From: Arnold Ph. Djiwatampu [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Rekan-rekan se-Bangsa dan se-Tanah Air yang baik, Di bawah ini suatu cerita nyata yang sungguh sangat menyejukkan sekaligus mengharukan bagi Bangsa dan Negara kita yang mendambakan persatuan dan kesatuan, khususnya pada saat emosi balas dendam dan kepentingan kelompok dan golongan lebih diminati dengan akibat mencabik-cabik Bangsa ini, maka muncullah seorang Michale Sutrean di Ambon. APhD Machale Suatrean "Juru Selamat" dari Akar Rumput Reporter : Azis Tunny TAHUN 1999, saat Ambon masih membara. Mahasiswa Katolik asal Kei, Maluku Tenggara, Wati, 22 tahun, saat itu turun dari kapal Pelni di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Dia bersama kakak kandungnya, Asri, 26 tahun. Di atas pelabuhan, Wati menunggui barang bawaan, sedangkan Asri mencari mobil sewaaan. Ketika Asri pergi, Wati bingung bercampur takut. Sepuluh pria berikat kepala putih bersenjata parang mengerumuninya."Ose (kamu) cewek Obet (Kristen), kan?" kata salah seorang di antara mereka, sambil tersenyum sinis. Wati gementar ketika lengannya dipegang erat seorang pria, dengan kuat. Saat itu, berteriak pun rasanya dia tak sanggup. Asri, yang datang dengan membawa mobil sewaan, tak bisa merapat. Dia hanya bisa menyaksikan adiknya dari jarak 20 meter untuk kemudian terhalang kerumunan orang. Keduanya pun terpisah antara hidup dan mati. Sambil mengingat kisah-kisah perempuan yang dibantai dalam konflik Ambon, Wati gementar di tengah pria-pria bersenjata itu. Pada saat itulah muncul pria yang menangkap lengan Wati dan membawanya pergi. Wati dinaikkan ke sebuah mobil, lalu dilarikan ke Markas Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease di Kawasan Perigi Lima. Di sana Wati bertemu Asri. Keduanya pun berangkulan di Mapolres sambil menangis, dengan tersedu-sedu. Wati tidak sempat berterima kasih kepada pemuda yang menyelamatkan nyawanya. Sang pemuda pun tak meminta imbalan. Dia hanya mengucapkan satu kalimat, "Abang Chale menyuruh beta jaga kalian." Pemuda itu pun pergi. Wati dan Asri kenal betul nama itu. Abang Chale adalah sapaan akrab Machale Suatrean, pria Muslim yang menjadi koordinator Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan Ambon. Keduanya pun bersyukur pada Tuhan sambil mengucapkan terima kasih kepada Machale. Wati adalah satu dari sekian banyak orang yang diselamatkan anak buah Machale. Banyak orang Kristen yang turun di Pelabuhan Ambon dalam suasana konflik, punya pengalaman dilindungi Machale dan anak buahnya. Padahal, saat itu pasukan Laskar Jihad menguasai Pelabuhan Ambon. Machale memang pasang badan untuk banyak orang. Pernah dia harus menyelamatkan 68 warga Kristen di Pelabuhan Ambon. Waktu itu, Juni 2000. Ada sekitar 68 jiwa yang datang dengan KM Rinjani dari Sorong, Fak-Fak dan Tual. Di atas pelabuhan, mereka tak bisa lagi keluar karena pasukan Laskar Jihad ada di mana-mana. Bahkan beberapa pria sudah cakalele, menari dengan pedang di tangan sambil memekik seruan perang. Machale dan anak buahnya di Pelabuhan Ambon sempat keder melihat banyaknya laskar yang mengepung. Tak ada jalan lain. Aparat keamanan pun belum datang dan tak bisa dikoordinasikan. Machale akhirnya memutuskan menghadang secara fisik. "Daripada kalian bantai keluargaku, mari kita adu siapa yang jago. Jika kalian kalahkan saya silakan bantai mereka. Tapi kalau kalian tidak mampu, biarlah saya pulangkan saudara-saudara saya," tantang Machale. Tantangan ini ternyata sanggup meredam semangat orang-orang yang mengepung di pelabuhan. Dia kemudian meminta orang-orang itu, kalau mau lakukan pembantaian, silahkan di luar pelabuhan. "Tunggu saja di luar. Jangan di sini sebab kita bertanggungjawab di pelabuhan," katanya. Ketika orang Laskar Jihad pergi dari pelabuhan dan menunggu di luar, Machale menyuruh 68 warga Kristen naik truk. Sedangkan aparat keamanan diminta membuat pagar betis seakan truk hendak keluar pelabuhan. Padahal, truk yang ditumpangi warga Kristen malah menuju ujung timur pelabuhan. Di sana, dalam koordinasi sangat cepat, datanglah Kapten Abas dengan Kapal Polairud. Kapal itulah yang membawa warga Kristen meninggalkan Pelabuhan Yos Sudarso menuju Pelabuhan Gudang Arang. Mereka pun pergi dengan selamat. Laskar sangat marah ketika melihat truk keluar pelabuhan tanpa ada penumpang orang Kristen. Mereka kesal dan mengalihkan kemarahannya kepada Machale. Tapi Machale tak gentar. Sebab, bersama dia, terdapat juga pemuda-pemuda Muslim lainnnya yang mau bekerja sama melindungi orang-orang Kristen yang terjebak di Pelabuhan. "Mustahil saya dapat mengamankan pelabuhan sendiri tanpa didukung keluarga dan sahabat-sahabat saya," kata Machale, mengisahkan sebagian pengalamannya, kepada MMC, pekan lalu. Sukses menyelamatkan nyawa banyak orang menjadi inspirasi bagi Machale untuk terus melakukan penyelamatan serupa. Sejak itulah, kalau ada yang mau berangkat atau tiba di Ambon, dia selalu dihubungi orang yang minta perlindungan. Machale bangga dengan apa yang dilakukannya. Pernah suatukali dia mengawal Uskup Amboina Mgr P. C. Mandagi MSC yang baru selesai mengikuti Musyawarah Pastoral Keuskupan dan pentahbisan pastor-pastor baru di Tual, Desember 2000. Saya dengan keponakan bernama Abu Suad. Dia naik ke kapal dan mengawal uskup dari Kapal Rinjani untuk turun. Di dermaga, saya jemput dengan mobil dan langsung diantar ke keuskupan. Saya bangga mengantar pembesar gereja Katolik," ujarnya. Aktivitasnya itu, awalnya mendapat banyak tantangan sampai akhirnya diterima lingkungannya. Orang Biasa "Beta bukan pejabat. Beta cuma orang biasa, pekerja kasar, buruh pelabuhan, tak pantas dipublikasi di koran," katanya. Machale memang orang biasa. Anak bungsu dari empat bersaudara ini lahir di Elat, 24 April 1964. Ayahnya, (alm.) Abdul Suat, seorang petani tradisional di desa kelahirannya. Ibunya, Nyaisusu Rumra. Machale menghabiskan masa sekolahnya dari SD hingga SMA di Larat, Kecamatan Tanimbar Utara, Maluku Tenggara Barat. Dari sanalah barulah pindah ke Ambon untuk kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pattimura, tahun 1986. Namun karena beban hidup yang cukup berat, Machale memutuskan kuliah sambil kerja. Sejak 1989 dia sudah berada di Pelabuhan Ambon bergabung dengan para kuli pelabuhan. Sebagai satu-satunya mahasiswa yang menjadi pekerja kasar, bakat kepemimpinan nya mulai kentara. Lebih-lebih ketika tenaga kerja di pelabuhan terhimpun dalam Yayasan Usaha Karya (Yuka) lantas menjadi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Di sana Machale membantu memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Dia berani menemui pejabat di pelabuhan untuk meminta pemenuhan hak-hak kaum buruh serta pengaturan ketertiban dan keamanan di pelabuhan. Suka-duka bekerja dengan tenaga bongkar-muat di Pelabuhan Ambon membuat dia terinspirasi menuliskannya dalam tugas penulisan akhir di perguruan tinggi. Setelah meneliti populasi 362 TKBM dan 154 tenaga delivery cargo, Machale pun menuangkannya dalam skripsi dengan judul Peranan Pendidikan terhadap Etos Kerja di Pelabuhan Ambon. Inilah yang mengantarnya menjadi sarjana pendidikan tahun 1994. Setelah jadi sarjana pendidikan, Machale tidak lantas menjadi guru. Dia tetap berada di pelabuhan, mengkoordinir pekerjaan bongkar-muat. Bahkan dia mengaku tak punya keinginan menjadi guru. "Saya dulu ingin jadi polisi militer. Soalnya waktu kecil saya lihat polisi militer melangkah gagah. Sayangnya, badan saya tidak sehat untuk masuk POM," tutur suami Jainab Kelmala ini. Machale pernah dikenal sebagai tokoh reformasi di Ambon. Meskipun menjadi koordinator kaum buruh, dia pun membangun komunikasi dengan sejumlah elemen mahasiswa Maluku Tenggara. Hasilnya, terbentuk Kelompok 16 yang diprakarsainya. Kelompok ini mempunyai ratusan massa mahasiswa yang mendorong pemberantasan KKN di Maluku dan Kabupaten Maluku Tenggara. Ketokohannya di kalangan akar rumput, membuat Machale didekati orang PDI Perjuangan. Dia sempat bergabung dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. Sebab itulah, tahun 1999 diapun sempat ke Jakarta mengikuti Perayaan HUT PDI Perjuangan di Lenteng Agung, 10 Januari 1999. Ketua RT Ketika pecah konflik Ambon 19 Januari 1999, Machale berada dalam perjalanan dari Surabaya ke Makasar. Tiba di Makassar, 20 Januari, dia mendengar kabar meletusnya konflik itu. Maka ketika tiba di Ambon, hati Machale hancur melihat Ambon porak-poranda. "Di pelabuhan, orang jalan dengan tombak dan parang. Saya tidak pernah membayangkan kondisi itu bahkan saya empat hari tertahan di pelabuhan," kenangnya. Machale berkisah, Ketika kembali ke Ambon yang dilanda rusuh, dia justru bersama seorang perempuan Kristen bernama Lien. Perempuan itu takut keluar dari kawasan pelabuhan. Machale pun menawarkan tumpangan sekaligus perlindungan di Kantor Koperasi TKBM. Selama empat malam, Lien menginap disana. Hari kelima, Machale berhasil menghubungi suami Lien melalui telepon. Suaminya lantas menjemput di Hotel Today. Machale sendiri kemudian menumpang speed boat ke Poka sebab rumahnya di sana. Waktu itu, warga Islam-Kristen di Poka belum sampai terpengaruh konflik di jantung kota. Kendati demikian, banyak isu mulai merebak tentang adanya penyerangan. Sebagai Ketua RT 06/RW 01 di Poka, Machale dan masyarakat setempat membuat spanduk untuk mencekal isu-isu. "Tidak boleh ada konflik Islam-Kristen di Poka, jadi kita buat spanduk yang menyatakan Poka sebagai zona damai," terangnya. Meskipun spanduk sudah terpasang, tidak sedikit tantangan yang didapat. Ada warga yang emosi, datang mencopot spanduk dan merobeknya. "Mau bikin perdamaian apa, tidak tahukah bahwa sudah banyak yang mati," kata orang-orang yang tidak senang. Machale tak menyerah. Dia pun mengontak beberapa temannya yang anggota TNI. Salah satunya adalah intel Korem Pattimura, Yohanis Sakralesy. Rapat-rapat pun digelar dan berhasil membentuk tim khusus untuk mencekal kerusuhan di Poka. Waktu itu tokoh-tokoh di Poka seperti Ketua DPC PDI Perjuangan Jhon Mailoa juga hadir karena mereka penduduk Poka. Tim ini lantas membuat pernyataan sikap yang intinya, penduduk setempat sepakat menghindari konflik. Sayangnya, eskalasi konflik yang tak terkendali menyulut pecahnya konflik di Perumnas Poka, 25 Juli 1999. Posisi Machale di Poka mulai tidak aman. Dia merasa terancam karena tiba-tiba dia mendengar isu bahwa konflik di Perumnas Poka itu adalah orang-orang Banda Elat, yakni keluarga Machale sendiri. Machale merasa tidak tenang. Dia lantas mengontak kakaknya di Batumerah. Sang kakak kemudian meminta bantuan aparat keamanan untuk menjemputnya. Machale lantas dibawa ke Blok F Ruko Batumerah. Pada 27 Juli 1999, pecah kerusuhan di daerah sekitar Hotel Amans. Saat kerusuhan itu Machale berada di depan massa Muslim. Dia bukannya membakar massa untuk melawan, melainkan memberi aba-aba mundur. Akibatnya, ada massa yang tidak senang melihat sikapnya. Di Ruko Batumerah, Machale berkenalan dengan Direktur Bank Maluku, Wandowo. Dialah yang mendorong dirinya supaya tampil sebagai juru damai di tengah massa yang sedang terbakar emosinya. Wandowo meyakinkan Machale bahwa usaha-usaha damai harus dilakukan kendati sulit. Wandowo lantas menyuruh seorang anak buahnya mencari rumah untuk Machale. Sengaja dipilih rumah di kawasan perbatasan, yakni di sekitar Gereja Silo. Di kawasan ini, massa Kristen dan Muslim sering bentrok. Menurut Wandowo, orang seperti Machale harus ada di tengah situasi tersebut. Machale tidak menolak. Machale lantas mengontak saudara-saudaranya yang beragama Kristen di Batugantung. Dia beberkan beberapa langkah yang akan dilakukan di kawasan perbatasan Gereja Silo. Saudara-saudaranya pun mendukung. Sebab itu, tak lama kemudian Machale dan kelompoknya menaikkan spanduk bertulisan Pusat Kawasan Baku Dapa Basudara. Spanduk ini dipasang di Tugu Trikora. Lagi-lagi Machale mendapat sejumlah tantangan. Ada suara-suara sinis menyebut dirinya membuat langkah yang tidak tepat di tengah situasi yang sedang membara. Sebab itu, Machale kemudian membalik spanduk sehingga tulisannya hanya bisa dibaca warga di kawasan komunitas Kristen. Bukan hanya spanduk yang dibentangkan. Machale juga sering berdiri di kawasan Tugu Trikora hanya untuk meyakinkan orang-orang bahwa orang Muslim pun bisa berdiri berada di situ dengan aman. Lama kelamaan, di kawasan ini memang sering terjadi pertemuan-pertemuan warga Muslim dan Kristen kendati hanya untuk kangen-kangenan. Setelah kawasan Tugu Trikora menjadi terbuka, Machale mulai berpikir memperluas ruang-ruang damai. Salah satunya di kawasan Markas Batalyon 733 di Benteng Victoria Mardika. Di sana memang sudah kerap terjadi banyak transaksi antara para pedagang Islam-Kristen, sopir Islam-Kristen hingga PNS Islam-Kristen. Setelah kawasan Victoria diperkuat, Machale dkk mulai pindah ke Hotel Amans. Di sinilah salah satu titik perbatasan kawasan Islam-Kristen di tepi Pantai Teluk Ambon. Langkah ini terus membuahkan hasil menggembirakan sehingga usaha yang sama dilakukan di sebuah kawasan bernama Lampu Lima, yakni di ujung Jembatan Hatiwe Kecil. Kawasan Lampu Lima ini pun sangat strategis karena setelah ditinggali penduduk yang heterogen, daerah kosong ini menjadi semacam wilayah abu-abu. Para sopir Islam dan Kristen paling sering memanfaatkan kawasan ini sebagai titik pertemuan sekaligus transaksi barang dagangan. Bahkan, di sinilah sistem estafet sering terjadi dengan damai. Seorang sopir Kristen dari arah luar kota biasanya turun di sini, lalu posisinya diganti sopir Muslim. Juga sebaliknya sopir Muslim dari arah kota berhenti di sini, lalu perjalanan mobilnya dilanjutkan sopir Kristen. "Motivasi saya melakukan semua ini, hanya karena kemanusiaan saja. Saya melihat orang-orang kesulitan makanan," ujarnya. Machale makin bersemangat ketika suatu pagi dia berdiri di kawasan Tugu Trikora. Wali Kota Ambon Drs. M. J. Papilaja MS., yang melintas di situ, tiba-tiba berhenti lalu menyapa Machale. Sang walikota menyatakan dukungannya atas upaya yang dilakukan Machale beserta kawan-kawan. "Ciptakan unit pertemuan sebanyak-banyaknya," pinta Papilaya, waktu itu. Membuka Sekat Jalur Darat Meskipun mendapat banyak tantangan dari masyarakat, bahkan anggota polisi dan kopassus, Machale dkk. terus maju, karena orang-orang yang mendukung usahanya juga tidak sedikit. Dia lantas berpikir, kalau pelabuhan dan beberapa titik bisa dibuka ruang-ruang bakudapa (pertemuan) secara damai, mengapa jalur lalulintas darat tidak bisa diupayakan? Machale mulai mendekati para sopir mobil angkutan umum. Mulanya mereka takut. Tapi dia memberi jaminan kepada para sopir bahwa dirinyalah sebagai taruhan. Sebab itu, ketika suasana di Teluk Ambon berdarah-darah karena sering terjadi baku-tembak di laut, Machale pun menerobos jalan darat di Batumerah dengan mengawal Dosen Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ir Welem Talakua yang beragama Kristen. "Dia adalah orang pertama yang saya seberangi lewat darat, dari Ambon ke Galala terus ke Lateri," kenangnya. Sukses mengantar dosen Kristen itu membuat Machale mulai berpikir serius membuka jalur darat. Dengan beberapa sopir yang berani, dibukalah jalur angkot Mardika-Galala. Setiap pagi, Machale berdiri di sebuah titik yang dianggap paling rawan di Batumerah. "Saya seperti petugas besar saja," ujarnya, mengenang saat-saat itu. Pernah suatu pagi, sebuah mobil membawa penumpang Kristen dengan sopir bernama Gepi melintas di Batumerah Tanjung. Machale ada di titik rawan itu. Sang sopir terkejut melihat Machale yang mengenakan jaket dan topi rimbawan. Gepi hendak memutar mobilnya tapi Machale datang dengan senyum. "Mengapa harus kembali? Beta ada disini supaya ale (kamu) bisa berjalan dengan aman," jelasnya kepada Gepi. Sang sopir inipun lega dan meneruskan perjalanannya. Pengalaman Gepi ini kemudian menjadi cerita dari mulut ke mulut di kalangan sopir Kristen. Mereka kemudian makin percaya diri melintas di Batumerah. Machale sadar bahwa tidak mungkin setiap waktu dia berdiri di titik rawan di Batumerah. Oleh karena itu, dia meminta dukungan warga Batumerah supaya para sopir Kristen bisa melintas dengan tenang. Sebagai kompensasi karena para pemuda Batumerah harus duduk-duduk mengawasi perjalanan para sopir Kristen, Machale membangun kesepakatan dengan para sopir Kristen agar dalam sehari, satu unit mobil menyetor Rp 5 ribu kepada para pemuda di Batumerah. "Ini bukan palak-memalak tapi para pemuda Batumerah juga perlu hidup di tengah kondisi yang sulit. Para sopir Kristen pun tidak keberatan," terangnya. Waktu itu, terdapat sekitar 70 mobil yang melintas di Batumerah, dan para sopirnya menyetor setiap minggu secara sukarela. Setelah dikumpul-kumpul, seminggu para pemuda Batumerah bisa mendapat pemasukan Rp 800 ribu. Langkah ini bukan tidak ada kendala. Sebab setelah ada uang, ternyata ada pihak tertentu yang cemburu. "Ada isu yang dihembus sampai ke aparat keamanan bahwa saya inilah komandan preman yang setiap hari mendapat jatah dari para sopir," ungkapnya. Digebuk Aparat Tantangan lain datang dari aparat keamanan sendiri. Suatu ketika, terjadi bentrok antara sesama pemuda Muslim dari dua kampung yang berbeda. Dalam situasi panas itu, tiba-tiba ada yang memprovokasi massa. "Dari pada sesama Muslim saling bentrok, lebih baik hadang Batumerah Tanjung. Sebab biasa dilalui mobil yang membawa penumpang Kristen." Begitulah bunyi provokasinya. Machale ada di kerumunan orang-orang yang terprovokasi itu. Karena tak ingin massa diprovokasi lebih jauh, dia lantas memberi aba-aba bubar. Massa pun bubar sehingga rencana menghadang mobil Kristen pun dilupakan begitu saja. Tapi situasi ini ternyata membuat tersinggung seorang anggota TNI dari Satuan Arhanud 11. "Ada apa kok orang itu suruh bubar, kalian bubar semua," ujar tentara itu berang. Ternyata diam-diam tentara tersebut melapor komandannya bernama Letnan Agus Sitandar. Letnan Agus kemudian meminta sejumlah pemuda untuk mendatangkan Machale. Machale pergi menemui Agus di Pos Keamanan Samping Bioskop Batumerah. Nahas. Begitu tiba di pos, Agus lantas menyerang Machale bertubi-tubi. Pistolnya dipakai menghantam kepala Machale. "Kamu jago? Kamu kebal? Kamu berani melawan Laskar Jihad?" hardik sang komandan seperti dituturkan Machale. Dia masih ingat, kejadiannya bulan Juli 2001. Waktu itu, dirinya dipukul sampai berdarah-darah. Dalam keadaan berdarah-darah, Machale memberanikan diri mengajukan pertanyaan kepada Letnan Agus. "Bang, mengapa saya dipukul? Abang kok tega pukul saya. Saya tidak ada apa-apa tapi kalau Abang jago dan sudah bikin saya berdarah, tolong kasih saya satu pucuk pistol. Abang tembak saya duluan, baru saya tembak Abang nanti. Tidak usah aniaya seperti ini. Saya kan datang baik-baik," kata Machale. Letnan Agus kemudian berhenti beraksi. Tapi dia menuding Machale berani bertindak macam-macam di lapangan karena ada beking-bekingan. Machale tidak menampik tudingan itu. Dia mengakui kepada Letnan Agus, di belakang dirinya ada Gubernur Saleh Latuconsina, Wakil Gubernur Paula Renyaan dan Wakil Ketua DPRD Jhon Mailoa. "Mereka di belakang saya. Mereka menganjurkan saya cari jalan untuk usaha-usaha di tingkat bawah," jelas Machale kepada Letnan Agus. Setelah kejadian itu, Machale membawa para sopir berunjuk rasa di Kantor Gubernur Maluku. Mereka melaporkan tindakan Letnan Agus yang terkesan menghalangi usaha-usaha membuka sekat isolasi di Batumerah. Gubernur selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) lantas memberi komando kepada komandan peleton yang membawahi wilayah Batumerah. Dua minggu setelah mendapat teguran komandan peletonnya, Letnan Agus datang ke rumah Machale. Dia lantas minta maaf. "Saya sangat emosi saat itu karena mendapat informasi sepihak oleh anak-anak di Batumerah," jelas Letnan Agus. Machale lantas menguraikan tentang sepak terjangnya. "Saya bilang kepada Letnan Agus bahwa pekerjaan kita ini untuk mengamankan Batumerah supaya semua bisa hidup. Sopir Kristen bisa lewat di jalur itu, dan mereka memberi sumbangan sukarela. Itu kesepakatan mereka dan uangnya bukan untuk saya," terangnya. Mobil Pastor Meskipun sudah sempat mandi darah, Machale tak juga kapok. September 2001, dia dan kelompoknya mulai mencoba membuka jalur Tulehu-Plaza Ambon. Jalur ini untuk penumpang Muslim yang harus melewati jalur Kristen di Passo. Usaha ini mendapat dukungan warga Muslim terutama di Tulehu dan sekitarnya. Ketua Crisis Centre Keuskupan Amboina Pastor Agus Ulahayanan Pr. yang mengetahui perjuangan Machale dkk.menaruh simpatik besat. Pastor Agus lantas menyumbang sebuah mobil. "Pakai ini mobil untuk antar orang supaya orang-orang makin percaya diri," kata Pastor Agus. Usaha menembus sekat Passo tidak terlalu sulit sebab Machale punya hubungan baik dengan warga Katolik asal Maluku Tenggara yang banyak mendiami kawasan Passo. Pemuda-Pemuda Maluku Tenggara yang sering diplesetkan sebagai Orang Tengger, ternyata menyambut baik kehadiran Machale. Seorang pemuda Passo bernama Ekky selalu aktif bersama Machale membangun kepercayaan di kalangan sopir Muslim yang melintas di sana membawa penumpang Muslim. Maraknya Isu Di tengah usaha meredam konflik, ternyata isu yang berhembus tetap kencang. Misalnya, di Pelabuhan Machale dkk. diminta mengamankan sejumlah kontainer milik PT Murni Utama yang menjadi penyalur resmi minuman keras di Maluku. Kontener berisi minuman keras hendak dimusnahkan Laskar Jihad, sedangkan Machale dkk. jauh sebelum konflik selalu mengamankan kontener, apapun isinya. Bentrokan kepentingan pun tak terelakan. Bahkan sampai terjadi bentrokan fisik. Lagi-lagi Machale sampai berdarah-darah di pelabuhan. Belakangan barulah diketahui, pihak Laskar Jihad curiga di dalam kontainer terdapat senjata dan amunisi untuk warga Kristen dan dirinya dicurigai melindungi senjata-senjata itu. Isu lain yang cukup mengganggu Machale adalah dirinya dianggap bekerja sama dengan Panglima Laskar Kristus. Machale bingung sebab dia dihadang anggota Kopassus yang menanyakan perihal Laskar Kristus. Dirinya mengaku tidak mengenal Laskar Kristus, apalagi panglimanya. Anggota Kopassus itu lantas membeberkan, Panglima Laskar Kristus itu bernama Agus Ulahayanan. Tentu saja Machale terperanjat. Untungnya dia cepat melakukan klarifikasi. Kepada si kopassus, dia menjelaskan mobil yang dia pakai mengantar orang Muslim melintas di Passo adalah sumbangan Pastor Agus. Selain itu, Pastor Agus adalah saudaranya sendiri. "Meskipun kami beda agama, saya Muslim dia Katolik, tapi dia adalah abang saya. Dia Ketua Crisis Centre Keuskupan Amboina," terangnya kepada Kopassus tersebut. Banyak cerita suka dan duka dialami Machale selama konflik. Salah satu kegetirannya adalah dua kali dia mengalami kehilangan buah hati. Dua bayinya yang baru berusia beberapa bulan meninggal berturut-turut di tengah situasi Ambon yang membara. Nama Machale sendiri sangat harum di kalangan warga Kristen. Ada yang menjulukinya juru selamat, ada yang menyebutnya malaikat penolong di kala susah. Tapi Machale merasa julukan itu terlalu berlebihan. Bahkan ketika ditanya mengapa tidak ikut perjanjian Maluku di Malino, Machale mengaku dirinya bukan orang elite. "Malino itu urusan orang atas. Beta urus yang di bawah-bawah saja," kata tokoh yang kini dicalonkan Partai Indonesia Baru (PIB) sebagai caleg nomor urut satu untuk DPRD Provinsi Maluku, dari daerah Pemilihan Kota Ambon. (MMC) Senin, 29/03/2004 23:28:53 WIB Machale Suatrean "Juru Selamat" dari Akar Rumput http://www.malukumediacentre.net/web/index.php?fuseaction=ws .view&newsid)0320042331884&type=lang= [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/IYOolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM - Daftar : [EMAIL PROTECTED] Keluar : [EMAIL PROTECTED] Posting: [EMAIL PROTECTED] Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED] WebSite: http://jnm.clear-net.com (Webmaster wanted!) -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/