From: "Mundhi Sabda Lesminingtyas" <sabd...>

Hadiah Terindah Untuk Seorang Terpenjara
(Oleh Lesminingtyas)

Pelayanan saya di Kalimantan Barat yang cukup lama membuat saya merasa dekat 
dengan orang-orang China di sana. Saya merasa mereka adalah keluarga saya yang 
kedua. Kecintaan saya terhadap masyarakat Kalimantan Barat dan sekitarnya juga 
tercermin dari beberapa tulisan saya. Walaupun sekarang saya tidak lagi 
melayani  masyarakat Kalimantan Barat, rasanya sebagian hati saya masih 
tertinggal di sana. Untungnya rasa kangen saya sedikit terobati dengan kiriman 
foto dan cerita-cerita dari Ati (adik laki-laki). Ati adalah seorang pemuda 
China yang merupakan adik angkat saya di Kalimantan Barat.
Ati lahir dan dibesarkan dalam keluarga Konghucu yang hancur berantakan, karena 
jerat-jerat dosa seksual, perjudian dan minum-minuman beralkohol.
Masa lalu Ati yang hitam pekat hampir membuat saya tercengang sekaligus kagum 
dengan pertobatan dan pemulihan yang telah dialaminya. Sejak menerima Tuhan 
Yesus, Ati justru mengambil bagian untuk melayani Tuhan.

Setelah sekian lama persaudaraan kami, Ati menceritakan betapa hancurnya jiwa 
mama gara-gara penghianatan suaminya. Ati dan adik kandungnya; Willy juga 
pernah terjerumus ke dalam kubangan dosa yang sama dengan papanya.
Kejujuran Ati tidak membuat saya menjauhinya, tetapi saya justru merasa perlu 
menguatkan nya. Saya sangat mengerti mengapa Ati dan Willy sampai jatuh dan 
bergelimang dosa. Saya melihat ada kemarahan dan kekecewaan mereka di bawah 
alam sadar terhadap papanya. Di sisi lain, papa memang menghadirkan sosok yang 
tidak layak diteladani.
Saya sangat gembira karena Ati telah mengalami pertobatan dan pemulihan.
Bahkan ketika Ati merencanakan untuk studi lanjut di bidang teologi, saya pun 
memberi dukungan sebisa saya. Pergumulan pribadi dan paper Ati yang perlu saya 
edit, selalu saya tempatkan pada prioritas pertama. Ini semua saya lakukan 
sebagai apresiasi dan dukungan saya terhadap kehidupan Ati yang baru.

Menjelang akhir tahun 2004, Ati menelpon dari Kalimantan Barat dan menceritakan 
bahwa Willy sudah hampir 2 bulan mendekam di tanahan polres karena terlibat 
kasus penipuan. Kalau saya gembira melihat kehidupan baru Ati, saya punya beban 
tersendiri dengan kehidupan Willy yang masih bergelimang dosa. Walaupun saat 
itu kesibukan kerja saya sangat tinggi, tetapi saya yakin Tuhan tidak 
menginginkan saya mengabaikan Willy. Karena
beban dan tanggung jawab Ati di Kalimantan Barat sangat besar, maka saya 
mencoba menenangkannya dan berjanji untuk ikut memikirkan Willy.
Karena saya tidak bisa mempengaruhi proses hukum yang akan dihadapi, maka saya 
hanya bisa meminta kakak kandung saya untuk menjadi pengacara Willy, dengan 
biaya sepenuhnya dari Ati. Dengan demikian saya bisa meyakinkan bahwa keadaan 
Willy baik-baik saja, sehingga Ati bisa tetap berkonsentrasi mencari uang dan 
melayani Tuhan di Kalimantan Barat.

Setelah 2 bulan mendekam di Polsek, Willy dipindahkan ke rutan Salemba. Di 
rutan, Willy ditempatkan di sebuah barak bersama ratusan tahanan yang lainnya. 
Sebenarnya Willy membutuhkan uang Rp. 2 juta untuk bisa masuk kamar sel di 
rutan supaya ia tidak harus tidur berdesak-desakan layaknya ikan asin di 
emper-emper atau di lorong bangsal, bersama penjahat kelas teri yang tidak 
berduit. Sebenarnya kakak saya juga menyarankan hal yang sama, tetapi saya dan 
Ati berpikir lain. Kami berdua berpikir, biarlah Willy mendapatkan
pelajaran yang berharga dari penderitaannya selama di penjara. Kami berdua 
berharap siksaan tersebut memiliki efek jera terhadap Willy.
Walaupun ada oknum penegak hukum yang menawarkan kekebasan dengan sejumlah 
uang, namun saya dan Ati tidak mau melibatkan diri dengan hal-hal yang berbau 
ketidakadalian dan KKN. Kami berdua justru berharap dengan terkurung di 
penjara, Willy bisa duduk diam, mendengar dan menerima Firman Tuhan. Setidaknya 
kami berharap  bisa mengetuk pintu hati Willy sehingga ada tersedia tempat bagi 
Tuhan di hatinya.

Sejak Willy mendekam di rutan Salemba saya rindu untuk melawat, sekedar 
meminjamkan telinga, hati dan mulut saya, sama seperti saya memperlakukan Ati. 
Tapi sayang, kakak saya keberatan kalau saya harus datang ke tempat para 
pendosa itu dikurung. Banyak hal mengerikan yang diceritakan oleh kakak saya, 
membuat hati saya ciut sehingga tidak ada nyali sedikitpun untuk datang 
sendirian ke rutan salemba. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa di dalam rutan 
praktek UUD (Ujung-Ujungnya Duit) masih tetap kental. Bukan hanya para napi dan 
tahanan yang "diporoti", keluarga atau tama yang membesuk juga "dipalak". Kakak 
saya yang datang atas nama hukum saja selalu kena "palak" di setiap pintu 
pemeriksaan.
Waktu Willy merasa putus asa karena hampir seluruh kulitnya borokan dan 
kejelasan waktu sidang juga belum ada, Willy mengirim SMS yang mengatakan 
dirinya ingin bunuh diri saja. Willy menantang Ati untuk memutuskan hubungan 
persaudaraan karena Ati menolak permintaannya untuk membayar kamar dan "salam 
tempel" untuk oknum yang menjanjikan keringanan perkara. Sekali lagi, saya dan 
Ati tidak mau menggunakan perasaan. Kami berdua berkeras dan menyerahkan 
perkara Willy ke dalam jalur hukum yang normal, walaupun
beresiko pada vonis hukuman yang cukup berat untuk Willy.

Beberapa saat saya dan Ati tidak mau terlalu berat memikirkan Willy. Kami 
percaya Tuhan punya rencana tersendiri untuk Willy. Bahkan secara ekstrim saya 
dan Ati berprinsip bahwa kami bukanlah juru selamat yang bia menolong Willy dan 
biarlah Willy mencari dan mengandalkan Juru Selamat yang Sejati.
Kamis 10 Maret 2005, menjelang libur hari Raya Nyepi, tiba-tiba HP saya 
berdering. Ketika saya lihat nama Ati terpampang di layar ponsel, saya bergegas 
mengangkatnya. Saya tahu persis, kalau Ati menelpon berarti sedang ada masalah 
yang serius. Ketika Ati menanyakan kesediaan saya untuk membantu membelikan 
soft lens untuk Willy, saya masih mencoba menawar untuk mengirimkan softlens 
tersebut lewat kakak saya pada hari Senin. Namun karena Ati mengatakan bahwa 
softlens Willy sudah kedalu warsa, maka tanpa berpikir
lagi saya pun langsung mengiyakan. "Inilah kesempatan saya berkunjung ke rutan 
Salemba, mumpung tidak ada kakak yang melarang" begitu pikir saya.
Memang Ati hanya mempercayakan keuangan untuk Willy melalui saya, sehingga 
hal-hal yang berkaitan dengan uang, Ati selalu mentransfer ke rekening saya.

Begitu telepon ditutup saya mulai kebingunan. Di satu sisi saya ingin melawat 
Willy, di sisi lain saya  takut dengan birokrasi untuk masuk ke rutan. Terlebih 
pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan akibat narapidana salah 
mengartikan perhatian dan kasih sayang kami. Ketika masih kuliah dulu saya 
melayani beberapa narapidana di LP Salatiga, Jawa Tengah. Begitu narapida 
memasuki masa asimilasi dan diberi kesempan bersosialisasi dengan dunia luar, 
beberapa dari mereka ada mencari ke kampus karena merasa pernah diperlakukan 
secara special.
Walaupun saya yakin Willy tidak akan menyusahkan saya, tapi saya terus ingat 
Ati yang selalu wanti-wanti karena sorot mata Willy yang alim, memelas tapi 
penuh tipuan. Saya mulai bingung dan panik karena membayangkan betapa ngerinya 
saya masuk sendirian ke dunia yang sangat asing. Saya mencoba menghubungi De 
De, Di Di dan adik-adik rohani sekaligus teman diskusi saya dari Gereja Kristus 
Ketapang. Sayang sekali, mereka sudah punya acara
sendiri-sendiri.

Sementara itu tanggal 11 Maret jam 11.00 saya sudah membuat janji untuk datang 
dalam acara jumpa darat member milis Kristen-Katolik ceramah yang saya ikuti. 
Rasanya sangat tidak bijaksana kalau saya ingkar janji atau tidak datang. 
Terlebih ada seorang rekan milis yang meminta saya untuk membawa asinan Bogor. 
Otak ini rasanya mau pecah, karena  banyak sekali hal yang belum tertangani 
sore itu.
Sambil menunggu bis jemputan, saya mencoret-coret daftar kegiatan yang harus 
saya selesaikan, diantaranya : mengambil uang di ATM, membeli soft lens, 
mencari teman untuk ke rutan, mencari informasi dari kakak mengenai tata cara 
membesuk Willy, membeli asinan Bogor, datang ke jumpa darat di Mall Artha 
Gading jam 11.00,  dan membesuk Willy jam 13.00.

Dengan banyaknya hal yang harus diselesaikan, saya memutuskan untuk mulai 
melakukan sebagaian mulai sore itu, paling tidak untuk mengambil uang di ATM 
dan membeli soft lens. Saya pun sengaja tidak pulang dulu ke rumah, tetapi 
langsung ke Plaza Jambu Dua, Bogor. Setelah ada cukup uang tunai di tangan, 
saya mencoba mencari soft lens yang dipesan Willy. Sayang sekali, dari 2 optik 
yang saya datangi, semuanya tidak menyediakan soft lens untuk ukuran minus 11. 
Petugas optik tersebut menyarankan saya mencoba mencari soft lens
tersebut ke beberapa optik di Plaza Ekaloka, di Sukasari.
Semula saya agak ragu, karena hari sudah gelap sedangkan kacamata saya sendiri 
tertinggal di bis jemputan. Namun demi Willy, saya nekat juga untuk pergi. 
Perjalan saya memang agak terhambat karena dalam situasi gelap dan tanpa 
kacamata, saya tidak berani menyeberang. Mau tidak mau, saya sedikit membuang 
waktu untuk naik angkot 09 yang ngetem di dekat Plasa Jambu Dua sambil menunggu 
angkot itu penuh.

Dari tujuh optik yang ada di Ekaloka, ternyata tidak satu pun yang memiliki 
persediaan soft lens untuk ukuran yang dimaksud. Saya mencoba menghubungi Ati 
dan istri Willy, tetapi HP mereka tidak satu pun yang aktif. Semula saya sudah 
GR (gede rasa) dan menyangka kalau memang Tuhan tidak mengijinkan saya pergi 
sendirian ke rutan Salemba.
Kira-kira jam 20.30 saya keluar dari Plaza dengan hati yang sangat cemas. 
Kebetulan penerangan di depan Plaza yang masih relatif baru itu sangat kurang. 
Di sisi lain, banyak kendaraan yang melintas di depan Plaza dengan kecepatan 
tinggi. Saya berpikir sejenak supaya bisa menyeberang jalan dengan aman.  
Sejenak kemudian saya memutuskan untuk naik angkot ke depan Terminal Tas Tajur 
karena penerangan di sana cukup bagus dan jalanan cukup datar sehingga saya 
berharap dapat menyeberang dengan mudah.

Sejenak pikiran saya blank dan tahu-tahu saya sampai tempat yang gelap dan 
sepi. Itulah salah satu kelemahan saya yang mudah sekali mengalami disorientasi 
ruang di dalam suasana gelap. Karena sudah terlalu jauh, saya pun turun. Dengan 
setengah berlari, saya menyeberang di tempat yang benar-benar sepi itu. Begitu 
sampai seberang, saya baru tahu bahwa saya sedang berada di depan tempat 
bilyard yang remang-remang. Lama saya menunggu angkot yang lewat, hati saya pun 
mulai menguluh "Tuhan, saya ingin melayani,
tapi jangan terlalu sulit seperti ini!"
Begitu ada angkot lewat, saya pun segera naik. Di dalam angkot itu saya masih 
menggugat Tuhan "Tuhan, dari dulu saya sudah melayani orang-orang miskin yang 
kelaparan dan hidup menggelandang, masihkan saya harus melawat orang yang di 
penjara?". Suara hati saya mulai menegur "Kamu pikir, Amanat Agung dalam Matius 
25:31-46 sudah kau lakukan dengan sempurna? Kamu jangan terlalu cepat puas, 
masih banyak yang belum kamu lakukan untukKu. Sekarang saja, untuk melawatKu di 
penjara, kamu setengah hati"

Begitu sampai rumah saya masih berusaha menelpon Willy, dengan harapan ia sabar 
menunggu softlens hingga hari Senin. Namun Willy mengeluh, karena matanya sudah 
memerah dan kulitnya borokan, sehingga ia berharap saya mencarikan soft lens 
dan  caladin cair di Pasar Baru, dan sebelum jam 13.00 saya harus sudah berada 
di rutan Salemba. Saya kembali bingung. Untung saja, kakak saya segera mengirim 
SMS mengenai petunjuk besuk narapidana.
Sebelum berangkat tidur, seorang teman sesama warga Bogor yang hendak ikut 
acara jumpa darat, mengirim SMS menanyakan baju yang akan saya pakai besok.
Terus terang saya masih bingung, mencari baju yang layak untuk bertemu dengan 
orang-orang terhormat di sebuah mall, tetapi juga cocok untuk berkunjung ke 
penjara. Dengan dua acara yang sangat berbeda itu saya ingin penampilan saya 
tidak terlalu mencolok ketika di penjara, tetapi juga tidak terlalu njomplang 
dengan teman-teman dari kalangan yang terpelajar.

Singkat cerita, acara jumpa darat dengan teman-teman sungguh sangat 
menyenangkan. Rasanya ingin sekali saya melanjutkan curhat dengan beberapa 
member yang sudah terbiasa curhat di milis. Suasana yang hangat dan penuh 
persaudaraan itu membuat saya engan untuk meninggalkan acara tersebut. Ada 
perasaan sedih dan kecewa ketika alarm reminder ponsel saya berdering, tanda 
saya harus segera pergi ke Pasar Baru. Berat rasanya saya meninggalkan "pesta 
kecil" dengan makanan lezat dan istimewa yang dibawa oleh rekan-rekan yang jago 
masak. Ego saya pun sedikit berontak seraya berkata "Willy, kenapa
sih kamu bikin kejahatan dan pakai ngrepotin saya segala? Nglawat sih ngalawat, 
tapi saya kan juga berhak untuk bersuka cita. Masak sih kamu tega merampas 
kesempatan emas saya bersama teman-teman curhat yang seiman?".
Untung saja, pemberontakan itu segera saya tepis sendiri dengan mengingat 
perkataan Tuhan Yesus "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk 
salah seorang dari saudaraKu yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk 
Aku"

Sebenarnya saya malu untuk berterus terang dengan teman-teman milis yang sangat 
terpelajar itu, bahwa saya punya saudara angkat, seorang pendosa yang harus 
mendekam di penjara. Namun, untuk berbohong saya juga tidak bisa.
Lagi pula rasanya tidak ada alasan lain yang lebih tepat dan bijaksana untuk 
meninggalkan persekutuan itu selain alasan yang sebenarnya. Puji Tuhan, dengan 
keterusterangan saya beberapa rekan senior justru sangat mengerti.
Ibu Ine yang jago masak dan Cik Aina, teman curhat saya yang paling seru 
membekali saya dengan beberapa bungkus makanan untuk Willy. Walaupun tas 
plastik hitam berisi makanan sungguh tidak serasi dan merusak penampilan saya, 
namun demi Willy saya rela melakukannya.

Begitu selesai berpamitan, secepat kilat saya meninggalkan tempat bergensi itu, 
menuju ke Pasar Baru. Suasana pasar yang tidak teratur dan agak kumuh, membuat 
saya kurang nyaman. Hati kecil saya pun mulai mengeluh "Tuhan, kenapa sih susah 
amat melakukan kehendakMu. Di dalam Injil, Engkau hanya memintaku untuk melawat 
orang di penjara, tapi kenapa Engkau tuntut juga aku untuk keluar masuk tempat 
yang tidak elit ini?" Suasana yang tidak nyaman tersebut mendorong saya untuk 
segera meninggalkannya dan dengan dengan
langkah seribu, saya menuju ke tempat di mana Willy mendekam.
Walaupun di setiap pintu penjagaan/pemeriksaan, jelas-jelas tertulis "Kunjungan 
Tidak Dipungut Biaya" tetapi dalam prakteknya tetap saja UUD.
Untuk sampai ke dalam dan bertemu dengan kaum terpenjara, saya harus melewati 4 
(empat) pintu, masing-masing dengan salam tempel sebesar Rp.10,000. "Willy, 
kasus umum, pasal 378" dengan sok PD saya mengucapkan "pasword" yang dipesan 
kakak, saat masuk pintu pemeriksaan.

Entah pada pintu yang keberapa, saya diminta masuk ke ruang tertutup untuk 
diperiksa. Semua isi tas harus dikeluarkan. Beberapa saat kemudian, saya 
diminta mengangkat kedua tangan dan seorang petugas perempuan meraba seluruh 
permukaan tubuh saya. Kantong-kantong saku saya tak terlewatkan juga dari 
pemeriksaan petugas. Begitu petugas tahu bahwa saya membawa HP, saya diminta 
untuk menitipkannya dengan biaya Rp. 10,000 juga. "Duit lagi, duit lagi" kata 
saya dalam hati setengah geregetan.
Ketika saya sudah lolos pemeriksaan di bagian perempuan, saya pun masuk ke 
pintu kerangkeng yang berikutnya. Namun sebelum badan saya masuk kerangkeng 
seluruhnya, tiba-tiba seorang penjaga laki-laki menangkap tangan saya "Eits, 
dicap dulu!" katanya. Tanpa permisi dan tanpa menanyakan saya suka atau tidak 
suka, petugas itu membubuhkan stempel di atas pergelangan tangan saya.
Walaupun hati saya berontak diperlakukan seperti binatang, saya tak mampu 
menolaknya. Terlebih kejadiannya sangat cepat dan tidak meminta persetujuan 
saya sebelumnya.

Begitu sampai di dalam kerangkeng, beberapa pembesuk laki-laki mentertawakan 
saya sambil berkata "He,he,he.mbak disangka laki-laki, ya?!" Saya pun baru 
sadar, ternyata dari sekian banyak pembesuk perempuan, hanya saya yang 
distempel. Saya cuma mesam-mesem, setengah malu bercanpur geli "Akhirnya si 
tomboy ini kena batunya juga" saya meledek diri sendiri.
Ketika sampai di dalam, saya agak kesulitan mencari Willy karena memang 
sebelumnya belum pernah bertemu. Namun melihat saya clingak-clinguk, Willy pun 
menghampiri saya sambil menyodorkan tangan "Ini Mbak Ning, temannya Koko ya?" 
Saya pun tersenyum. Agak lama kami berputar-putar memilih tempat. Beberapa 
pembesuk yang punya cukup uang memang membayar petugas supaya bisa duduk dan 
ngobrol di sofa di ruangan kantor rutan. Namun sayang waktu itu ruangan sudah 
dipenuhi oleh beberapa tahanan dan keluarganya yang tentunya sudah lebih dulu 
membayar "O...ternyata bukan cuma hotel yang fullbook" kata saya dalam hati.

Semula Willy mengajak saya berdiri di emper kantor rutan yang cukup terlindung 
dari sengatan matahari. Namun tak lama, kami diusir oleh petugas karena tempat 
itu juga sudah "dipajak" oleh tahanan lain. Saya dan Willy pun pindah ke tempat 
lain. Setelah menengok kesana kemari, tidak ada pilihan lain keculai jongkok 
berhimpit-himpitan dengan nara pidana lain. Saya berusaha mengambil jarak 
kira-kira 20 cm supaya tidak bersinggungan dengan
Willy, tapi pundak dan badan saya justru menempel dengan tahanan lain.
Suasana barak di rutan siang itu mirip dengan terminal Pulo Gadung sehari 
menjelang lebaran.
Begitu saya siap meminjamkan telinga, Willy memuntahkan segala kekesalan dan
kemarahannya terhadap sikap Kokonya; Ati. Saya menjadi merasa bersalah dan 
bertanggung jawab untuk meluruskan, karena selama ini saya pun banyak 
mempengaruhi sikap Ati. Ketika Willy menuduh Ati tidak mempedulikannya, dengan 
jujur saya katakan "Sekarang ini saya ada di sini karena Tuhan dan Ati yang 
meminta. Sebelumnya kita bukan siapa-siapa dan saya besedia datang ke sini 
karena Tuhan dan Ati sangat mengasihi Willy".

Tidak mudah untuk meluluhkan hati Willy. Pandangan mata Willy yang memelas dan 
sok alim yang diceritakan Ati sama sekali tidak terbukti. Yang ada hanyalah 
pandangan kebencian yang liar. Rasanya dulu selama tinggal di Kalimantan Barat, 
saya belum pernah menemukan China se-preman Willy.
Walaupun kulitnya masih tetap putih dan matanya masih tetap sipit, tetapi wajah 
Willy sangat jauh dari kesan kalem. Kulit tangannya yang dihiasi borok memang 
membuat saya jatuh kasihan sekaligus jijik. Tapi mau bagaimana lagi, untuk 
sedikit menjauh darinya, sudah tidak ada tempat lagi.
Walaupun saya sudah mengenakan baju yang sederhana mungkin, tapi sejujurnya 
penampilan saya siang itu paling mencolok. Asli, waktu itu semua orang pasti 
akan setuju kalau saya paling cantik di antara pembesuk lainnya. Mungkin itulah 
sebabnya kakak melarang saya duduk bersama dengan para pelaku kejahatan dan 
keluarganya yang tidak jauh berbeda sangarnya.

Walaupun banyak pembesuk perempuan yang berdandan menor, tapi jelas terlihat 
bahwa dadanan dan penampilan mereka sangat jauh dari kesan terpelajar.
Lipstik tebal, eye shadow mencolok dan blus on kemereh-merahan tidak sanggup 
menyembunyikan raut muka yang putus asa.
Walaupun pakaian saya cukup sederhana, tetapi kulit tangan saya yang lebih 
mengkilat karena usapan hand body lotion, dan bau wangi parfum yang menyegarkan 
serta sepatu boot yang tersemir mengkilat, membuat saya menjadi pusat perhatian 
para tahanan dan keluarganya. Willy pun berbisik ke telinga saya  "Mbak, 
gara-gara saya ditengok orang keren seperti Mbak, nanti saya malah repot. 
Petugas pikir, saya ini orang berada dan mereka akan meminta bagian dari saya. 
Untuk sekali keluar seperti ini saja, saya harus membayar
uang pintu Rp. 20,000. Di sini apa-apa harus membayar. Kita juga diijinkan 
menggunakan HP, tapi juga harus membayar pajak"
"Untuk makan bagaimana?" tanya saya.
"Sama saja Mbak. Kalau mau mendapatkan makanan yang bersih dan sehat, saya 
harus membeli sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi di sini. Kalau tidak ada 
uang, saya tidak bisa makan yang layak. Mbak, boleh nggak nanti saya minta 
uang, biar nanti Koko yang mengganti" pinta Willy
"Ini ada uang Rp. 100,000 punya Koko" kata saya.
"Sst..hati-hati Mbak ngasihnya. Kalau ada orang yang tahu, nanti saya dipalak" 
Willy mengingatkan.

Karena wajah Willy masih agak tegang dan sedikit sangar, saya mencoba 
menawarkan makanan yang saya bawa dari tempat acara jumpa darat. Tanpa rasa 
canggung sedikitpun, Willy langsung membuka bungkusan yang saya berikan.
Hati saya sangat miris ketika melihat Willy melalap habis makanan yang saya 
bawakan. Willy benar-benar rakus, seperti orang yang sudah seminggu tidak 
makan. Walaupun saya berusaha membuang padangan, namun sudut mata saya masih 
saja menangkap pemandangan memilukan yang berjarak kurang lebih 20 cm dari mata 
saya.
Hati saya semakin teriris, ketika Willy menceritakan malam-malam panjang selama 
di rutan. Gara-gara tidak bisa membayar uang kamar Rp. 2 juta, Willy terpaksa 
tidur di emper-emper atau lorong bangsal. Untuk mencegah supaya air mata saya 
tidak menetes, saya berusaha mengajak Willy berngajaknya ngobrol santai.
"Willy, kamu masuk ke sini karena petualangan atau kecelakaan sih? Apa sih 
enaknya main-main dengan perbuatan tidak baik kalau cuma akhirnya 
menyengsarakan?" tanya saya.
Willy pun mulai tersenyum sambil berkata pelan "Ya, beginilah jalan hidup saya!"
Saya tak mau kalah "Dulu Ati juga tidak kalah gilanya, tapi mau bertobat.
Seharusnya kamu pun bisa bertobat"
"Nanti setelah keluar dari sini, saya akan mengikuti jejak Koko" jawab Willy.
"Bener nich? Kalau kamu nggak bertobat, malu-maluin Koko kamu yang jadi pelayan 
Tuhan" kata saya sekenanya.
"Oh iya tho Mbak?! Memangnya Koko mau jadi pendeta ya? Saya juga nggak tahu 
tuh, kenapa Koko bisa berubah begitu?" Willy keheranan.
"Yang aneh bukan Koko, tapi kamu yang keras kepala, nggak mau dengerin 
kata-kata Koko kamu. Kamu harusnya sadar, sudah banyak pengorbanan Koko untuk 
kamu, mama dan adik-adik kamu. Besok kalau Koko kamu pergi sekolah lagi, 
seharusnya kamu yang mengambil alih tanggung jawab keluarga" saya menasehati.
"Iya Mbak, saya janji kalau nanti sudah bebas, saya akan kerja baik-baik biar 
dapat uang. Makanya tolong bilang ke Koko untuk segera mengeluarkan saya dari 
sini" Willy memohon dengan wajah yang sudah mulai ramah.
"Saya nggak janji lho, Ati orangnya pantang untuk menyuap atau memberi uang 
pelicin. Ati maunya Willy melalui proses hukum yang normal" jawa saya.

Ketika bel tanda jam besuk berakhir, saya pun begegas keluar. Sama seperti 
waktu masuk, untuk keluarpun saya harus melewati beberapa kerangkeng besi yang 
dilengkapi dengan gembok yang teramat besar. Sebelum saya meninggalkan gerbang 
paling depan, saya menengok ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan bahwa tidak 
ada teman atau kenalan yang melihat saya keluar dari hotel prodeo itu. Begitu 
yakin tidak ada seorang pun yang saya kenal di sekitar jalan Percetakan Negara 
itu, saya pun berusaha kabur secepat mungkin.

Di sepanjang perjalanan dari rutan Salemba hingga Bogor, telapak tangan kanan 
saya berusaha menutup punggung tangan kiri saya yang masih menyisakan stempel. 
Di bis, sesekali saya mengintip stempel di tangan saya seraya berkata "Inilah 
hadiah yang terindah buat seorang terpenjara". Hadiah terindah yang saya 
berikan memang bukanlah oleh-oleh materi yang kasat mata, tetapi kerelaan saya 
merendahkan diri, menyangkal keinginan daging dan kesanggupan melewati 
perjuangan yang panjang untuk bisa melawat dan "jongkok
bersama" dengan orang terpenjara yang merupakan sampah di mata masyarakat umum.

[Non-text portions of this message have been removed]



-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke