Setelah memeluk Islam, berbagai
kemudahan dan juga ujian datang silih berganti.
Penikmat
televisi di Tanah Air tentunya mengenal sosok perempuan
satu ini..
Alessandra Shinta Malakiano nama lengkap perempuan
tersebut. Namun,
publik lebih mengenalnya dengan nama Sandrina Malakiano.
Nama yang
kerap dipakainya pada saat tampil di layar kaca salah satu
stasiun
televisi di Indonesia untuk menyampaikan berita dan
peristiwa seputar
isu politik dan ekonomi nasional maupun mancanegara.
Lahir di
Bangkok, Thailand, pada 24 November 1971, Sandrina
dibesarkan di tengah
keluarga dengan dua kultur yang berbeda. Ayahnya yang
berasal dari
Armenia, Italia, merupakan pemeluk Katolik Gregorian.
Sementara ibunya
yang berdarah Solo-Madura beragama Islam, yang kuat
memegang budaya
kejawen.
''Saya ini sangat beruntung karena dibesarkan dalam
keluarga yang sangat berwarna. Karenanya, saya sering
menyebut
kehidupan dalam keluarga saya itu sebagai united
colours of religion,'' ujarnya kepada Republika,
pekan lalu di Jakarta.
Kombinasi
dua budaya yang berbeda dari kedua orang tuanya itu,
melahirkan
kebebasan memeluk agama apa pun bagi anak-anaknya,
termasuk Sandrina.
Ayah dan ibunya, kata dia, adalah orang tua yang moderat.
Mereka
menanamkan kepercayaan kepada Tuhan, tetapi membebaskan
anak-anaknya
untuk menemukan jalan kebenarannya masing-masing.''Menurut
orang tua,
yang namanya urusan agama itu sangat pribadi. Jadi, setiap
orang pasti
akan menemukan jalannya sendiri.''
Kendati sang ayah pemeluk
Katolik Gregorian dan sang ibu seorang Muslimah, namun
Sandrina serta
kakak laki-lakinya justru mendapatkan pendidikan agama
Kristen
Protestan.
Pendidikan agama Kristen Protestan ini ia peroleh di
sekolah. Kondisi tersebut, terangnya, dikarenakan pemeluk
Katolik
Gregorian di Indonesia sangat langka, sehingga gereja
Gregorian hanya
ada satu yaitu di Jakarta. Sementara, sejak dari bayi, ia
tumbuh dan
besar di Bali.
Kebebasan yang diberikan orang tuanya, diakui
Sandrina, membuat dirinya bingung dan bimbang. Terlebih
lagi ketika
duduk di bangku SMP yang mulai ada proses pendewasaan diri
dalam
keseharian istri dari Eep Saefulloh Fatah ini..''Saya
mulai
bertanya-tanya, sebetulnya saya ini mengakar ke mana,
kenapa Kristen
Protestan. Sementara saya merasa bahwa tempat saya bukan
di sana,''
paparnya.
Sandrina merasa bahwa alam, kultur, dan kehidupan
keagamaan yang ada di sekitarnya, sangat sesuai dengan
hati nuraninya.
Karenanya, sejak saat itu, ia memutuskan untuk mencari
tahu dan
mempelajari agama yang banyak dianut oleh masyarakat Bali,
Hindu.
Ketika
duduk di bangku SMA, Sandrina mulai menemukan kecocokan
dengan agama
Hindu, baik secara emosional maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
Sekitar tahun 1990, saat baru duduk di perguruan tinggi,
ia memutuskan
untuk meninggalkan ajaran Kristen Protestan dan memeluk
Hindu sebagai
keyakinan barunya.
Ia menjalani agama barunya ini dengan sepenuh
hati. Sandrina mempelajari Hindu dan kemudian
mempraktikannya dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara ritual, aturan, maupun
kepercayaan.
Bahkan, termasuk membuat album religi Hindu bersama
beberapa orang
temannya. Album religi Hindu bersifat sosial ini dibuat
sekitar 1997.
''Saya
menjalaninya dengan penuh totalitas. Karena, saya tidak
percaya pada
apa pun yang sifatnya setengah-setengah,'' tegas ibu dari
Keysha Alea
Malakiano Safinka (7 tahun) dan Kaskaya Alessa Malakiano
Fatah (14
bulan). Namun, lagi-lagi kegelisahan yang sama muncul
dalam dirinya. Ia
kembali merasa bingung dan bimbang pada keyakinan Hindu
yang
dipeluknya. Kebingungan serta rasa bimbang tersebut kerap
muncul
manakala melihat sanak saudara dari keluarga ibunya
melakukan shalat di
rumahnya, saat mereka berkunjung ke Bali.
Bahkan, terkadang ia
turut serta shalat bersama mereka. Shalatnya hanya
dilakukan sebatas
ikut-ikutan. Namun, justru hal itu yang memberikan
perasaan tenang
dalam dirinya seusai mendirikan shalat.
Dari situ, paparnya,
timbul keinginan untuk mengetahui Islam lebih lanjut.
''Mungkin
kesalahan saya pada waktu itu adalah bertanya kepada orang
yang tidak
tepat. Misalnya, saya ingin tahu mengenai Islam, tapi
informasi yang
saya dapatkan mengenai Islam itu kurang baik. Kecendrungan
mereka
mengatakan Islam itu menyulitkan, tidak fleksibel, tidak
universal, dan
merendahkan kaum perempuan,'' ujarnya.
Hijrah ke Jakarta
Pada
1998, ketika ia memutuskan hijrah ke Jakarta, Sandrina
dihadapkan pada
sebuah lingkungan yang berbeda dengan kehidupannya semasa
di Pulau
Dewata.Sewaktu di Bali, ia tinggal di sebuah lingkungan
yang didominasi
oleh pemeluk Hindu. Dan ketika di Jakarta, ia justru
tinggal di
lingkungan yang mayoritas pemeluk Islam.
Di Ibu Kota Indonesia
inilah, Sandrina mendapat kesempatan yang lebih luas dalam
melihat
Islam secara lebih dekat. Ia pun banyak bertanya tentang
agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini kepada orang-orang
Islam, termasuk
pada ulama. Karena itu, kegiatan kesehariannya lebih
banyak mempelajari
Islam.
Ia juga sempat bertanya pada Ibu Nur, seorang guru
mengaji anak pemilik tempat kosnya, tentang Islam. ''Sulit
dijelaskan
dengan kata-kata. Semakin hari ketertarikan saya pada
Islam pun tumbuh.
Keinginan untuk lebih banyak tahu mengenai Islam semakin
menjadi, dan
kerinduan untuk memeluk Islam pun semakin menggebu,''
paparnya.
Dan
ketika ia mengungkapkan hal itu pada keluarga terdekatnya
serta saudara
dan teman-temannya, jelas Sandrina, mereka semua sangat
mendukung.
Dukungan inipun makin melecut semangat wanita berdarah
Italia-Jawa-Madura ini untuk memperdalam Islam dan shalat.
Setelah
merasa mantap dengan ajaran Islam yang dipelajari selama
lebih kurang
dua tahun pengembaraannya, maka pada 2000, ia pun
membulatkan tekad
untuk memeluk agama Islam. Ia bersyahadat di Masjid
Al-Azhar, Jakarta.
Rahmat
dan hidayah Allah pun senantiasa mengalir padanya. Tak
lama setelah
memeluk Islam, ia merasa Allah SWT memberikan berbagai
kemudahan dalam
hidupnya. Salah satunya, ia diterima bekerja di Metro TV.
Dari
penghasilan yang didapatnya, akhirnya ia mampu tinggal dan
kos di
tempat yang lebih luas, dibandingkan dengan tempat kosnya
terdahulu. Ia
juga akhirnya bisa mencicil mobil untuk menunjang
aktivitasnya.''Jadi,
ke mana-mana tidak lagi naik bajaj, termasuk untuk pergi
siaran di
televisi. Dari hasil kerja di Metro TV, saya juga masih
bisa membantu
keuangan ibu di Bali,'' terangnya.
Ujian Bertubi-tubi
Allah
SWT tidak akan membiarkan hamba-hambanya yang telah diberi
hidayah atau
kemuliaan itu dengan begitu saja. Dia akan menguji
hambanya itu dengan
berbagai macam cobaan.. Dan cobaan atau ujian itu adalah
ukuran bagi
kesempurnaan iman seseorang.
''Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman',
sedangkan
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah
menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang
dusta.'' (QS Al-Ankabut [29] : 2-3).
Kondisi ini sangat tepat
disematkan pada Sandrina Malakiano. Setelah berbagai
kemudahan ia
dapatkan, Allah SWT mengujinya dengan berbagai persoalan
yang datang
silih berganti dalam kehidupannya. Salah satunya, ia gagal
mempertahankan rumah tangga yang telah dibinanya selama
kurang lebih
empat tahun.
Namun di balik peristiwa ini, Allah justru
memberinya sebuah hadiah terindah. Salah seorang
kenalannya yang sudah
ia anggap seperti ayah sendiri, memberangkatkan dia untuk
umrah--sebuah
keinginan yang sudah lama ia idam-idamkan. ''Saya
berangkat umrah tanpa
mengeluarkan uang sepeser pun. Saya betul-betul berangkat
dalam kondisi
yang zero mind, itu terjadi tahun 2005,'' ujar
Sandrina. Umrah kali pertama ini juga merupakan pertama
kalinya ia pergi ke luar negeri.
Sepulang
umrah pada 2005, ia mendapat kejutan-kejutan lain dari
Allah. Allah
memberinya seorang pendamping yang lebih saleh dan bisa
menjadi imam
serta pembimbing yang baik bagi dirinya dan keluarga.
Selain itu,
setahun berselang, berkat kemurahan seorang pemilik travel
haji, ia
kembali pergi ke luar negeri dengan tujuan menunaikan
ibadah haji.
Namun,
ujian belum berhenti. Sepulang dari menunaikan ibadah
haji, ia
berkomitmen untuk sepenuhnya menjalankan ajaran Islam. Ia
memutuskan
mengenakan busana Muslimah dan berjilbab. Namun,
keputusannya ini
dianggap banyak orang hanya untuk memenuhi keinginan
suami. Ia tak
ambil pusing dengan anggapan orang. Tekadnya sudah bulat
untuk
berbusana Muslimah. Dan sang suami pun terkejut ketika
diberi tahu
mengenai keputusannya ini.
''Suami khawatir bagaimana dengan
pekerjaan saya sebagai penyiar berita di Metro TV nantinya
setelah saya
berjilbab. Dia memang sudah membayangkan pasti akan ada
kesulitan di
sana,'' tuturnya. Apa yang dikhawatirkan suaminya menjadi
kenyataan.
Manajemen tempatnya bekerja, tidak memperbolehkan dia
melaksanakan
siaran dengan menggunakan jilbab. Setelah menjalani proses
diskusi dan
berpikir selama tiga bulan lamanya, ia pun mantap
memutuskan untuk
mengundurkan diri dari dunia yang telah membesarkannya
selama 15 tahun
lebih. Pada Mei 2006, keputusan yang sulit pun akhirnya ia
ambil.
Sandrina resmi mundur dari Metro TV.
Keputusan ini berdampak
pada kehidupan sehari-harinya. Ia benar-benar belum siap
melepaskan
diri dari televisi. Perasaan sedih, sering menderanya. Ia
berusaha
menghindari televisi. Selama lebih kurang setahun, baru ia
bisa kembali
menemukan kepercayaan diri sehingga bisa menonton TV.
''Setiap kali
nonton televisi rasanya ngenes . Tetapi,
alhamdulillah ada suami dan keluarga yang menguatkan saya
waktu itu.''
Semua
cobaan tersebut, ia maknai sebagai bentuk permintaan dan
kasih sayang
dari Sang Pencipta agar ia memperluas lahan kesabaran dan
keikhlasannya. Termasuk ketika ibunya jatuh sakit pada
2007 dan harus
menjalani perawatan di rumah sakit selama 47 hari hingga
ajal
menjemput. Dan selama 47 hari tersebut, ia terus berada di
sisi sang
ibu dan mendampinginya melawan penyakit yang menyerang
pankreasnya.
''Seandainya saya masih bekerja, mungkin saya tak akan
bisa mendampingi
ibu yang telah melahirkan saya itu selama lebih dari 47
hari di rumah
sakit,'' terangnya.
Cobaan berikutnya datang lagi manakala sang
ibu wafat dan ia dihadapkan pada masalah tagihan rumah
sakit sebesar Rp
680 juta yang harus segera dilunasi. Saat meninggalkan
rumah sakit, ia
baru membayar sepertiganya.ia sempat meragukan keputusan
yang telah
diberikan Allah dalam hidupnya..
Beruntung ia segera
disadarkan. Saat itu yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan
berserah
diri kepada Allah. Hingga akhirnya, Allah memberikan
pertolongan
kepadanya melalui tangan-tangan yang tidak pernah ia
sangka sebelumnya.
Dalam waktu dua hari setelah pemakaman sang ibu, beberapa
orang
kenalannya dan ibunya mentransfer sejumlah uang dalam
nominal yang
cukup besar. Jika ditotal keseluruhan uang tersebut cukup
untuk
melunasi semua tagihan rumah sakit. ''Ini semua karena
kasih sayang
Allah. Saya menjadi makin lebih sabar dan ikhlas dalam
menerima
berbagai macam ujian,'' paparnya. dia/taq
Biodata:
Nama Lengkap : Alessandra Shinta Malakiano
Nama Populer : Sandrina Malakiano
Lahir : Bangkok, 24 November 1971
Suami : Eep Saefulloh Fatah
Anak : Keysha Alea Malakiano Safinka (7 tahun) dan Kaskaya
Alessa Malakiano Fatah (14 bulan).
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/10/29/85658-sandrina-malakiano-dengan-islam-jadi-lebih-sabar-dan-ikhlas