan darinya.
 
“ Masak Ayah lupa sama Ujang. Dulu kan dia sama Emaknya pernah tinggal di rumah 
kontrakan Ayah.” ujarnya berusaha mengingatkanku. 
 
Aku berusaha mengingat kembali siapa saja yang pernah menyewa kontrakan milik 
kami. Aku teringat memang dulu ada seorang janda yang tinggal bersama seorang 
anak laki-laki sebaya dengan anakku Zidan. Tapi seingatku mereka tinggal tidak 
terlalu lama, kurang lebih hanya sembilan bulan.. Dengan terpaksa aku tidak 
mengijinkan mereka tinggal lebih lama di kontrakan setelah aku mengetahui 
pekerjaan Emaknya. Dari banyak orang kudengar si Emak bekerja di warung 
remang-remang sekitar pangkalan truk. Karenanyalah anak laki-lakinya lebih 
sering bermain dengan anakku saat dia “dinas” siang ataupun malam hari. Karena 
kebetulan kontrakan tersebut terletak tidak terlalu jauh dari rumah kami di 
belakang komplek. Aku tidak ingin kontrakkan milik kami dihuni oleh pekerja 
yang mencari nafkah di tempat-tempat seperti itu. Lagi pula sebagai pengurus 
DKM masjid di komplek, aku tidak mau memberikan citra buruk pada para jamaah.
 
“ Ayah sudah ingatkan ?” seakan dia sudah tahu kalau aku kembali ingat pada si 
Ujang. Aku menganggukan kepala.
 
“ Tinggal di mana si Ujang sekarang ya Yah ? Kasihan Ujang sama Emaknya tidak 
punya rumah, dia pasti kedinginan musim hujan ini ya Yah ? Kenapa sih dulu dia 
pindah dari kontrakan Yah ? Memang Ayah ya yang menyuruh mereka pindah ?” 
pertanyaannya bertubi-tubi menghampiriku.
 
“ Zidan tahu, kalau Allah tidak suka pada orang yang mendapatkan uang dari 
pekerjaan yang tidak halal. Apalagi pekerjaan itu sampai merugikan orang lain 
dan sangat dibenci oleh Allah” kataku berusaha menerangkan yang sesungguhnya 
dengan cara yang lembut. Dia mengangguk.
 
“ Zidan juga tahukan kalau ada orang jahat, kita tidak boleh berteman dengannya 
?” lanjutku  sambil menatap wajahnya.
 
“ Tapi Ujang sangat baik Yah. Dia yang mengajari Zidan membuat perahu dari 
batang pisang, lalu membuat layarnya dari plastik bekas. Ujang juga dulu 
belajar ngaji di TPA sama Zidan lho Yah. Suaranya bagus kalau sedang belajar 
Adzan. Terus banyak sekali doa-doa yang Ujang hapal. Oh iya, Dia malah yang 
membela Zidan waktu Angga yang nakal itu mau mengambil perahu buatan Zidan. 
Untung tenaga Ujang kuat, sampai-sampai Angga takut melawannya. Pokoknya Ujang 
baik deh Yah, nggak pernah jahat sama siapapun, apalagi sama Zidan.” ujarnya 
beruntun, tidak menyetujui ucapanku. 
 
Aku jadi tidak enak hati menghadapinya. Anakku belum mengerti bila yang 
kumaksud adalah Emaknya, bukan anaknya. Sulit bagiku untuk menerangkan hal yang 
satu ini, hal yang belum pantas didengar oleh anak seumur anakku.
Aku kembali teringat saat Mak Enoh panggilan janda beranak satu itu, menghiba 
meminta perpanjangan kontrak rumah, dengan alasan saat itu dia tidak mempunyai 
uang cukup untuk mencari rumah kontrakan lain. Selain itu mereka hidup jauh 
dari sanak saudaranya setelah ditinggal mati sang suami, ayah dari Ujang. Demi 
menjaga “nama baik” dengan terpaksa aku menolak, walaupun saat itu aku tahu 
kalau sangatlah sulit mencari rumah kontrakan semurah milik kami, yang memang 
mematok harga di bawah harga pasaran, serta pembayaran dengan cara cicilan.
Ah... kenapa aku jadi memikirkan hal yang sudah cukup lama berlalu itu ?
Apa karena tiba-tiba anakku menanyakan peristiwa itu kembali ?
 
“ Kira-kira Ujang dapat bagian daging Qurban juga nggak ya Yah ?” pertanyaannya 
mengagetkan lamunanku. “kan dia termasuk orang tidak mampu juga!”
Aku cuma bisa menganggukkan kepala.
 
“ Tapi kalau dia sudah tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau antarkan 
daging Qurbannya Yah ?” tampaknya dia belum puas dengan anggukan kepalaku.
 
“ Mudah-mudahan di tempat tinggalnya yang baru, Ujang juga dapat daging Qurban”
kelu lidahku menjawabnya, sementara anak laki-lakiku kini terdiam tanpa 
merespon jawabanku. 
 
Aku merasa berdosa terhadap anak yatim itu. Kenapa anak sekecil Ujang sudah 
mendapat imbas dari persoalan orang dewasa. Memori di otakku terputar kembali 
saat melihat mereka mengemasi barang-barang yang tidak seberapa itu keluar dari 
kontrakan kami. Sempat kulihat raut bingung dan sedih di wajah “sahabat” 
anakku. Saat itu keputusanku sudah bulat, pun ketika istriku menyarankan agar 
aku memberi tenggang waktu beberapa minggu kepada mereka. Lagi pula menurut 
istriku, Mak Enoh terpaksa bekerja di warung tersebut karena kebutuhan ekonomi. 
Demi menghidupi Ujang anaknya, dia rela “mengorbankan” rasa malunya bekerja 
sebagai tukang masak di tempat “rawan” tersebut. Memang menurut beberapa 
tetangganya, yang juga mengontrak rumah kami di sebelahnya, masakan Mak Enoh 
cukup enak. Tapi aku tak mudah percaya begitu saja, aku lebih percaya pada 
omongan warga komplek yang sering melihat Mak Enoh pulang malam. Warung apa 
yang buka hingga larut malam ? pikirku
 penuh kecurigaan.
Memang beberapa minggu sebelumnya, janda itu sempat meminta ijin padaku untuk 
membuka warung makanan di depan kontrakan kami yang disewanya. Aku menolak, 
karena sebelumnya kami juga melarang salah seorang penyewa membuka kios kecil 
di kontrakan kami. Pikirku, tidak adil bila aku memberikan perlakuan yang 
berbeda, lagi pula dengan adanya warung atau kios, akan merusak keindahan dan 
kebersihan lingkungan sekitar kontrakan. Apalagi kalau sampai merusak bentuk 
bangunan yang sudah aku dirikan dengan susah payah itu, tentu saja aku menolak.
 
Tapi kini ingatan itu justeru menyerang batin-ku. Kenapa begitu mudahnya dulu 
aku men”judge” seseorang dengan mengorbankan nurani, hanya karena pendapat dari 
beberapa warga. Betapa mudahnya aku menghukum tanpa mempertimbangkan rasa 
“keadilan” untuk anak sekecil Ujang. Untuk apa aku ber-Qurban kambing setiap 
tahun, bila untuk ber-emphati saja aku tidak mampu. Bahkan Zidan anakku lebih 
mampu merasakan apa yang dirasakan sahabatnya.
 
Tak terasa air bening menggenang di ujung mataku. Bila saja dulu aku 
mengijinkan Mak Enoh membuka warung, tentu hidup mereka akan lebih baik. Anak 
yatim itu bisa terus bermain dengan anak kami, mengajari membuat perahu dengan 
kecekatan tangannya. Kini, tak kuat aku menahan letupan sejuta rasa bersalah 
yang menghujam dada. Aku peluk anakku yang masih terdiam. Penyesalan itu datang 
begitu terlambat. Apa jadinya bila Ujang dan Emaknya kini benar-benar 
terlunta-lunta, kedinginan menghadapi hujan, kegelapan menghadapi malam, 
kelaparan menghadapi hari-hari ke depan. Siapa yang akan mengantarkan daging 
Qurban pada mereka ?
 
Ya Allah, biarkan kini aku memohon padaMu,
semoga Mak Enoh dan Ujang tidak terlunta-lunta seperti dugaanku, 
semoga mereka bisa bertemu “malaikat” penolong yang mempunyai nurani
tidak seperti aku, yang “buta” oleh “keadilan dunia” yang semu.
 
Ampuni hambaMu yang hina ini ya Allah,
yang tak pantas menyentuh SyurgaMu, 
karena terlalu kaku tangan ini untuk menyentuh kepala anak yatim
karena tak sanggup mempersembahkan “Qurban Sesungguhnya” dalam kehidupan.
 
 
(Antara Cikini – Bojong Depok Baru 05 12 07)
 
dipersembahkan untuk alm. M. Yusuf (Ucup) yang wafat Senin, 3 Desember 2007
dalam usia relatif sangat muda – 13 tahun.
Apakah akan bertambah Ucup-Ucup yang lain karena ketidak-pedulian kita ?


      
____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?  
Find them fast with Yahoo! Search.  
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Kirim email ke