KETIKA ALLAH
DIGUDANGKAN OLEH ORANG KRISTEN…

 

oleh:
Denny Teguh Sutandio

 

 

 

Ketika kita mendengar kata
gudang, apa yang ada di benak kita? Tentu gudang adalah sebuah tempat
penyimpanan barang-barang bekas yang tidak kita pakai entah itu di rumah atau 
perusahaan/kantor
atau di sekolah/universitas. Intinya, gudang identik dengan barang bekas.
Namun, bagaimana jika barang yang penting bahkan terpenting kita letakkan di
gudang? Tentu itu sebuah ketidakberesan. Bagaimana jika Allah sebagai Pemilik
alam semesta ini digudangkan oleh manusia? Kalau manusia dunia menggudangkan
Allah, itu wajar, karena dosa membuat manusia tidak mengenal Allah dengan
beres. Namun bagaimana jika Allah digudangkan oleh orang Kristen? Saya tidak
bisa membayangkannya. Apa yang dimaksud dengan menggudangkan Allah?
Menggudangkan Allah berarti menempatkan Allah di tempat pembuangan (identik
dengan bekas/sisa) dengan cara:

 

Pertama,
tidak mengakui otoritas keberadaan-Nya. Allah sebagai Pencipta dan Pemilik
sekaligus Pemelihara alam semesta ini adalah Allah yang berada/eksis pada
diri-Nya sendiri dan berkuasa atas semua kehidupan manusia dan dunia. Di luar
diri-Nya, tidak boleh ada ilah lain yang boleh disembah oleh umat-Nya. Namun,
bagaimanakah jika ada orang Kristen yang katanya percaya dan beribadah kepada
Allah Trinitas namun tidak mengakui keberadaan-Nya? Hah, mana mungkin? Bukankah
orang Kristen rajin pergi ke gereja, memuji Tuhan, dan mengikuti pendalaman
Alkitab/seminar rohani? Aktivitas-aktivitas tersebut hanya menunjukkan bahwa
seseorang itu orang yang berAGAMA Kristen (yang religius), tetapi tidak pernah
membuktikan dia sungguh-sungguh berIMAN Kristen. Orang yang hanya sekadar
berAGAMA Kristen yang tidak mengakui keberadaan-Nya identik dengan orang yang
tidak mengizinkan Allah berotoritas mutlak dalam hidupnya (bahkan titik
ekstremnya: membuang Allah sama sekali dalam kehidupannya, seraya berkata
seperti Friedrich Nietzche, “God is dead”).
Di gereja, mungkin ia tampak seperti malaikat yang selalu menebar senyuman
paling hangat, namun ketika di luar gereja, mulai hari Senin s/d Sabtu, prinsip
dunialah yang diikutinya, seperti: “di mana ada kemauan, di situ ada jalan”,
“Sukses adalah hak saya”, “Miskin adalah dosa”, dll. Kemudian, kalau ada
masalah, Allah kembali diingat dan dimintai tolong, namun begitu masalah usai,
Allah ditendang keluar dari hidupnya, begitu seterusnya. Allah tidak ada
bedanya dengan ban serep yang hanya diperlukan kalau memang lagi penting dan
mendesak. Di dalam pendidikan Kristen, entah itu di rumah tangga atau di
sekolah, hal serupa dapat dijumpai. Anak-anak dari kecil TIDAK pernah dididik
untuk takut akan Tuhan dan menggumuli apa panggilan Tuhan dalam diri anak-anak,
tetapi sebaliknya banyak anak dari kecil diindoktrinasi bahwa anak-anak harus
memenuhi semua kebutuhan orangtua dan masa bodoh dengan panggilan Allah (bahkan
TIDAK percaya pada panggilan Allah secara khusus pada masing-masing pribadi). 
God’s dead “theology” sedang masuk dan
meracuni Kekristenan secara pelan namun pasti. Waspadalah!

 

Kedua,
tidak mengakui otoritas dan kuasa firman-Nya. Sebagai orang Kristen, kita
percaya bahwa Alkitab itu adalah firman Allah yang tak mungkin bersalah dalam
naskah aslinya, namun sayang sekali, kepercayaan ini hanya kepercayaan yang
diucapkan di mulut saja tanpa pernah diaplikasikan. Sebagai orang Kristen
Injili yang memegang teguh ketidakbersalahan Alkitab, benarkah Alkitab dihargai
sebagaimana mestinya? Bukankah di banyak gereja Injili, Alkitab tidak 
dikhotbahkan
secara berseri (eksposisi)? Di sisi lain, mereka yang berpaham Injili yang
mengerti dan mendalami Alkitab secara teliti sampai ke dalam bahasa Ibrani dan
Yunani, namun sampai sejauh mana pengertian Alkitab itu diaplikasikan ke dalam
kerohanian dan kehidupan sehari-hari? Saya pribadi takut dengan beberapa orang
Kristen yang makin banyak belajar theologi baik melalui seminar, buku-buku, dll
hanya sekadar mengisi otak mereka dengan pengetahuan theologi dan filsafat yang
tinggi, namun hatinya kering: tidak ada pengalaman pribadi dengan Allah. Atau
ada banyak orang Kristen yang katanya percaya Alkitab itu firman Allah malahan
malas membaca Alkitab, namun berani menerjunkan diri ke dalam pelayanan
gerejawi. Sudah ada faktanya, orang “Kristen” macam ini dapat dengan mudahnya
percaya pada perkataan seorang pemimpin gereja yang tidak percaya Allah
Tritunggal. Hal ini TIDAK berarti orang yang mau melayani Tuhan di gereja
(misal: kolektan, usher, dll) harus minimal S-1 theologi. TIDAK. Yang saya
maksudkan, ketika orang Kristen ingin melayani Tuhan, ia tentu harus mengetahui
Pribadi yang dia layani melalui firman-Nya, seperti seorang pembantu rumah
tangga yang tentu harus mengetahui secara mendasar apa yang dikehendaki
tuannya (makanan/minuman kesukaan tuannya, dll). Beranikah seorang pembantu
rumah tangga berkata kepada tuannya, “Tuan, saya tidak perlu mengetahui tuan
suka apa, yang penting saya melayani tuan”? Jika ada pembantu berani berkata
demikian, saya jamin, tuannya langsung memecat si pembantu, karena si pembantu
kurang ajar. Itulah bentuk kekurangajaran banyak orang Kristen yang katanya
melayani Tuhan tetapi tidak mengerti Pribadi yang dilayaninya. Makin orang ini
melayani Tuhan di gereja, ia makin menghina Tuhan, karena ia makin egois. Atau
mungkin ada tipe orang “Kristen” (Protestan/Katolik) yang rutin ke gereja
setiap hari Minggu untuk mendengarkan khotbah, namun tidak pernah 
menjalankannya.
Misalnya, di gereja, pengkhotbah mengajarkan sesuai dengan Alkitab bahwa kita
harus mencari pasangan yang seiman, namun ada orang “Kristen” (biasanya banyak
cewek) yang lebih meniru filsafat dunia akhirnya mencari pasangan hidup yang
“berprospek/mapan” (pengusaha kaya) dan tidak lagi memperhatikan seiman atau
tidak. Berhati-hatilah saudaraku.

 

Ketika Allah digudangkan
oleh banyak orang “Kristen”, sebenarnya itu membuktikan Allah itu tidak
berharga dalam hidup mereka dan sekaligus membuktikan dunia dan diri mereka
sendiri yang paling berharga. Sudah saatnya orang Kristen BERTOBAT! Sebagai
pengikut Kristus yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk taat kepada
Kristus, tempatkanlah Allah di tempat yang seharusnya yaitu sebagai Raja dan
Pemilik mutlak hidup kita dengan cara:

Pertama,
Rajakanlah Kristus dalam hidup kita. Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Sutjipto
Subeno, M.Div., dan Pdt. Dr. Erastus Sabdono, D.Th. sama-sama mengatakan satu
hal: banyak orang Kristen hanya mau menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat,
tetapi tidak sebagai Tuhan. Inilah banyak problematika keegoisan orang Kristen
yang hanya mau diselamatkan, tetapi tidak mau diatur hidupnya oleh Tuhan. Tuhan
Yesus memang Juruselamat bagi umat pilihan-Nya, tetapi Ia juga Raja dan Pemilik
dunia ini termasuk kehidupan umat-Nya, sehingga sudah seharusnya kita yang
termasuk umat-Nya bukan hanya mau diselamatkan, tetapi juga menyerahkan kendali
hidup kita pada takhta Kristus, seraya berseru seperti Prof. Dr. Ds. Abraham
Kuyper: tidak ada satu inci pun dalam hidup kita di mana Kristus tidak
berteriak, “Itu milikku.” Biarkanlah Kristus bertakhta dan menguasai seluruh
inci kehidupan kita, baik dalam kehidupan rohani, pendidikan, politik, ekonomi,
hukum, sosial, kemasyarakatan, dll. JANGAN pernah ada lagi pernyataan yang
terlontar dari mulut kita, “agama dan sains tidak ada hubungannya!” Perkataan
itu adalah perkataan yang menggudangkan Allah!

 

Kedua, rendah
hati dikoreksi oleh firman-Nya. Seorang yang telah merajakan Kristus di dalam
hidupnya adalah seorang yang rendah hati dikoreksi oleh firman-Nya (Alkitab). 
Baginya,
Alkitab bukan buku sakti atau buku manusia biasa, tetapi surat cinta Allah.
Orang ini akan dengan sukacita besar membaca Alkitab dan jika ia menemukan
prinsip-prinsip hidupnya (atau bahkan tradisi) yang salah dan bertentangan
dengan firman-Nya, maka ia dengan rendah hati mengubah prinsip hidupnya agar
sesuai dengan firman-Nya. Di dalam bukunya, “Mengapa Percaya?”, Rev. R. C.
Sproul, Ph.D. pernah mengungkapkan, “Dengan
mempelajari bagian-bagian Kitab Suci yang ofensif bagi kita, kita memiliki
kesempatan untuk menemukan nilai dan konsep kita yang tidak selaras dengan
kebijaksanaan Allah. Jika kita merasa diserang oleh Alkitab, barangkali
kesalahannya bukanlah pada Allah, melainkan nilai-nilai kita sendiri yang rusak
dan menyimpang.”
(hlm. 19-20) Dengan kata lain, kita menjadikan Alkitab sebagai kacamata
sekaligus cermin yang menyelidiki keseluruhan hidup kita bahkan hati kita yang
terdalam, sehingga mulai dari hati, pikiran, perkataan, tindakan, dll kita
memuliakan nama-Nya.

 

Bagaimana dengan kita? Masihkah
kita menggudangkan Allah? Biarlah kita yang telah ditebus oleh darah Anak Domba
Allah menyadari seberapa pentingnya Allah itu dan berkomitmen menempatkan-Nya
sebagai Raja dalam hidup kita. Biarlah hal ini juga bukan hanya teori di
pikiran kita saja sebagai bahan studi, tetapi benar-benar kita aplikasikan di
dalam kehidupan kita sehari-hari dengan pimpinan Roh Kudus yang dinamis. Amin.
Soli Deo Gloria.



“Ketika saya menganggap Allah sebagai seorang tiran, saya melihat dosa saya 
sebagai hal yang sepele, tetapi ketika saya mengenal Dia sebagai Bapa saya, 
maka saya meratapi bagaimana saya pernah melawan-Nya.”
(Rev. Charles H. Spurgeon, seperti dikutip dalam Prof. Edward T. Welch, Ph.D., 
Depresi, hlm. 115)



Kirim email ke