From: "MundhiSabda Lesminingtyas" <[EMAIL PROTECTED]> Miskin Tidak Harus Mengemis Bagian 7 (Oleh : Lesminingtyas)
Ketika saya harus melakukan tugas internal audit di sebuah proyek kemanusiaan di Desa Sijangkung, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Sambas saya harus mengunjungi lokasi tersebut tanpa apppoinment terlebih dahulu. Hanya dengan berbekal catatan alamat, saya berusaha menemukan kantor proyek tersebut. Sebagai petugas dari Jakarta yang merasa hebat dan pintar, saya menggunakan logika saya untuk menemukan terlebih dahulu kabupatennya, lalu kecamatannya dan terakhir desanya. Sayapun merasa cukup menanyakan route menuju Sambas kepada petugas hotel tempat saya transit. Dengan beberapa potong pakaian di ransel serta beberapa dokumen penting dan selembar surat tugas di dalam map lembaga bertuliskan "Children Happiness is Our Mission", saya melenggang meninggalkan hotel dengan becak menuju tempat penyeberangan di dekat Jl. Tanjung Pura, Pontianak. Dalam kondisi normal saya biasa menyeberang ke Siantan dengan feri kecil hanya dengan ongkos Rp. 100. Tetapi karena saya tidak mau membuang waktu hanya untuk menunggu feri itu penuh, sayapun memutuskan untuk mencarter sampan kecil yang dikemudikan seorang bocah laki-laki kira-kira berumur 10 tahun. Tangan kurus bocah itu ternyata tidak terlalu kuat untuk mendayung sehingga perjalanan kami terasa lambat sekali. Belum sampai setengah perjalanan, feri yang biasa saya tumpangi itupun mendahului sampan kami. Sudah bisa diduga, feri itu menimbulkan gelombang air yang hampir menggulung sampan kami. Saya hanya memejamkan mata sambil menyatukan badan saya dengan sampan sambil berharap kalaupun sampan kami terbalik, sampan itu masih berfungsi sebagai pelampung. Ketika gelombang air itu mengangkat sampan kami tinggi-tinggi kemudian menghempaskan nya, ulu hati saya sempat panas seakan nyawa saya hampir terlepas. Tetapi tiba-tiba "Byuur " dari ujung kepala hingga kaki saya terguyur dinginnya air Kapuas. Sesampainya di seberang sungai, saya tak sempat lagi mengasihi diri saya sendiri yang kedinginan. Hati saya miris sekali melihat tubuh pendayung sampan yang kurus dan menggigil hingga bibirnyapun tampak membiru. Saya membuka ransel, ingin mengambil handuk untuk saya pinjamkan kepada bocah kecil itu. Sayang sekali, ternyata semua barang yang ada di ransel sayapun basah kuyup. Dari dompet saya yang juga basah, saya mengambil selembar uang ribuan dengan hati-hati supaya tidak sobek. Dari ongkos sampan yang telah kami sepakati sebesar Rp. 500, akhirnya saya memutuskan untuk memberikan kepada bocah yang masih menggigil itu dua kalinya. Dengan pakaian dan sepatu yang basah kuyup, sayapun melanjutkan perjalanan dengan oplet ke terminal Siantan. Tidak sulit untuk menemukan minibus jurusan Sambas, tetapi rupanya kendaraan itu masih saja terparkir sambil menunggu penumpang memenuhi tempat duduk. Sambil menunggu kendaraan itu penuh, saya memanfaatkan waktu untuk berjemur. Kalau nggak salah waktu itu tanggal 23 September 1992 dimana banyak wisatawan datang ke Tugu Khatulistiwa di Siantan untuk melihat kulminasi matahari. Tepat jam 12.00 sayapun ikut-ikutan para wisatawan menikmati matahari yang tepat berada di garis Khatulistiwa, pas di atas kepala kami. Maksud awal saya untuk mengeringkan badan, berubah layaknya ilmuan yang berusaha meneliti bayangan kami yang tak tampak sama sekali. Jam 12.30 minibus yang saya tumpangi bertolak dari Siantan. Setelah saya bertanya ke penumpang di kanan kiri saya, saya mendapat informasi bahwa perjalanan ke Sambas harus ditempuh dalam waktu 5 jam. Namun belum sampai satu jam perjalanan, minibus yang saya tumpangi tidak bisa melanjutkan perjalanan karena puluhan truk pengangkut jeruk membongkar muatannya di tengah jalan. Jalan rayapun disulap menjadi gunung jeruk. Saya dan para penumpang lainpun harus turun, berjalan di atas tumpukan buah jeruk sejauh kira-kira 1 km. Di kanan kiri jalan tampak para petani membakar kebun jeruknya sebagai tanda protes mereka terhadap kebijakan pemerintah tentang tata niaga jeruk. Ternyata tata niaga jeruk yang diintervensi oleh keluarga penguasa di Jakarta telah membuat mereka menderita. Tata niaga yang diatur dengan dalih melindungi petani dari permainan kotor tengkulak, ternyata telah membuat rakyat kecil itu ibarat terlepas dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. Sambil sesekali menikmati manisnya jeruk Pontianak yang saya pungut dari bawah kaki saya, saya berbincang-bincang dengan beberapa petani. Mereka pada umumnya merasa disengsarakan dengan penjadwalan hari pemanenan jeruk, pembatasan penjualan hasil panenan dan penetapan harga yang tidak sesuai dengan biaya produksi. Para petani yang paling tahu kapan buah jeruknya siap dipetik harus menerima jadwal dari penguasa, kapan dan hari apa ia boleh menanen jeruknya. Seberapapun luas kebun yang dimiliki, seorang petani hanya boleh menjual beberapa kwintal jeruk saja ke koperasi. Harga perkilonyapun waktu itu tidak lebih dari Rp. 50, sebuah harga yang sangat tidak manusiawi. Beberapa petani mengisahkan pahit manisnya dulu waktu berteman bebas dengan para toke (tengkulak). Paling tidak toke tidak pernah mengatur kapan petani akan memanen jeruknya dan berapa ton mereka akan menjual. Kalau panenan jeruk tidak begitu melimpah, para tokepun berani membayar mahal. Tetapi kalau panen raya tiba, para tokepun semaunya sendiri memasang harga. Namun seburuk apapun takbiat para toke, dalam sejarah mereka belum pernah petani menerima uang kurang dari Rp. 300 untuk 1 kg jeruk. Sambil membawa beberapa buah jeruk pemberian petani, saya melanjutkan perjalanan dengan minibus yang telah menunggu penumpang di ujung jalan. Di dalam minibus saya dan penumpang lain masih memperbincangkan tata niaga jeruk. Dari perbincangan itu saya mendapat informasi bahwa koperasi membeli jeruk para petani untuk dikapalkan ke Jakarta. Saya kaget sekali karena jeruk Pontianak merupakan komoditi bergengsi di Jakarta dan harganya tidak kurang dari Rp. 2,500. Tidak terasa semua penumpang telah habis, berarti sayapun telah sampai di Sambas. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.00. Kepada petugas keamanan terminal saya tunjukkan alamat yang hendak saya tuju. Petugas itu menggelengkan kepala bukan karena ia tidak mengerti tetapi raut mukanya mengisyaratkan ada kesulitan besar yang saya hadapi. Iapun mengantar saya ke pos polisi. Setelah saya menjukkan KTP dan surat tugas, polisi itu menghubungi Polsek Singkawang dengan HTnya. Sejenak kemudian polisi itu berbicara sangat hati-hati "Bu, sebenarnya lokasi yang hendak Ibu tuju ini sudah Ibu lewati kira-kira 2 jam yang lalu. Jadi Ibu harus balik ke sana kira-kira 2 jam lagi sampai di Singkawang. Nanti saya minta teman-teman di Polsek Singkawang untuk membantu Ibu" "Saya harus naik apa untuk balik ke sana Pak ?" tanya saya sambil memohon pertolongan polisi itu. "Mari Bu, saya antar ke dekat pasar. Nanti saya akan minta tolong sopir untuk mengantar Ibu sampai ke Polsek Singkawang. Nanti Ibu cari saja Sersan Bernardus yang sedang piket di sana" jawab polisi itu melegakan saya. Sesampainya di pasar polisi yang tidak sempat saya kenal namanya itu berpesan kepada sopir minibus "Tolong Ibu ini diantar langsung sampai ke Polsek Singkawang. Titip ya, ini saudara saya !" polisi itu memberi instruksi "Siap Pak !" jawab sopir itu penuh hormat. Dalam perjalanan, sopir itu mengajak saya bicara dengan ramah dan hormat. Dia sempat menyinggung-nyinggung hubungan saya dengan polisi itu. Sayapun hanya menjawab "Wah, saya nggak tahu jelasnya seperti apa. Yang jelas nenek saya bersaudara dengan neneknya pak polisi itu" jawab saya tanpa ingin terlalu banyak membohongi sopir itu. Demi keamanan saya tidak berani mengatakan bahwa sebenarnya pak polisi itu sama sekali belum pernah saya kenal. Saya hanya berkata dalam hati "Memang nenek moyang kami dulu bersaudara, sama-sama anak Adam" Sopir yang berbicara dalam logat Madura itu akhirnya mengantar saya sampai di depan gerbang Polsek Singkawang. Waktu itu jam di tangan saya menunjukkan pukul 20.15. Sayapun segera menghampiri pak polisi yang berdiri di serambi depan, tempat polisi berjaga. "Nama saya Ning, Pak ! Saya dari Jakarta ditugaskan untuk berkunjung ke GKTI" saya memperkenalkan diri sambil menjabat erat pak polisi yang di dadanya tertulis nama Bernardus. Walaupun baru pertama kali bertemu, saya merasa aman karena dari namanya saya tahu bahwa polisi tersebut saudara seiman saya. "Gereja yang Ibu maksud lokasinya ada di Desa Sijangkung, kira-kira 5 km dari sini. Mungkin sekarang Ibu bisa beristirahat di Singkawang dulu, besok pagi saya antar ke sana" saran pak polisi itu. "Apakah di sekitar sini ada hotel yang aman dan bersih, Pak ?" tanya saya. "Banyak Bu, mau yang bintang satu sampai bintang lima juga ada. Ibu mau pilih yang mana ?" tanya Sersan Bernardus sambil menyiapkan mobil patrolinya. "Hotel mana saja boleh, tapi yang kelas melati saja" jawab saya pelan. Selama saya bertugas ke Pontianak dan sekitarnya, jatah anggaran akomodasi dari kantor saya memang tidak pernah cukup untuk membayar kamar di hotel berbintang. Sersan Bernardus segera duduk di belakang stir mobil patroli. Ia kemudian mempersilakan saya duduk di sampingnya, sedangkan dua orang temannya duduk di bangku belakang mobil patroli "Untung, bukan saya yang disuruh duduk di bangku belakang" kata saya dalam hati. "Kita coba tanya hotel di sini Bu !" ajak Sersan Bernardus. Namun dari penampilan hotelnya saya tahu kalau hotel itu kelas "esek-esek" yang diramaikan dengan musik keras dari diskotik yang ada di hotel itu. Hotel seperti itu tidak ubahnya seperti sarang prostitusi. "Kayaknya hotel ini kotor dech, Pak" jawab saya keberatan. Pak polisi itupun memacu mobil potrolinya menuju hotel lain. "Nah, kalau hotel yang ini bagaimana, Bu ?" tanya pak polisi tepat di depan hotel yang agak sepi. "Coba saja kita lihat" jawab saya agak ragu Setelah Sersan Bernardus memarkir mobil patrolinya, saya dan kedua polisi yang semula duduk di bangku belakang itupun mengikuti langkah Sersan Bernardus. Setelah kami berbincang-bincang sejenak dengan resepsionist hotel, seorang rooom boy mengantar kami melihat kamar kelas paling bagus di hotel tersebut. Saya mulai ragu ketika mencium bau wewangian yang sangat asing dan menyengat. Ketika petugas hotel itu mempersilakan saya melihat kamar mandinya, saya hanya menatap Sersan Bernardus dengan pandangan cemas. Sersan Bernarduspun sepertinya menangkap perasaan saya dan iapun segera menemani saya melihat kamar mandi hotel itu. "Waw..saya ini perempuan baik-baik, Pak ! Di kota ini saya adalah tamunya pak pendeta GKTI, masak saya harus tidur di tempat beginian" keluh saya sambil menunjuk puluhan kondom bekas pakai yang berserakan di lantai kamar mandi. "Ya, beginilah keadaannya. Kalau Ibu mau tempat yang bersih, saya bisa antar ke hotel berbintang satu di dekat sini" Sersan Bernardus menawarkan bantuan. "Tapi hotelnya juga suka dipakai untuk transaksi sex, Pak ?" tanya saya penuh curiga. "Ya begitulah ! Kalau hotel di sini tidak ada ayamnya pasti tidak ada tamu yang menginap" jawab Sersan Bernardus. "Ayam apaan Pak ?" tanya saya tidak mengerti. "Ya, ayam yang bisa dibeli sama tamunya. Mau pilih dada, paha, leher atau apa saja. Di sini banyak tamu dari luar Singkawang yang singgah hanya karena ingin merasakan amoy Singkawang. Anak-anak umur 10-14 tahun, apalagi yang masih perawan merupakan barang mahal di sini" Sersan Berardus menjelaskan panjang lebar kehidupan malam di Singkawang. "Wah, dari pada saya harus tidur di lingkungan ayam-ayam cantik, lebih baik saya menginap di kandang babi beneran, Pak" kata saya agak sinis "Kalau saya langsung ke Desa Sijangkung malam ini juga, kira-kira ada kesulitan apa ya Pak ?" tanya saya setengah memohon polisi-polisi itu mau mengantar saya ke sana. "Di sana tidak ada penginapan, Bu !" jawab teman Sersan Bernardus. "Saya kira nggak apa-apa tidur di emper gereja, dari pada tidur di tempat yang aneh-aneh seperti ini" jawab saya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga polisi itu segera mengantar kami menuju gereja yang ada dalam buku alamat saya. Kira-kira jam 22.00 gereja itu kami temukan tanpa penerangan dan tanpa seorangpun yang bisa membukakan pintu untuk kami. Untung saja beberapa penduduk yang keheranan menyaksikan mobil patroli masuk ke halaman gereja, segera menghampiri kami. Sebelum mereka sempat bertanya, sayapun menghampiri dan menjabat tangan mereka erat-erat sebagai tanda persahabatan. Sayapun memperkenalkan diri sekaligus menanyakan alamat Pak Anton, ketua yayasan yang mengelola proyek kemanusiaan bantuan dari kantor saya. Dengan suka rela seorang penduduk naik ke bagian belakang mobil patroli, mengantar kami ke rumah Pak Anton yang kurang lebih berjarak 2 km dari gereja tersebut. Walaupun telah tertidur lelap, Pak Anton dan istrinya tetap membukakan pintu untuk kami. Sayapun segera menjabat tangan Pak Anton dan istrinya sambil menyebutkan nama saya dan lembaga yang menugaskan saya. Tuan rumah itupun mempersilakan kami masuk di ruang tamu yang minim fasilitas itu. Tidak berapa lama, ketiga polisi dan penduduk yang mengantar kamipun segera berpamitan. Pak Anton dan istrinya yang menyangka saya telah makan malam di restoran mewah di kota Singkawang, hanya mempersilakan saya untuk beristirahat bersama ketiga anaknya yang masih kecil. Walaupun perut saya terasa panas karena lapar dan tenggorokan sayapun terasa kering saya hanya bisa menelungkupkan badan sambil mensyukuri kasih dan penyertaan Tuhan yang telah mengijinkan saya belajar banyak hal, tanpa sedikitpun mengalami hal-hal yang buruk. [Non-text portions of this message have been removed] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM - Daftar : [EMAIL PROTECTED] Keluar : [EMAIL PROTECTED] Posting: jesus-net@yahoogroups.com Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/