Setelah melihat proses penangkapannya, jadi heran! kenapa densus 88 menangkap 
seorang yg sdh renta koq pake memecahkan kaca mobilnya segala? dengan sepasukan 
lengkap bersenjata pula !
Katanya anti kekerasan seperti yg teroris lakukan, tapi kenyataannya malah 
melakukan kekerasan sendiri dari penangkapan sampai interogasinya. Sebuah 
perilaku yg juga bisa dikategorikan pemaksaan, layaknya perbuatan para teroris !
Sungguh tidak ADIL.......

Astaghfirullah.... Baru sadar kalo memang keADILan yg hakiki hanya milik Allah 
SWT

Semoga Allah membuka tabir kebenaran, sehingga jelas siapa yg teroris dan siapa 
yg menjadi korban, siapa yg menjadi teroris dan siapa yg menciptakan para 
teroris tsb.

Wallahualam......


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: "Agus Rasyidi" <ras...@wicaksana.co.id>
Date: Tue, 10 Aug 2010 11:12:46 
To: <jamaah@arroyyan.com>
Reply-To: jamaah@arroyyan.com
Subject: [Ar-Royyan-9864] Fw:  Menafsiri Ucapan Abu Bakar Ba'asyir: Ini Pesanan 
dan Rekayasa Amerika!

----- Original Message -----
From: Armansyah
Sent: Tuesday, August 10, 2010 10:41 AM

Menafsiri Ucapan Abu Bakar Ba'asyir: Ini Pesanan dan Rekayasa Amerika!
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/menafsiri-statemen-ustat-abu-bakar-b
a-asyir-abb-ini-pesanan-rekayasa-amerika.htm

Ramadlan Mubarok 1431 H diambang pintu, namun lagi-lagi umat Islam di suguhi
berita yang memprihatinkan. Bukan sekedar karena kanaikan harga kebutuhan
pokok yang oleh presiden SBY dianggap suatu yang wajar, entah dengan
parameter apa sehingga seperti “hilang nurani” ketika rakyat dihimpit dengan
berbagai kesulitan terutama naiknya TDL, inflasi harga-harga bahan pokok
dianggap hal yang wajar. Rakyat jadi melek saat ini, wajar kalau kemiskinan
dan problem komplek yang menimpa rakyat tidak pernah terurai dengan tuntas
karena semua diletakkan dalam timbangan “hal yang wajar”, betul-betul
Indonesia dengan penguasanya saat ini bermetamorfosa menjadi “negeri yang
tidak wajar”.
Yang lebih spesifik lagi; suasana kekhusu’an menyambut ramadlan jadi
“ternoda” dengan kembali tongosnya isu teroris dan yang paling spektakuler
kembali di “kuyo-kuyonya” orang yang sudah sepuh usia,yang juga baru saja
keluar dari kerangkeng besi menghirup udara “bebas”. Ya, semua rakyat
Indonesia mengetahui sosok seorang Ustad Abu Bakar Ba’asyir, terlepas dari
pro dan kontra terhadap sosok beliau yang pasti peristiwa penangkapan yang
kesekian kalinya oleh Den88 terhadap ustad ABB pada akhirnya juga melahirkan
pro dan kontra. Melahirkan banyak pertanyaan berkelindan; apakah benar ustad
ABB terlibat tindakan teroris seperti yang dituduhkan?, apakah ini bagian
dari conten “roadmap” kontra-terorisme yang diemban oleh pemerintahan SBY
melalui Menko Polhukamnya dan jajaran terkait? apa target sebenarnya dari
proyek kontra-terorisme ini? Dan di wakili oleh pernyataan ustad ABB
sendiri, ini adalah pesanan dan rekayasa AS, apa benar seperti itu? Dan
masih menyisakan banyak pertanyaan lainya, misal; kenapa juga momentumnya
jelang Ramadlan? Karena tak bisa dipungkiri sebagian umat Islam di Indonesia
merasa ini langkah penindakan yang tidak sepantasnya karena ditafsiri secara
sentimental sebagai “hadiah” ramadlan yang makin buat sesak nafas dari
pemerintah melalui institusi Polri (Den88)-nya untuk umat yang sudah kelewat
megap-megap dililit masalah.Atau sebagai pengalihan isu untuk menutupi
perihal yang sangat serius dan penting dalam kontek urusan kenegaran
?.Rasanya perihal diatas perlu tafsiran sekalipun tidak bisa memuaskan,
karena masing-masing memiliki sudut pandang yang beragam, tapi kita akan
merasa seperti “setan bisu” jika tidak katakan apa yang kita dengar dan
lihat dari bayang-bayang “konspirasi” yang sedang mencengkram Islam dan umat
ini dengan apa adanya.
Pertama
Polri melalui Kabakreskrim Mabes Komjen Pol Ito Sumardi mengungkapkan Amir
Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) Ustad Abu Bakar Ba'asyir terkait dengan banyak
gerakan terorisme. Polri sudah lama mengendusnya. "Jadi (Ba'asyir terlibat)
banyak gerakan lain yang sudah lama. Dan kita sudah lama menyelidiki,
tentunya Polri tidak sembarangan saja mengambil orang," Bahkan di sinyalir
ustad ABB tak hanya terlibat dengan jaringan terorisme di Aceh saja
(detik.com,9/8). Menko Polhukam Djoko Suyanto juga menegaskan; Polri tak
gegabah menangkap Abu Bakar Ba`syir. "Polri tentu sudah memiliki bukti-bukti
kuat terkait jaringan terorisme itu, sehingga akhirnya Ustad Abu Bakar
Ba`asyir ditangkap," .(Liputan6.com,9/8). Dan yang penting diketahui oleh
khalayak, presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan ini melalui
laporan Kapolri, seperti yang disampaikan Juru Bicara Presiden SBY, Julian A
Pasha, dan sekaligus menepis atau lebih tepatnya “cuci tangan” dengan
ungkapan; ini bukan merupakan intruksi dari SBY (republika.co.id, 9/8).
Penangkapan ustad ABB juga menggenapi sejumlah orang (diduga teroris) yang
ditangkap oleh Den88 sebelumnya. Dari rentang waktu April hingga Mei 2010,
Polri telah menetapkan 102 tersangka kasus terorisme. Sedikitnya 66
tersangka telah ditahan dan segera akan disidangkan dengan 33 berkas yang
siap, seperti yang di akui pihak polri melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen
Pol Edward Aritonang dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo,
Jakarta Selatan, Senin (9/8/).
Ustad ABB sebelumnya masuk dalam penjara dengan tuduhan yang sama seperti
saat ini, dan kemudian bebas setelah pengadilan memberikan amar putusan
ustad ABB tidak terkait atau tidak terbukti dengan apa yang dituduhkan.
Hampir semua aktifis sadar, sekalipun ustad ABB bebas tapi dilapangan tidak
pernah lepas dari bayang-bayang (monitoring) dari pihak intelijen. Semua
sepakterjang, dari aktifitas pengajian hingga urusan keluarga juga di bawah
“satelit”. Dan rasa-rasanya naif sekali jika kemudian hal tersebut tidak
disadari ustad ABB, dan melahirkan sikap “waspada” serta tidak terjebak
kepada seluruh bentuk aktifitas fisik yang dikemudian hari begitu mudahnya
dipolitisir sebagai bagian dari aksi “terorisme”. Ketika khalayak dalam
berbagai kesempatan dakwah mendapati pandangan ustad ABB tidak seperti yang
dituduhkan pihak aparat Polri, karena ustad ABB menolak segala bentuk
terorisme dan aktifitas kekerasan lainya.Kemudian saat ini seolah menjadi
“blunder”, ketika Den88 kembali menangkap ustad ABB dan alasan utama
dicurigai terlibat kelompok teroris Aceh dan ditambah dengan argumen lama
bahwa ustad ABB juga terkait jaringan teroris lainya.Bisa jadi polisi punya
bukti akurat tentang aktifitas ustad ABB terkait kelompok Aceh, dalam sebuah
rekaman video ustad ABB membuka dan memberikan wejangan pada sesi latihan
tersebut. Dan dikembangkan lebih jauh, juga terlibat dalam backup keuangan
untuk agenda tersebut juga menggunakan jejaring langsung atau tidak langsung
(orang sekeliling ustad ABB).
Dari sini kita coba memberi tafsiran; pertama, ustad ABB sepenuh hati
berketetapan tindakan-tindakan pengeboman dan semacamnya yang akhirnya
dilabeli dengan aksi “terorisme” bukan jalan perjuangan yang benar.Dan
meninggalkan segala bentuk ke-askaran dan beliau menolak terorisme, namun
pada level ini masih meniscayakan ada skenario “operasi intelijen” untuk
membuat jebakan/kubangan yang menyeret ustad ABB agar bisa kembali di
kaitkan dengan aksi-aksi terorisme. Misalkan, dibukanya posko-posko jihad
karena moment tertentu (misal:jihad untuk Gaza seperti pada kasus Aceh,
kemudian masuknya Sofyan Stauri yang di duga kuat agen kedalam barisan ini)
kemudian mampu memobilisasi sekelompok orang untuk terlibat, selanjutnya di
kumpulkan disatu tempat dan dididik kemampuan “militer”nya.Dengan bahasa “I’
dad al jihad” menarik ustad ABB untuk merespon tanpa sadar baik atas
permintaan dari PJ “askar”ini atau sebaliknya, sekalipun hanya membuka
pelatihan tersebut atau memberi wejangan tentang fiqh jihad tanpa menyadari
“hiden agenda” kedepanya oleh intelijen, peruntukannya apa dari latihan
tersebut?.Tapi jika itu terjadi, maka dari operasi intelijen ini akan
mengahsilkan data melimpah untuk membuat diktum pengkaitan dengan aksi
terorisme. Dalam perkara rancang bangun pengkaitan itu terkait erat dengan
paradigma tafsiran pihak aparat (yang kesannya subyektif dan apriori).
Atau kemungkinan kedua (tapi penulis husnudzan ustad ABB tidak pada posisi
berikut); ustad ABB masih menginjakkan kaki di dua pilihan (ijtihad), satu
sisi menolak tindakan terorisme tapi disisi lain ustad ABB masih mengadopsi
pandangan pentingnya ada “sayap militer” untuk melakukan “I’dad” atau
persiapan jihad dengan kepentingan-kepentingan yang masyru’ (di syariatkan).
Lagi-lagi, jika ini yang menjadi pilihan ustad ABB maka inflitrasi oleh
intelijen untuk melakukan radikalisasi atau mengkriminalisasi “sayap
 militer” dari gerakan dakwah ustad ABB begitu mudah terjadi dan begitu
mudahnya pihak aparat dengan proyek kontra-terorismenya memiliki pijakan
untuk membuat dakwaan-dakwaan keterkaitan beliau dengan kelompok teroris.
Atau pada posisi yang ketiga, agak samar; ustad ABB menolak terorisme dan
tidak juga membangun ke-askaran, tapi beliau tidak bisa menolak permintaan
sebagai “tokoh spiritual” dari kelompok jihadis untuk memberikan wejangan
tentang berbagai macam jihad. Maka dalam konteks ini ustad ABB sama dengan
poit pertama diatas.Namun yang terpenting adalah masalah “tafsiran” aparat
terhadap bukti atau data. Seorang memberi tausiyah bab jihad tidak otomatis
dia bisa dikatakan dia adalah pelaku jihadnya, dalam kontek ini ustad ABB
jelas bukan pelaku jihad (al qithal). Bisa juga tausiyah seluk beluk jihad
yang mulia ustad ABB sampaikan, tapi diluar sepengetahuan ustad ABB ada
inflitrasi dengan target dan agenda bias.
Maka kembali, yang menjadi titik krusialnya adalah seperti apa paradigma dan
tafsiran aparat terhadap bukti atau data (jika ada). Kecuali dalam data
video atau bukti semisal secara eksplisit, akurat dan valid ada statemen
perintah dari ustad ABB terhadap seorang atau sekelompok orang untuk
melakukan tindakan yang di klaim “terorisme” (misal: pengeboman dengan obyek
random tidak lagi memperhatikan apakah itu medan jihad atau tidak dan bukan
perintah yang multitafsir lagi) oleh aparat. Berbeda halnya dengan kesaksian
dari orang yang ditangkap, karena ini sarat “subhat”, BAP bisa dibuat
dibawah tekanan dan siksaan yang keji.Jika begitu adanya sikap ustad ABB,
maka tidak lagi ada blunder dan umat bisa menilai dengan Iman dan Islamnya.
Tentang paradigma aparat perlu dikritisi, karena sejak berangkat
mendefiniskan terorisme saja tidak ada kata sepakat alias “no global
consensus”, yang saat ini pemaknaan (definisi)nya tergantung dan sarat
kepentingan politik penguasa adidaya dan antek-anteknya. Misal; orang-orang
HAMAS yang membela diri dari penjajahan Israil di sebut “teroris dan
ekstrimis”, sementara Israil sendiri bahkan Amerika yang meluluh lantahkan
negeri Islam seperti Irak, Afghanistan dan lainya tidak berlaku status dan
julukan ini, padahal mereka adalah “the real terrorism”.Maka jawaban dari
soal pertama, apakah ustad ABB terlibat? Waktu jualah yang akan membuktikan
(dalam kontek dimensi dunia kasunyatan peradilan yang fair akan
membuktikan).Yang haq tentu Allah SWT Sang Pencipta hamba (seperti SBY,
Kapolri, Menko Polhukam, prajurit Den88 semua, bahkan ustad ABB dan tidak
lupa penulis sendiri) yang Paling dan Maha Tahu dari seluruh perkara yang
tersembunyi dan terang, yang konspiratif hingga yang fisikal teraba.
Kedua
Berikutnya; untuk menjawab posisi AS dan seperti apa “roadmap” kontra
terorisme yang akan terus dijalankan di Indonesia, perlu kiranya membuka
kembali file-file lama dan baru terkait isu terorisme ini. Dan konteks
kepentingan politik global AS terhadap dunia Islam tidak bisa diingkari,
pasca peristiwa 911/2001 dengan bendera “warr on terrorism” AS menghancurkan
Afghanistan, yang berikutnya adalah Iraq. Dunia sampai hari ini belum
mendapatkan konfirmasi akurat atas alasan yang selama ini di propagandakan
oleh AS untuk menyerang Afghan dan Iraq. Keterkaitan 911/2001 dengan
pemerintahan Thaliban di Afghanistan adalah dusta, kepemilikan senjata
biologis Iraq di bawah rezim Sadam juga lebih dusta lagi dan semua sarat
dengan rekayasa AS. Dari sisi ini menunjukkan motif hakiki yang dimiliki AS
atas dunia Islam, yaitu meneguhkan imperialisme dan mengubur seluruh potensi
yang bisa mengeliminasi hegemoninya. Pasca runtuhnya Soviet dengan
komunisnya, bagi AS Islam menjadi ancaman berikutnya. Maka strategi lama
“hard power” dibawah bendera “warr on terrorism” melegitimasi tindakan
brutal AS di Afghan, Iraq dan dunia Islam lainya.
Sikap permusuhan AS terhadap dunia Islam dengan bendera perang melawan
terorisme tidak hanya pasca 911/2001, tapi sudah dirancang jauh hari.
Meminjam analisis Noam Chomsky, pakar linguistik dari Massachussetts
Institute of Technology, AS, bahwa kebijakan Amerika dan Barat terhadap
Dunia Islam dengan isu "terorisme" ini sudah terasa begitu kuat sejak awal
1990–an. Tahun 1991, ia menulis buku "Pirates and Emperor: International
Terrorism in The Real World." Dalam artikelnya (The Jakarta Post 3/8/ 1993),
dan dimuat ulang terjemahannya oleh harian Republika dengan judul "Amerika
Memanfaatkan Terorisme Sebagai Instrumen Kebijakan", ia menulis bahwa
Amerika memanfaatkan terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk
memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam.
Dalam konteks lokal, Indonesia telah masuk perangkap proyek global AS ini
sejak peristiwa Bom Bali-1. Kooptasi kepentingan AS untuk wilayah Indonesia
di kukuhkan dengan di bentuknya satuan khusus anti teror dibawah institusi
Polri yaitu Den-88 dengan komandan pertamanya Gorys Mere setelah sebelumnya
dididik di AS pasca Bom Bali-1. Dan sekalipun posisinya sekarang di BNN,tapi
dibanyak kasus kontra-terorisme dia turun kelapangan (seperti kasus teroris
di Aceh, dll).Dari berbagai analisis dan fakta dilapangan, terlihat
pemerintah mengabaikan sama sekali kemungkinan bahwa peristiwa Bom Bali-1
dan bom-bom berikutnya adalah produk “operasi intelijen” yang menunggangi
para “jihadis” lokal dengan motif menjangkaukan perang melawan terorisme
berjalan juga di Indonesia.
Bahkan lebih dari itu, kemudian berimbas juga penangkapan ustad ABB yang
akhirnya dibebaskan oleh pangadilan karena tidak terbukti terlibat. Begitu
juga terjadi tekanan dari pemerintah Australia dan AS untuk menangkap ustad
ABB karena dia dianggap simbol dan ikon serta pimpinan puncak dari kelompok
teroris. Bahkan di kaitkan juga dengan kelompok al Qoida terkait pembiayaan
aktifitas gerakan jihadis ini.Disamping alasan mengada-ada lainya; ustad ABB
ialah Amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) dan pendiri Pondok pesantren Al
Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Mantan aktivis mahasiswa yang
dikenal gencar berceramah dengan bahas yang lugas dan blak-blakan yang oleh
sebagian kalangan, terutama pemerintah dinilai keras. Ceramah, khotbah, dan
gerakannya yang selalu ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia membuat
Amerika Serikat geram dan ingin pemerintah Indonesia menangkap dan
memenjarakannya.Baasyir dikenal sebagai agamawan yang ramah namun dianggap
radikal dan sangat anti Amerika. Isi ceramah dan khotbah ustad ABB syariat
(hukum Islam) dinilai sangat keras, meski ustad sepuh itu menegaskan dia
menentang kekerasan. Sebagai ustad, dia menegaskan bahwa tugasnyalah untuk
menyerukan atau mengajak-ajak kaum muslim untuk kembali kepada syariat
Islam.
Pemerintah Indonesia juga menutup mata, bahwa proyek kontra terorisme
motifnya adalah kepentingan politik global AS atas dunia Islam. Dan
munculnya perlawanan sporadis dalam konteks lokal juga sangat potensial
terjadi dengan berbagai macam bentuknya, seperti dengan pengeboman.
Sekalipun akhirnya sikap atau respon sebagian orang dengan melakukan
tindakan “teror bom” justru menjadi medium efektif untuk melahirkan nilai
kontra-produktif terhadap Islam dan kaum muslimin, karena menjadi basis
aktifitas yang sangat rentan dari penunggangan operasi intelijen untuk
membuat selaras dan legitimasi proyek AS bisa berjalan dan memaksa
pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam proyek perang melawan terorisme,
tanpa lagi melihat akar persoalan yang sesungguhnya.
Posisi Indonesia dibawah tekanan kepentingan AS makin tampak pada komitmen
pemerintah Indonesia di bawah presiden SBY untuk membangun kemitraan
strategis dengan AS dalam rangka perang melawan terorisme. Kemudian di
kukuhkan menjadi salah satu prioritas 100 hari program kerja pemerintahan
SBY. Dalam Nasional Summit di Jakarta pada akhir tahun 2009, pemerintah
melalui Kementerian Polhukam dalam seratus hari berusaha merumuskan blue
print proyek kontra terorisme. Bahkan sebelumnya juga menjadi substansi
pembicaraan SBY-Obama ketika bersua di Singapura, bahwa pemerintah Indonesia
punya komitmen tinggi menyangkut isu perang melawan terorisme. Dalam tataran
lokal blue print telah disiapkan yang berisi rencana strategis
(roadmap/desain) baik dari hulu sampai hilir. Atau lebih tegas, tujuan akhir
dari kontra terorisme itu sebenarnya apa? telah di rumuskan.
Dan paling baru adalah di akhir bulan Juli 2010,tepatnya tanggal 27/8 sebuah
perhelatan cukup penting di gelar di Jakarta. Simposium Nasional “Memutus
Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, di Le Meridien Hotel, 27-28 Juli
2010.Sebuah agenda hasil kerjasama Menkopulhukam, Polri, UIN Jakarta, UI,
Lazuardi Birru, dan LSI.
Ini adalah tahapan demi tahap substansi “road map” proyek kontra terorisme
oleh pemerintah di implementasikan. Simposium ini hanya sebagian langkah
saja (legal opinion dan legitimasi), terkait lahirnya lembaga baru yang di
namakan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui Perpres
(peraturan Presiden) nomer 46 tahun 2010 yang di tanda tangani presiden SBY
pada tanggal 16 Juli 2010 di Jakarta. Sekalipun undang-undang yang berkaitan
dengan aspek keamanan belum diundangkan, karena RUU Intelijen yang baru
masuk program legislasi nasional DPR tahun 2010, dengan peraturan presiden
ini bisa dianggap cukup sebagai payung hukum dalam proyek
kontra-terorisme.Langkah pemerintah melalui kementerian Polhukam, Polri dan
instansi terkait ini menunjukkan keseriusan pemerintahan SBY pada proyek
kontra-terorisme.Dengan lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, proyek
kontra-terorisme adalah proyek “longtime” dengan target-target tertentu dan
pemerintah akan secara kontinyu dan simultan serta melibatkan banyak
“energi/element/unsur” menjalankan “road map” yang sudah diformulasikan.
Akhirnya menjadi sebuah fakta bahwa Indonesia dengan rezimnya saat ini
secara establis telah memposisikan sebagai sub–ordinat kepentingan proyek
global “warr on terorism” yang digelorakan oleh AS dan sekutunya.Dan
target-target proyek di level lokal adalah turunan (break down) dari
target-target proyek global.
Pelembagaan agenda kontra-terorisme (dengan lahirnya BNPT) menunjukkan ini
adalah “proyek longtime”, dengan ditangkapnya ustad ABB apakah akan
mengakhiri drama “terorisme” selama ini? Tentu tidak, karena cerita bisa
saja dibuat dari sepihak (yang memiliki kepentingan terhadap proyek
kontr-terorisme ini) agar bagaimana caranya terus hidup panjang, baik dengan
memastikan suksesnya operasi intelijen “the mind control” melalui media
terhadap isi otak umat Islam atau “image building” tokoh-tokoh baru untuk
tampil di sekuel drama “terorisme” berikutnya. Dari sini tampak jelas AS dan
sekutunya punya kepentingan, ada kemungkinan ditangkapnya balik ustad ABB
adalah dibukanya kembali kerjasama militer RI-AS baru-baru ini, alias ini
menjadi kompensasi sekaligus melanggengkan isu terorisme dan efek domino
lainya dalam prespektif kepentingan politik dan ekonomi AS.Inilah tafsiran
pokok dari pernyataan ustad ABB; ini adalah pesanan dan rekayasa AS!
Target dibalik proyek Kontra-Terorisme
Dari “roadmap” kontra-terorisme cukup jelas; tidak hanya membicarakan
penindakan atau pencegahan terhadap pelaku aksi terorisme.Tapi ada tema
penting yakni “de-radikalisasi”,sebuah langkah menggeser atau lebih tepatnya
menjangkaukan proyek ini masuk ke spektrum yang lebih luas. Masuk pada
wilayah ideologi dan pemikiran. Karena paradigma yang dibangun adalah;
pemikiran dan ideologi yang dianggap radikal dan fundamentalis-lah yang
menjadi biang kerok munculnya semua kekerasan dan tindakan terorisme. Maka
perlu upaya de-radikalisasi secara masif dilakukan dan melibatkan semua
“power” atau instrumen yang dimiliki oleh penguasa.Ini sikap apriori dan
dipaksakan, karena mengabaikan sama sekali variabel-variabel yang faktual:
kemiskinan; kebodohan; kedzaliman penguasa dalam aspek ekonomi, politik dan
hukum;dan kedzaliman global yang dilakukan AS dan sekutunya.
Namun sebuah narasi telah dibangun sedemikian rupa; bahwa tentang adanya
pergeseran sasaran para teroris bukan lagi asing (AS dan sekutunya) tapi
simbol-simbol dalam negeri (Presiden RI dll), berikutnya; motif tidak lagi
sebagai respon atas penjajahan dan kedzaliman global yang diciptakan AS di
dunia Islam tapi sudah bergeser ke arah pembentukan “Negara Islam (Islamic
State)”, dan terakhir adalah vonis bahwa demokrasi menjadi pilihan final
bagi rakyat Indonesia dan menegasikan perihal “negara Islam” sebagai hal
yang sudah menjadi bangkai sejarah masa lalu Indonesia.Artinya; selama ini
peristiwa penangkapan dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang di duga
teroris adalah lebih sebagai pemanasan (dijadikan martil dan target antara)
untuk mengokohkan istilah “teroris” sebagai ancaman serius terhadap NKRI.
Dan kemudian mulai lebih fokus lagi, yaitu masuk di ranah motif maka
disinilah terlihat muncul upaya pengkaitan antara aksi terorisme dengan isu
pendirian negara Islam/daulah Islamiyah/Khilafah Islamiyah.Dan cerita aksi
terorisme di Indonesia adalah perlawanan terhadap AS dan seluruh instrumen
kepentingannya, menjadi bergeser ke cerita sebagai ancaman terhadap simbol
lokal “status quo” dan upaya meruntuhkan kesepakatan hasil reformasi yaitu
demokrasi.
Berikutnya; kontra-terorisme disamping mengemban kepentingan global AS atas
dunia Islam, akan lebih fokus lagi adalah mengubur seluruh potensi yang bisa
meruntuhkan sistem demokrasi-sekuler yang tegak di Indonesia, dan dua
kepentingan (target) tersebut saling terkait atau korelatif. Maka ketika
perang melawan terorisme di hadapkan kepada ancaman secara fisik, pemerintah
dengan dukungan AS melalui Den-88 Polri memiliki kemampuan yang bisa dengan
mudah membasmi. Namun menjadi kesulitan besar jika yang dihadapi adalah
ancaman ideologi, atau pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal dan
fundamental tapi steril dari aksi-aksi fisik kekerasan. Dan ancaman ideologi
ini yang dipandang sebagai potensi yang akan mengubur dan meruntuhkan sistem
demokrasi-sekuler yang tegak hari ini.Maka, dari sini jelas bahwa yang di
anggap ancaman dalam proyek perang melawan terorisme adalah kelompok atau
individu yang melakukan tindakan fisik pengeboman dan semisalnya, tapi juga
setiap individu atau kelompok yang berusaha memperjuangkan Islam ideologi
tegak dimuka bumi baik dalam konteks lokal maupun global.
Akhirnya bukan mustahil, setelah selesainya semua payung undang-undang yang
terkait dengan keamanan negara akan melegitimasi langkah kontra terorisme
dalam bentuk penindakan dari aksi fisik akan bergeser dan diarahkan kepada
penindakan atas kelompok-kelompok yang mengusung pemikiran atau ideologi
yang dianggap membahayakan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bineka Tunggal Ika (kebinekaan), dan NKRI. Sekalipun ini membutuhkan waktu
yang panjang dan variabel-variabel pendukung lainya.
Karenanya dalam “roadmap” kontra-terorisme mengharuskan strategi-strategi
jitu dirancang sedemikian rupa yang menitik beratkan kepada, pertama:
penguatan legal frame, yakni di usahakan lahirnya UU yang bisa memberikan
payung dan legitimasi tindakan keras oleh pemerintah melalui Polri atau
pihak terkait terhadap kelompok yang mengusung ideologi yang dianggap
membahayakan empat pilar bangsa. Dan ini tercium dari empat draft RUU yang
disodorkan kementerian Polhukam, semisal RUU intelijen yang diusulkan Dephan
dan sudah masuk prioritas program legislasi nasional 2010 dan tiga RUU
kemanan negara lainya sudah di antrikan. Kedua: dengan langkah soft power,
secara rapi ada upaya kuat mengkooptasi media masa untuk menjadi instrumen
propaganda yang sangat efektif untuk mengambarkan bahayanya kelompok yang
mengusung Islam sebagai ideologi dan implikasi sosial politik yang akan di
timbulkan. Upaya pencitraan negatif akan di lakukan secara kontinyu dan
simultan melalui media masa yang dikendalikan penguasa.Ini bisa terlihat
bagaimana peran media elektronik seperti TV One dan Metro TV dalam isu
terorisme di Indonesia.Di samping itu juga, ada indikasi menjadikan
instrumen goverment dan NGO melalui individu-individu didalamnya untuk
menjadi corong secara aktif menyuarakan bahayanya Islam Ideologi, ini
terlihat proyek-proyek pemikiran dan dakwah yang dikembangkan melalui Depag
dan para pengasong Liberalisme dari berbagai jaringan kelompok liberal,
pengusung HAM dan demokrasi. Yang tidak ketinggalan adalah adanya rekayasa
menjadikan ormas-oramas tertentu sebagai “stempel” dengan mengusung isu atau
ide yang bisa dihadapkan secara diametrikal terhadap kelompok-kelompok yang
mengusung Islam ideologi. Ini terlihat, statemen dari orang-orang tertentu
yang dianggap representasi dari ormas tertentu menyatakan NKRI final dan
akan membela sampai titik darah penghabisan jika ada upaya orang atau
kelompok yang hendak meruntuhkan.Tentu bisa dipahami, jika langkah soft
power ini berhasil maka akan melahirkan sikon kondusif pemerintah bersikap
otoriter dan represif atas nama UU dan klaim aspirasi rakyat Indonesia.
Catatan Akhir
Masih banyak aspek yang belum terungkap dari tulisan ini, namun harus
berjeda juga dengan catatan akhir: Umat harus waspada setiap monsterisasi
(hantu) tentang negara Islam. Karena targetnya membuat umat mudah resisten
terhadap gerakan yang mengusung syariat Islam, karena dengan mudah umat akan
mengkaitkan dengan istilah dan kelompok teroris katika penguasa melalui
instrumen terkait proyek kontra terorisme mampu meyakinkan umat, bahwa
tentang motif terorisme adalah mendirikan daulah Islam (negara Islam).
Begitu juga tentang isu NKRI final dan Demokrasi pilihan rakyat Indonesia
pasca reformasi, akan di jadikan sebagai parameter untuk memojokkan gerakan
islam yang bercita-cita menyelamatkan Indonesia dengan syariat. Kepada Allah
SWT semata kita bersandar dan bergantung, Sudah hamba sampaikan ya Allah,
maka saksikanlah..
Wallahu a’lam bisshowab. Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiah DPP-HTI)



------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, 
seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)

Kirim email ke