Jadilah Keren Apa Adanya, Jangan Bohongi Diri!

Penampilan rasanya sudah ok. Apa ya yang kurang? Mata Dio
berputar-putar menyapu wajah /cute/-nya di cermin. Ah... kurang
keren nih kaya'nya kalau kurang topi. "Tapi, topi sepertinya lagi
dicuci nih, Bos," gumamnya dalam hati. Hmm... topi Dito, kakaknya,
keren juga kalau dipadu dengan kaus dan jeans yang dipakainya.
Dengan santai, diambilnya topi Dito di kamarnya yang tak terkunci.
Kebetulan kakaknya sedang kuliah, jadi Dio dengan leluasa
menyarangkan topi berwarna merah terang itu di kepalanya. Eh...
jaket Dito kayaknya juga keren. Sekalian aja deh!

Dio berjalan menuju pintu depan. Ups, kantong koq kayaknya kurang
tebel nih /Man/! "Ga' cukup kayaknya kalau harus latihan basket bawa
uang cuma segini," batin cowok kelas 1 SMU itu. Langkahnya terayun
ke kamar Dita, kakak sulungnya. "Mbak, aku pinjam uang dunk," rengek
Dio pada Dita yang sedang mengerjakan tugas akhirnya itu. "Lha, yang
kemarin aja belum dipulangin. Lagi juga kamu 'kan dikasih uang saku
buat sebulan sama Ibu. Emang dikemanain?"cecar Dita. "Kurang Mbak,
pinjam dunk. Aku janji deh, nanti kalau ibu kasih aku uang lagi, aku
ganti uangmu Mbak." Dita tak kalah sengit, "Bulan lalu aja utangmu
belum lunas! Lho??"

Ya, begitulah hari-hari Dio. Selalu tampil "lebih keren" dengan
barang-barang pinjaman. Selalu lebih nge-bossy dengan uang saku
sebulan ditambah pinjam sana-sini. Keren sih, tapi yang tahu modal
asli Dio pasti akan mencibir.

...Kita membohongi diri kita sendiri bahwa sebenarnya kita bisa
tampil keren bahkan lebih keren dengan apa yang kita miliki...

Punya teman seperti Dio? Atau, malah kita sendiri yang terjangkiti
penyakit hobi pinjam? /Be carefull/, ah Sob. Yang satu ini, bisa
bikin kita nggak percaya diri, cenderung berbohong, atau malah bisa
bikin kita menginginkan barang milik orang lain.

Pinjam-meminjam memang kadang bisa jadi solusi instan untuk memenuhi
kebutuhan atau sekadar membuat diri kita merasa lebih ok dihadapan
orang lain. Untuk memperoleh barang yang kita inginkan tak perlu
pengeluaran ekstra. Bermodal kepercayaan, kita bisa tampil lebih
gaya dengan barang yang kita pinjam. Tapi, inilah awal yang paling
beresiko bagi diri kita dalam membangun kepercayaan diri. Kita tak
cukup percaya diri dengan apa yang kita miliki. Kita tak merasa
dengan apa yang kita miliki, kita bisa jadi yang paling keren
"luar-dalam".

*Belajar dari shahabat Umar RA *

Padahal Sobat, yang namanya pinjam adalah ajang pertaruhan
kepercayaan yang harganya sama spekulatifnya dengan kapan ajal
menjemput. Yuk, kita simak sejenak kisah Umar bin Khaththab yang
pernah ingin pinjam uang ke Baitul Mal. Umar RA ketika itu getir
hatinya melihat anaknya pulang sekolah sambil menangis. Anaknya
tersebut diejek teman-temannya, "Lihatlah, anak Amirul Mukminin
(presiden) bajunya tambalan seperti itu!"

Melihat anaknya diejek sedemikian, Umar pun merasa iba. Dia lantas
mengajukan pinjaman ke Bendahara Negara sebesar empat dirham dengan
jaminan gajinya sebagai presiden bulan depan. Namun, jawaban yang
diberikan Sang Bendahara Negara sungguh tak terduga, "Wahai Umar,
adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau masih hidup hingga bulan
depan? Bagaimana jika engkau mati sebelum melunasi hutangmu itu? Apa
yang akan engkau perbuat terhadap hutangmu di hadapan Allah?"

Umar RA pun menangis ditegur sedemikian rupa oleh bawahannya
tersebut. Dia lantas menyuruh anaknya berangkat sekolah seperti
biasa. Demikianlah Umar bin Khaththab, presiden kaum Muslimin kedua
setelah Rasulullah SAW mangkat. Sedemikian takut belum dapat
melunasi hutangnya, bila ajal keburu menjemput. Padahal, beliau
adalah presiden yang "dapat berbuat apapun." Namun, Umar lebih takut
pada Rabbnya, dibandingkan harus menyerah pada keinginannya.

Demikian pula dengan kepercayaan yang membebani kita manakala
memimjam. Kita tidak tahu apakah barang yang kita pinjam tersebut
akan aman selama berada di tangan kita. Apakah kita dapat
mengembalikannya dalam keadaan seperti semula, ataukah akan ada
sesuatu yang membuat barang yang kita pinjam tersebut rusak atau
uang yang kita pinjam tersebut tidak dapat kembali tepat waktu?
Lalu, masih adakah umur bagi kita untuk mengembalikannya? Bukankah
kalau kita tidak mengembalikan sesuai dengan keadaan semula atau
tidak tepat waktu, itu sama saja dengan merusak kepercayaan?

...Kita juga akan cenderung menjadi orang yang membohongi diri
dengan menjadikan meminjam sebagai kebiasaan...

Kita juga akan cenderung menjadi orang yang membohongi diri dengan
menjadikan meminjam sebagai kebiasaan. Kita akan membohongi potensi
kita yang sebenarnya. Kita membohongi diri kita sendiri bahwa
sebenarnya kita bisa tampil sama keren bahkan lebih keren dengan apa
yang kita miliki. Dengan demikian, kita tidak akan pernah menemukan
"siapa kita sebenarnya."

Bila sudah dalam keadaan akut, kebiasaan pinjam bahkan akan
mendorong kita untuk memiliki apa yang kita pinjam tersebut. Maka
jadilah barang pinjaman tersebut berubah status menjadi hak milik.
Wah repot deh kalau udah sampe kayak gini.

So, sobat... yuk inget-inget banget firman Allah SWT berikut ini:
"/Dan (ingatlah) ketika Robb-mu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika
kamu mengingkari maka pasti azab-Ku sangat berat/" (Qs Ibrahim 7) 

Yuk bersyukur dengan apa yang kita punya. Pinjam? Boleh aja kalau
itu memang harus dilakukan untuk hal yang sangat penting. Kalau cuma
sekadar menunjang penampilan... kamu udah keren apa adanya koq!


Kirim email ke