Kenapa bukan bu Muslimah ( masih ingat Laskar Pelangi,khan ) ???
  ----- Original Message ----- 
  From: wawan wahyu 
  To: milis_iqra ; MILIS AR-ROYYAN ; MILIS DKM AL IKHLAS 
  Sent: Tuesday, April 21, 2009 10:51 AM
  Subject: [Ar-Royyan-8886] Fwd: [KRLMania.com] Mitos Kartini dan Rekayasa 
Sejarah





  ---------- Pesan terusan ----------
  Dari: Adiguna Sinaga <adiguna.sin...@gmail.com>
  Tanggal: 21 April 2009 09:43
  Subjek: [KRLMania.com] Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
  Ke: 





  Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah” 
  Tuesday, 21 April 2009 09:12 
  Mengapa
  setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita
  Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan? Baca Catatan Akhir Pekan
  [CAP] Adian Husaini ke-269

  Oleh: Adian Husaini

  Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 
lalu. Dari
  empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang
  Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar
  tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?” 

  Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia 
ini mempertanyakan: Mengapa
  Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati
  Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak
  ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

  Menyongsong
  tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan
  merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut.
  Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali
  dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya
  pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr.
  Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik
  'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

  Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini 
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan
  ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih
  Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
  Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
  kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W.
  Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University. 

  Harsja
  juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
  sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita
  yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul
  Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We
  Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu
  tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia 
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia
  (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut. 

  Padahal,
  papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
  Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif
  mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia
  menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa
  pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah
  lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan
  Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk
  menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh
  monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah
  memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat
  memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita. 

  Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We 
Tenriolle. Wanita
  ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir
  dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah
  Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
  yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu
  dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini
  mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama
  yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita. 

  Penelusuran
  Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan
  kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
  ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di
  Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami
  istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia
  Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan,
  Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga
  bersaudara. 

  Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian 
menjadi semacam sponsor
  bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri
  ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu
  pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.” 

  Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang 
wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita
  Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
  terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme
  H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah 
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia. 

  Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 
1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door 
Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul 
Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan 
dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran 
(1922). 

  Dua
  tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
  mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
  sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
  Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana
  ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada
  orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat:
  “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri,
  dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin
  tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak
  menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan,
  percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.” 

  Karena
  itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
  sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
  Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
  kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.” 

  Harsja
  mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
  hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri
  tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos
  Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita
  ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus
  berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira
  sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.” 

  Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar 
Bahtiar juga menyebut
  sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi
  Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke
  Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja
  dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan
  Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana
  dikutip dari artikel Tiar Bahtiar. 

  Dewi
  Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
  wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan
  Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di
  Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang
  sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal
  Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi
  jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia
  tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. 

  Kalau
  Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
  jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
  dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
  Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
  terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita 
Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). 

  Bahkan
  kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
  Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
  klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini
  hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat
  yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan
  Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang
  ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau
  menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan
  jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke
  Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita
  pertama, yakni Malahayati. 

  Jadi,
  ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
  Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien?
  Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa
  Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien
  tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan
  berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

  Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki 
visi keislaman yang tegas. “Perputaran
  zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita
  tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus
  berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang
  lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan
  berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
  terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus. 

  Seperti
  diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
  penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar
  bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan
  Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis
  Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam
  dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah
  lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda
  untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. 

  Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 
1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: 

  “Kecenderungan
  ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah
  nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir
  abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
  selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan
  mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya
  pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.” 

  Apa
  hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
  kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama
  Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu
  sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya
  kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

  ”Salam,
  Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan
  penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu
  dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya
  kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada
  hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa
  Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya
  kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan
  kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: 
Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: 
Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235). 

  Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti 
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ.
  Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam
  upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti
  jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para
  Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri
  sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
  Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi
  dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus
  daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia. 

  Menurut
  Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
  Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh
  banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang
  menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya
  ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis
  tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan
  ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai
  dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun
  tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116). 

  Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche 
zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat 
kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam 
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr.
  Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat
  Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu
  strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui
  dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck,
  lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari
  pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan
  mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis,
  rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
  Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui
  asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam
  perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi
  kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai
  pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan
  adat. (hal. 43). 

  Aqib
  Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan
  Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh
  misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi.
  Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
  menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam)
  melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24). 

  Itulah
  strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
  strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
  ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini
  semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi
  Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’
  sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik
  Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah
  orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar,
  bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama
  tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 
2009/www.hidayatullah.com]

  Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM 
dan www.hidayatullah.com

  Source : 
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9144:mitos-kartini-dan-rekayasa-sejarah-&catid=3:catatan-akhir-pekan-adian-husaini&Itemid=58
 


  __._,_.___


                                        


  ______________ K R L - M a n i a ____________

  Yg Manis Beli Karcis - Yg Keren Beli Abonemen

  No. Rekening:
  BCA Cabang BEJ, A/C No. 4580102617 a.n Anna Dwiyana
  Mandiri Cab. BEJ, A/C No. 104-0097000520 a.n Anna Dwiyana.
  ___________________________________________
  all spammer will be terminated without notice


   


  Your email settings: Individual Email|Traditional 
  Change settings via the Web (Yahoo! ID required) 
  Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully 
Featured 
  Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe 



  __,_._,___

Kirim email ke