----- Original Message -----
From: Dedy Iskandar
To: daarut-tauh...@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, July 17, 2012 9:30 AM
Subject: [daarut-tauhiid] Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa,
Syi'ar Kebersamaan Umat Islam
Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi'ar Kebersamaan Umat Islam
Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip
agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah
sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk
dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di
antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan
awal Ramadhan atau Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya
diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan
sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak
ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan
kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan
juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama
mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga
dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari,
serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah
lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan
seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen
umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang
berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu
terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula
atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar.
Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali)
diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri.
Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan
persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata:
“Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah
awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal
(melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”.
Bisa juga anda mengatakan:
“Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu
mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai
mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas
adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin
tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat
Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat
Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya:
“Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum
Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf
(kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini
termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika
penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul
hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang
istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal
pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar
tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat.
Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan
di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam
hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku
berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti
telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah
menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata:
“Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para
penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya
adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam
perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya,
“Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka
jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
FATWA PARA ULAMA SEPUTAR SHAUM RAMADHAN BERSAMA PENGUASA
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat
Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata:
“Tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada
saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian
berkurban.”
Al-Imam At-Tirmidzi berkata:
“Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini[1] dengan ucapan (mereka):
‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan
mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata:
“Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini
(menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul
Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi
mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap
individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka
dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa
menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian
tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam
permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani[2] berkata:
“Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu
mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan
bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai
dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum
bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan.
Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat
muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak
beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau juga berkata:
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara
misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta
menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.
Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan
benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan
shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat
radhiallahu 'anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal
sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh
kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara
yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat
secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang
mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka
untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda
pendapat
dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.
Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan
agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka
mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen
berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari
kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan
pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307),
bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu 'anhu shalat di Mina 4
rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu 'anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di
Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu
Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu
‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian
(sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan
harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat
darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat.
Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas
shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar radhiallahu 'anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan
renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan
shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid,
khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian
pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului
mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu
falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin.
Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini.
Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada
pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan
bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu
wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2,
hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya:
“Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri
Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan,
bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia
ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada
pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang
harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri
yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas engkau dengan
kebaikan.”
Beliau menjawab:
“Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya
masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka
adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari
kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya:
“Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai
macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan,
serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap
tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab
utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang
fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam
dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah
sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya)
sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq dan
penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata:
“Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu,
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih
setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.”
(Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak
berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka
satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan
umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus
lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam
lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`:
“…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal
(bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil
ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri
tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti
adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena
(dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan
jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan
majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri
tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam
menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit
taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi
wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin
Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal.
117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar
kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya.
Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang
mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa
dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil.
Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat
kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan,
termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada
polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’ haruslah
senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam kalam-Nya nan suci:
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh
dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada
keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan
kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara
keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an
dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut
ini:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri
di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata:
“Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat.
Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli
tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau seringkali
mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam
hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap
penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap
penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian
kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi
‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada
di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun
berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku
mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya
engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah
(dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu
dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi
mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka
masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat
mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah
perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR.
Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah,
pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan
bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana
berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau
yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau
penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat
namun Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas
keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya
Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam,
karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata:
“Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka
berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan
mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini.
Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari
dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 368)
Al-Imam Al-Barbahari berkata:
“Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban
(menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan melalui
lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan
kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang
sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan
jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua
jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la,
2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata:
“Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari
kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi
pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan
Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan
qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.”
(Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
Al-Imam Al-Bukhari berkata:
“Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan
Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau
berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang
perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya
kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad
Al-Lalika`i, 1/194-197)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata:
“Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para
penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya
adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam
perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
PARA PEMBACA YANG MULIA, DARI BAHASAN DI ATAS DAPATLAH DIAMBIL SUATU
KESIMPULAN BAHWASANYA:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus
dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di
masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum
Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di
tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan
individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah
satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si
penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat
tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih
manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik
negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya
bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana
persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan
dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok.
Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan
berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
catatan kaki:
[1] Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada
saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian
berkurban.”
[2] Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya
pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu
mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal.
398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini)
untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya,
sebagaimana perkataan beliau di atas.
Sumber: http://asysyariah.com/
[Non-text portions of this message have been removed]
__._,_.___
Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a New Topic
Messages in this topic (1)
Recent Activity: New Members 3
Visit Your Group
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use.
__,_._,___
------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -
Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama,
seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)