----- Original Message ----- 
From: masjid annahl 
Sent: Tuesday, November 02, 2010 1:59 PM


Mentawai (voa-islam.com) -Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB, langit Sikakap 
tampak mendung. Di luar rumah tanah tampak lanyah. Pepohonan dan rerumputan 
masih basah setelah diguyur hujan deras sepanjang malam. Sebentar lagi, 
sepertinya hujan deras bakal turun. Ya, membasuh duka Bumi Sikerei.   

Di luar rumah, bau mayat menyengat. Aroma tak sedap menebar ditiup angin. 
Memang, hingga Jumat (29/10), mayat masih bergelimpangan di pinggir jalan. 
Pikiran saya langsung terbayang ratusan warga Pagai Selatan yang bertahan di 
perbukitan, dalam kondisi hujan badai. Selain menahan lapar, dinginnya malam, 
mereka harus melawan penyakit yang kini menyerang.      

Ternyata benar. Hujan deras mengguyur Sikakap. Tak hanya hujan, tapi juga 
badai. Di posko utama, para jurnalis dan relawan telah berkumpul. Seperti 
biasa, setiap pagi kami siap-siap menyisir desa terpencil yang belum terjamah 
bantuan. Pagi itu, tim relawan dan jurnalis hendak menuju Dusun Pasa Puat di 
Pagai Utara. Dusun itu, semua rumah hancur. Mujur, tidak ada korban jiwa. 

  ..."Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah 
menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. 
Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami 
sadar ini adalah kehendak Tuhan,... 

Perjalanan menggunakan kapal kayu atau long boat. Kapal itu mampu memuat 12 
orang dan sedikit logistik untuk pengungsi. Berapa menit berlayar, gelombang 
dua meter menghadang. Pelayaran pun dihentikan. Setelah menunggu sekitar satu 
jam, boat yang dinakhodai Dayat itu dilanjutkan selama dua jam pelayaran. 
Sepanjang perjalanan, boat nyaris karam karena dipenuhi air. Kami sampai di 
tujuan sekitar pukul 17.00 WIB. 

Dari pantai, Dusun Pasa Puat sunyi senyap. Sedikit pun tidak terlihat 
tanda-tanda seperti sebuah kampung. Permukiman penduduk rata dengan tanah. Tak 
satu pun rumah warga yang berdiri. Semua tiarap. Hanya ada satu bangunan 
berdiri kokoh menghadap pantai. Ya, sebuah masjid. Garin masjid itu juga 
selamat. Zulfikar namanya. 

Hari beranjak senja. Hujan belum juga reda. Zulfikar tampak bersiap menunaikan 
Shalat Maghrib. Dalam obrolannya, pria berusia 40 tahun itu mengaku telah 
tingal di dusun itu sejak kecil. Sama dengan usia masjid itu yang berdiri 
sekitar tahun 1960 silam. "Ini masjid tertua di dusun kami. Bentuk masjid itu 
sudah tidak asli lagi, karena terus diperbaiki," ujar Zulfikar.

Zulfikar menceritakan, masjid ini sama sekali tidak tersentuh tsunami pada 
malam itu. Padahal, lokasinya tidak jauh dari pantai. Sedangkan rumah-rumah 
warga di sekitar masjid, rata dengan tanah. Masjid inilah yang menjadi tempat 
perlindungan masyarakat saat gelombang besar datang. 

Seperti mukjizat, air laut hanya sampai di teras masjid. Di luar masjid, 
Zulfikar melihat dengan mata kepala sendiri gelombang tsunami mencapai delapan 
meter. "Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah 
menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. 
Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami 
sadar ini adalah kehendak Tuhan," jelas pria berjenggot itu. 

Zulfikar dan 50 warga lainnya tidak henti-henti mengucap kebesaran Allah. Di 
luar masjid, tsunami terus menerjang sebanyak tiga gelombang. Tiada yang 
menduga, tsunami menghindar dari masjid. "Sepertinya, di masjid air terbelah, 
sehingga lantai masjid pun tidak basah sama sekali," kenangnya. (LieM/jpo)




sumber : http://www.voa-islam.com


Kirim email ke