From: Denmas Marto 

Hambatan Kecil
Tetaplah berdoa. - 1 Tesalonika 5:17

Saat merenungkan nas kali ini, aku teringat pengakuan jujur C.S. Lewis. "Yang 
paling sering mengganggu doa pribadi saya bukanlah hambatan yang besar, 
melainkan hambatan yang kecil-kecil, yaitu hal-hal yang harus dilakukan atau 
dihindari pada jam-jam berikutnya," katanya.
"Tetap berdoa" secara sederhana dapat diartikan sebagai melibatkan Tuhan dalam 
segala sesuatu yang kita kerjakan. Tantangan ini justru paling berat untuk 
dipenuhi saat kita bergumul dengan rutinitas dan persoalan keseharian yang 
tampaknya sepele - saat kita harus berhadapan dengan "hambatan yang 
kecil-kecil."

Sebagai penulis, masalah yang kerap kuhadapi berkisar pada kebuntuan ide, 
komputer macet, disket rusak, koneksi internet yang lambat. Namun, celakanya, 
hal-hal semacam itu justru bisa sangat menyedot energi dan, tentu saja, 
menjengkelkan.
Di situlah persoalannya: Siapa yang masih sempat memikirkan Tuhan selagi 
jengkel? Bagaimana melibatkan Tuhan ketika listrik tiba-tiba padam dan naskah 
panjang yang tengah kuketik belum sempat kurekam?
Akan tetapi, hambatan itu juga dapat kuanggap sebagai berkat. Itu seperti 
bisikan lembut yang menghentikan aku, mengingatkan aku untuk rehat sejenak dari 
kesibukan, untuk berpaling dan memberi ruang bagi hadirat-Nya. Alih-alih 
mendengus kesal, aku bisa tetap tenang, menarik napas panjang, bersyukur kepada 
Tuhan, lalu mendendangkan lagu rohani kesayangan. Dengan kata lain, hambatan 
itu justru mendorongku untuk "tetap berdoa." ***

Catatan Denmas Marto | Puisi, Fiksi, Renungan, Film, Buku, Artikel
http://www.geocities.com/denmasmarto
=============================================
From: Mundhi Sabda Lesminingtyas 

"Ini Baru Luar Biasa"
(Oleh Lesminingtyas)

Beberapa waktu yang lalu, saya menurunkan tulisan tentang "Hadiah Terindah 
Untuk Si Miskin". Melalui tulisan itu saya berharap dapat membagi berkat yang 
luar biasa, yang telah saya terima dari Tuhan. Dalam tulisan tersebut saya 
menceritakan betapa beratnya saya harus berjuang mengalahkan ego saya untuk 
merendahkan diri di hadapan Tuhan. Saya berharap setiap pembaca menilik hati 
masing-masing dan menguji apakah pelayanan yang selama ini dilakukan, 
sungguh-sungguh murni untuk meninggikan nama Tuhan, tanpa
motivasi mengatrol popularitas diri.
Sayang sekali beberapa pembaca kurang cermat menangkap pesan dan berkat apa 
yang ingin saya bagikan. Beberapa rekan pendamping dari Gereja Kristus 
Ketapang, mengirim email kepada saya untuk meminta maaf. Mereka yang sempat 
ngobrol akrab dengan saya saat pelayanan, menuliskan email sbb: "Maaf, kemarin 
saya tidak 'menuakan' ibu, karena penampilan ibu sangat sporty dan berjiwa 
muda". Teman yang satunya menulis "Mbak,  jelas aja kita semua salah...lah wong 
penampilan nya juga seperti anak muda, gak jauh2 dari kita2 ini......"

Saya hanya tersenyum! Walaupun saya sedikit tersanjung dengan ungkapan hati 
mereka, tapi bukan itu yang saya inginkan. Saya justru heran menerima 
permintaan maaf itu. Justru seharusnya sayalah yang meminta maaf, karena 
sebelum berhasil mengalahkan kesombongan, saya sempat menganggap mereka tidak 
ada apa-apanya dibandingkan dengan saya. Untuk menyambut email persahabatan 
itu, saya pun membalas sbb : "Saya senang bisa berkenalan dan ngobrol dengan 
kalian. Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena  kalian semua lucu-lucu dan 
menyenangkan". Dan puji Tuhan, sampai sekarang persaudaraan
itu terjalin, di mana saya menyapa akrab dengan sebutan "Dede" atau "Di Di"
Walaupun saya berharap pembaca bisa belajar untuk rendah hati dalam pelayanan, 
tapi tidak sedikit orang yang telah lama melayani Tuhan, justru menganggap saya 
tinggi hati. Seorang pembaca mengkhotbahi saya tentang pentingnya rendah hati. 
Saya hanya bisa menjawab dalam hati "Menulis artikel, khotbah atau membawakan 
seminar tentang rendah hati, itu sudah biasa bagi saya. Tapi untuk mengalahkan 
ego dan menanggalkan popularitas untuk rendah hati tidaklah mudah" Melalui 
tulisan itulah saya ingin membagikan suka cita yang telah saya dapatkan melalui 
kemenangan jiwa saya yang telah mengalahkan keangkuhan hati saya.

Ada juga orang yang menganggap saya sombong. Sayang sekali, orang-orang semacam 
itu hanya tahu bahwa saya sombong. Mereka menutup diri untuk belajar dari 
pengalaman saya yang telah berhasil mengalahkan kesombongan saya. Saya 
sependapat bahwa sombong adalah sifat yang tidak terpuji. Walaupun tidak pernah 
berniat menjadi orang sombong, namun sangatlah biasa bagi orang yang makin 
banyak dikenal dan dibutuhkan orang seperti saya ini tanpa sadar menjadi 
sombong.
Dari email yang saya terima, hanya ada beberapa senior yang mengaku mendapatkan 
berkat dari tulisan saya. Mereka merasa malu, karena selama ini mereka juga 
sombong seperti saya. Mereka salut karena saya telah berhasil mengalahkan 
kesombongan saya dan menggantinya dengan kerendahan hati. Menasehati orang 
supaya tidak sombong, itu sudah merupakan hal yang biasa.
Namun menyadari kesombongan dan berusaha untuk rendah hati, .... ini baru luar 
biasa!

Kepada para pembaca yang merespon via japri, saya  sudah menjelaskan bahwa 
tidak mudah bagi  senior seperti saya melakukan pelayanan dengan rendah hati. 
Saya mengakui secara terus terang bahwa untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan 
 (dalam arti harafiah) itu mudah, karena sesombong apapun diri saya, saya tetap 
merasa lebih rendah dari Tuhan.
Ketika saya duduk semeja atau diskusi dengan Romo Mangun Wijaya (Alm), Pdt. 
Lummy (Alm), Pdt Daud Palilu (Alm), Pdt. Eka Dharma Putra, Pak Herlianto, MTh., 
Pak Donny A Wiguna, Mang Ucup atau orang-orang hebat lainnya, dengan mudah saya 
bersikap rendah hati. Dengan sikap manis ala murid sekolah dasar, saya 
menyiapkan kedua telinga saya untuk menampung sebanyak-banyaknya ilmu yang 
mereka bagikan. Tidak ada kesulitan sama sekali untuk menundukkan kepala dan 
rendah hati di depan orang-orang yang hebat. Dulu, saya bangga sekali dengan 
kerendahan hati saya terhadap mereka. Tapi setelah saya
renungkan, tanpa rendah hati pun senioritas saya memang jauh di bawah mereka. 
Ternyata sikap saya terhadap mereka itu bukan rendah hati yang sesungguhnya, 
tetapi sekedar "tahu diri". Kesombongan saya tidak akan muncul di hadapan 
mereka karena memang tidak ada yang pantas saya sombongkan kepada mereka.   Ini 
adalah hal yang biasa!

Ketika harus duduk, diam dan mendengar arahan dan bimbingan orang yang 10-15 
tahun lebih muda, tidak banyak senior yang mau dan mampu melakukannya.
Rendah hati di depan para junior bisa jadi akan menurunkan popularitas, 
mengurangi kewibawaan, dan merusak "pasaran". Mungkin kalau boleh saya meminjam 
kata-kata mbelingnya Mang Ucup, saya akan bilang "Emangnya lu siapa, kok gua 
harus banting harga di depan lu!". Perang batin yang hebat, saya alami ketika 
harus menjadi murid dari orang yang tidak lebih pintar dari saya. Ini sangat 
manusiawi dan sungguh-sungguh merupakan hal yang biasa! Namun keberhasilan saya 
mengalahkan sifat tinggi hati saya terhadap para junior, ...ini baru luar biasa!
Lahir dan dibesarkan di tengah-tengah budaya Jawa yang feodal, membuat saya 
sangat berhati-hati dengan panggilan seseorang. Sejujurnya, saya tidak nyaman 
untuk memanggil sesorang dengan nama saja. Sebagai orang Jawa, saya lebih suka 
memanggil orang yang sejajar atau lebih muda dengan panggilan "Mas" atau 
"Mbak". Walaupun panggilan itu tidak pas betul, tapi itulah yang bisa saya 
lakukan untuk menghargai mereka. Ketika teman-teman kantor yang non Jawa, 
merasa risih dengan panggilan "Mbak" dan "Mas" yang dipandangnya
sebagai "Jawanisasi", saya pun memanggil mereka dengan "Mpok", "Teteh", "Neng" 
atau yang lain, sesuai dengan panggilan yang biasa mereka dapatkan dalam 
lingkungan budayanya. Panggilan "Koko", "Ati", "Ade", "Dede", "Meme" atau 
"Cicik" biasa saya pakai untuk menyapa saudara-saudara rohani dari kalangan 
China. Walaupun saya tidak tahu adat Batak, saya lebih nyaman memanggil 
teman-teman rohani saya dari kalangan Batak dengan sebutan "Ito" atau "Eda".

Kawan-kawan rohani yang lebih senior beberapa kali mengajarkan saya untuk 
memandang siapapun; baik anak kecil, remaja, dewasa maupun orang tua, dengan 
kedudukan sejajar di hadapan Tuhan. Saya sependapat, tetapi saya juga yakin 
bahwa kepekaan terhadap budaya seseorang/masyarakat yang saya jumpai, sangat 
diperlukan supaya tidak menjadi batu sandungan.
Sebagai orang yang sangat menghormati orang lain dengan sebutan atau 
embel-embel panggilan kehormatan, sudah sewajarnya jika saya pun mengharapkan 
orang lain melakukan hal yang sama. Bukan berarti saya gila hormat, tetapi 
sekedar keseimbangan saja. Bahkan ketika adik-adik rohani dari Gereja Kristus 
Ketapang memanggil saya dengan sebutan "Bu", saya pun merasa tidak nyaman. 
Dengan setengah berkelakar saya berkata "Saya ini kan
belum setua papa-mama kalian, jadi panggil saja saya Mbak!"

Ketika saya melayani anak-anak dan keluarga miskin serta PSK (Pekerja Seks 
Komersial) di daerah Prumpung berasama Ibu Saur Simatupang (istri mantan Rektor 
UKI), saya siap dipanggil dengan "Ning" (nama saja) atau "kau". Saat saya 
melayani dan tinggal lama di Pontianak tahun 1990an, Gubernur dan ajudannya 
selalu memanggil saya hanya dengan nama saja. Saya merasa nyaman dengan 
panggilan itu karena saya merasa diperlakukan secara "dekat" oleh para pejabat 
yang terhormat itu. Setiap Prof. Dr. Singgih Dirga Gunarsa
mengunjungi kantor saya, kemudian menyapa saya dengan nama saja, saya tetap 
merasa memiliki kebanggaan. Ketika Mang Ucup menyapa saya dengan sebutan "Ning 
geulis", sayapun merasa biasa-biasa saja, karena beliau memang hampir seumuran 
ayah saya. Atau ketika teman-teman milis yang lebih tua menyapa ramah dengan 
memanggil saya "Ning", saya justru merasa dekat dengan mereka.
Kesediaan saya untuk dipanggil nama saja oleh orang-orang yang saya tuakan
sungguh merupakan hal yang biasa saja.

Saat para junior yang 10-15 tahun lebih muda dari saya memanggil saya dengan 
sebutan nama saja, tentunya ego saya tersentak, menggeliat dan memprotesnya.
Sungguh sangat manusiawi kalau saat ini saya langsung menaikkan harga diri 
saya, dengan memandang rendah si junior, seraya berkata "Emang lu siapa?
Amrik, bukan! Bule, juga bukan! Belajar sopan dikit kek!". Kalau saya 
tersinggung, sebenarnya hal tersebut sangatlah biasa. Tapi kalau saya tetap 
bisa tersenyum dan menghargai junior yang memanggil saya hanya dengan nama 
saja, ...ini baru luar biasa!
Ketika saya membaca email yang menyarankan saya untuk belajar menghargai 
pengemis dan gelandangan, saya pun hanya tersenyum. Sudah 19 tahun saya malang 
melintang melayani dan menghargai orang miskin. Namun kalau dipikir-pikir, dari 
pekerjaan itu saya mendapatkan kehormatan dan pengakuan.
Setelah saya menilik hati saya, saya justru meragukan motivasi saya.
"Jangan-jangan saya melayani mereka karena saya mendapatkan sambutan, 
kehormatan, rasa dihargai dan dibutuhkan?"

Saya menyadari bahwa mendapatkan kehormatan dan pengakuan setelah melayani,
itu sudah biasa karena setiap orang mau dan mampu melakukannya. Namun untuk
tetap tersenyum dan bersyukur walaupun teman sepelayanan tidak mengakui dan
menghargai kemampuan saya,... ini baru luar biasa!
Kalimat "Ini baru luar biasa!" yang saya pakai untuk menunjukkan sikap positif  
yang layak dicoba. Bukan berarti saya mau menepuk dada atau menyombongkan diri, 
karena saya menyadari bahwa  tidak saya tidak pantas menyombongkan diri karena 
telah berhasil mengalahkan kesombongan saya.
Kemenangan saya dalam mengalahkan kesombongan itu, bukanlah hasil usaha saya 
sendiri. Saya bisa mengalahkan kesombongan saya karena Allah sendiri yang 
mengerjakannya.

Dengan demikian, siapakah sebenarnya yang luar biasa? Apakah saya? Tidak!
Sebagai manusia yang masih suka GR (gede rasa) kalau disanjung..
Yang semakin hari semakin banyak pengangumnya...
Yang semakin hari semakin banyak dibutuhkan orang..
Yang semakin hari semakin banyak side jobnya...
Yang semakin hari semakin tinggi honornya...
Tentunya sangat mudah untuk kembali sombong dan besar kepala!

Hanya Roh Allah saja yang sanggup menjaga hati saya untuk tetap rendah hati dan 
tidak mengejar hormat semu dari dunia. Roh Allah juga yang telah mengingatkan 
saya bahwa sanjungan dan acungan jempol dari para pengagum, serta ucapan terima 
kasih, penghargaan dan honor bisa menjadi mahkota semu; iming-iming dari dunia. 
Roh Kudus sendiri yang membuka telinga dan mata hati saya untuk mendengarkan 
panggilan Tuhan, seperti dalam lagu  NKB No. 126 "TUHAN MEMANGGILMU" yang 
syairnya sbb:

"Tuhan memanggilmu, hai dengarlah. 'Apapun yang terbaik, ya brikanlah !'
Dan jangan kau kejar hormat semu, muliakan saja Yesus Tuhanmu.
Ref : Tiap karya diberkatiNya, namun yang terbaik dimintaNya.
         Walaupun tak besar talentamu, bri yang terbaik kepada Tuhanmu

Sanjungan dunia jauhkanlah dan jangan kau dengar godaannya.
Layani Tuhanmu dalam jerih, dalam hidupmu yang t'lah kauberi.
Ref-- 

Hari terakhirpun makin dekat, mantapkan langkahmu, jangan sesat.
Sungguhlah janji-Nya, takkan lenyap, bahwa mahkota milikmu tetap
Ref-- 

[Non-text portions of this message have been removed]



-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke