Seri : Hikmah 



 
Memahami Kembali Makna Isra Mi'raj



Artinya: "Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari 
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi di sekelilingnya. 
Untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami. 
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui". (Q.S. Al-Isra: 1).

Berkaitan dengan Isra dan Mi’raj para teolog islam banyak berspekulasi tentang 
perjalanan ke langit pada malam itu, sebab hal itu menimbulkan beberapa 
kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat bahwa yang melakukan 
perjalanan adalah ruhani bukan jasmani, namun istri Nabi Aisyah, “Bahwa 
jasmaninya tidak hilang” di tentang semakin banyaknya kecenderungan untuk 
mengklaim bahwa perjalanan ini benar-benar secara jasmani, bahkan kaum 
Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhaniah bukan 
jasmaniah. Namun mufasir Al-Qur’an kenamaan, Thabrani (awal abad ke-10), 
berpendapat bahwa perjalanan Nabi itu benar-benar terjadi secara jasmani, 
karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an sebagaimana ditekankan oleh 
Thabrani dengan jelas mengatakan “Allah telah memperjalankan hambaNya pada 
malam hari” dan “bukan jiwa hambaNya”.

Dan tidak mustahil ketika kejadian Isra Mi'raj ini banyak ditentang oleh kaum 
rasionalis dan mereka berdalih "mana mungkin seseorang mampu berjalan melebihi 
kecepatan sinar". Akan tetapi kenyataan ilmiah membuktikan bahwa setiap sistem 
gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem yang lain. Bahwa 
kebutuhan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda satu dengan yang lain. 
Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama di bandingkan dengan suara, 
demikian juga suara lebih lama di bandingkan dengan cahaya, sehingga kita dapat 
berkata bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran. 
Di samping itu juga bahwa Manusia memiliki keterbatasan berpikir, dan berbatas 
pada eksperimen atau melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala alam  yang 
dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dimana saja. 

Isra Mi’raj juga memiliki makna penting dalam ruang imajinasi umat Islam. Makna 
penting itu jika diurai tentu akan memanjang. Isra Mi’raj, bisa dimaknai dari 
sudut pergolakan dakwah Nabi, kebenaran doktrin Islam, perjumpaan dengan para 
Nabi dan lain sebagainya. Tapi yang jelas, kisah-kisah serupa itu mengarahkan 
pengetahuan dan kesadaran umat beragama akan narasi besar yang memperkukuh 
dinamika umat untuk menyaksikan kehadiran Yang Mutlak (Allah). Ini penting, 
setidaknya demi membendung tergelincirnya sejarah ketuhanan dan Agama dari 
sekadar sejarah dunia yang biasa dan profan. 

Disamping itu pula, mirajnya seorang mukmin bukanlah sebuah upaya pendakian 
spiritual untuk berpaling dari tanggung jawab kemanusiaan, melainkan justru 
agar terjalin kontak antara kehendak suci di langit dan orientasi manusia di 
bumi. Shalat dan dzikir bisa dilihat sebagai institusi iman dimana sebuah 
keyakinan dan orientasi keilahian diterjemahkan dikaitkan dengan orientasi 
praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) diantara sesama manusia. Dengan 
kata lain, rentangan spektrum Ilahi di satu sisi dan spektrum kemanusiaan 
disisi yang lain secara metafisis tidaklah tepat jika diletakan dalam 
perspektif ruang sebagaimana ruang yang kita fahami dalam hidup keseharian. 
Tetapi keduanya menyatu dalam sebuah kesadaran, sehingga bagi seorang mukmin 
perilaku kemanusiaan-nya hendaknya memuat kualitas Ilahi, dan kehangatan dalam 
bertuhan hendaknya terefleksikan dalam perilaku kemanusiaanya.  

Sementara itu menurut tradisi islam, Isra dan Mi’raj terjadi selama priode 
Makkah yang terahir dari kehidupan Muhammad, tidak lama sebelum hijrah ke 
Madinah, yang biasa diperingati pada tangal 27 rajab, bulan ke tujuh hijiriyah. 
Di daerah kasmir (India), biasanya memperingati Mi’raj selama satu mingu dengan 
memperbanyak bacaan bacaan yang memuji Nabi mengagungkan namanya. Di Turki, 
malam Mi’raj di perlakukan sama dengan malam kelahiran Nabi, sebagai malam yang 
penuh dengan berkah dan biasanya malam-malam itu masjid di hiasi dengan 
lampu-lampu dan diramaikan puji-pujian. 

Dalam peristiwa ini di samping Nabi melihat tentang kebesaran-kebesaran Allah, 
juga diperlihatkannya surga beserta panoramanya dan peristiwa-peristiwa yang 
lain yang menakjubkan. Berbagai fenomena yang ditemui oleh Nabi saat melakukan 
wisata religius begitu banyak yang amat mengerikan, seperti bibir dan lidah 
yang terus tergunting yang mencerminkan hukuman bagi orang-orang yang selalu 
menyebarkan fitnah. Wajah dan dada yang terus tercakar sebagai gambaran bagi 
mereka yang suka menindas. Orang-orang terus berenang di kolam nanah dan darah 
lalu terus dilempari batu, sebagai gambaran siksaan bagi orang-orang yang 
korupsi dan makan harta riba. Semua amatlah penting untuk dijadikan sebagai 
referensi renungan di tengah gelombang kehidupan yang semakin runyam dan begitu 
dahsyat. 

Di samping itu juga agar manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang 
sewenang-wenang. Juga agar manusia tidak melangsungkan hidupnya di dunia yang 
hanya mengikuti zaman yang carut-marut, akan tetapi manusia diharapkan hidup 
dan beraktivitas dengan bahasa langit seperti orang-orang suci, para Nabi, 
sahabat dan ulama bahkan menyatu dengan Tuhan. Dengan hidup yang dihiasi dengan 
kesempurnaan bahasa langit dan bumi akan mendapatkan kesempurnaan dalam 
hidupnya.  

Di samping itu Isra juga merupakan simbol perjalanan hidup Manusia, isra adalah 
perjalanan mendatar (Horizontal) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di 
Palestina. Hal ini mengisyaratkan proses pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. 
Mi'raj adalah perjalanan naik (Vertikal) dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha 
mengisyaratkan adanya proses kualitatif. Manusia makhluk Allah yang paling 
sempurna, memahami hidup ini untuk menjalani proses pertumbuhan dan 
perkembangan. 

Proses perkembangan lebih menekankan pada mental yang bersifat nilai bukan 
materi. Proses ini lebih berbicara tentang kualitas hidup  manusia misalnya, 
bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi mulia, dari terlaknat menjadi 
terhormat, dari maksiat menjadi taat. Kemudian proses yang bersifat 
kuantitatif, dari mulai kecil kemudian besar, sedikit menjadi banyak. Kedua 
proses yang tidak bisa di pisahkan ini menjadi pembeda antara manusia dan 
makhluk biologis lainnya. Proses perkembangan adalah proses yang khas pada diri 
manusia, sebab tidak terjadi pada binatang bahkan Malaikat sekalipun. Sedangkan 
proses pertumbuhan terjadi pada semua makhluk biologis.

Dalam proses perjalanan Mi'raj kita diingatkan pada tiga titik, atau tiga 
tempat yang paling penting yaitu, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Sidratul 
Muntaha. Hal ini mengingatkan juga pada tiga peristiwa penting dalam perjalanan 
hidup manusia, yaitu kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Dengan kata lain, 
bahwa hidup bagi manusia adalah proses dinamis, proses ke masa depan, maka 
perjuangan Isra Mi'raj adalah isyarat bagaimana manusia menatap masa depan dan 
mengabdikan diri pada Allah.
 Dalam peristiwa ini yang termuat dalam hikmah-hikmah Isra Mi’raj yang dapat 
dipetik dari momen-momen simbolik peristiwa itu adalah:

Satu, kita menemukan, bahwa sejarah mencatat prosesi pembedahan dada Nabi 
sewaktu Isra Mi’raj. Dari peristiwa itu, kita menangkap simbol pelapangan dada, 
penyucian hati, penajaman nurani. Lebih spesifik lagi, pembedahan itu beresensi 
persiapan untuk bermunajat dengan yang Maha Tinggi dan Maha Suci. 
Dua, kelapangan dada, kerendahan hati dan ketajaman nurani sebagaimana yang 
dipraktekkan Nabi, terlihat sangat penting dalam misi-misi profetik dan sosial 
demi mereformasi tatanan yang tidak ideal. Fungsinya, sebagaimana yang 
ditegaskan Al-Qur'an, dapat meringankan beban (psikis), mengangkat citra, dan 
menumbuhkan optimisme, bahwa di balik kesengsaraan ada jalan keluar (QS. 
Al-Insyirah: 1-6). 
Tiga, Isra Mi’raj juga mengandaikan adanya dorongan untuk belajar dari 
pengalaman orang lain. Perjumpaan dan dialog antara Nabi Muhammad dengan 
Nabi-Nabi seniornya, soal-jawabnya kepada Jibril (sebagai mana tertulis 
diatas), menandakan bahwa reformasi menuntut kerendahan hati untuk belajar dari 
banyak kisah gagal dan sukses orang lain. 

Empat, sebatas yang kita amati, spiritualitas atau perasaan bahwa adanya 
kontrol yang Maha Tahu atas aktivitas kita, menjadi penting tatkala 
sistim-sistim yang kita reformasi tidak berjalan dengan ruh yang kita idealkan. 
Wisata spiritual Nabi dalam Isra Mi’raj, menunjukkan bahwa spiritualitas sangat 
penting untuk menuntaskan misi dan visi reformasi. Sebuah falsafah moralitas 
mengingatkan kita, bahwa “Innama al-umam al-akhlaq ma baqiyat, fain hum 
dzahabat akhlaquhum dzahaba” (suatu komunitas akan kekal bersama moralitas; 
bila moralitasnya hancur, raiblah mereka bersamanya). Wallahu a`lam bi as-showab


Deni Sutan Bahtiar
Penulis Buku-Buku Islam
denis...@ymail.com



Redaktur: Johar Arif

sumber :http://www.republika.co.id

Kirim email ke