TENT-MAKER?

 

oleh: G. I.
Jeffrey Siauw, S.T., M.Div.

 

 

 

Sekitar 15 tahun yang lalu,
saya pertama kali mendengar istilah “tent-maker.”
Saya tidak tahu apa artinya, tetapi keren kedengarannya. Setelah dijelaskan,
saya baru tahu bahwa istilah itu mengacu kepada Paulus yang pernah menjadi
tukang kemah:

“...Mereka bekerja bersama-sama,
karena mereka sama-sama tukang kemah”
(Kis. 18:3).

 

Apa artinya? Paulus adalah
seorang rasul, dia pergi memberitakan Injil dan mengajarkan Firman Tuhan di
banyak tempat. Tetapi di saat yang sama, dia juga adalah seorang businessman, 
memproduksi dan menjual
kemah. Maka istilah “tent-maker” yang
saya dengar itu maksudnya adalah seorang hamba Tuhan (dalam arti dia
berkhotbah, melakukan penginjilan, terlibat dalam lembaga pelayanan atau bahkan
menggembalakan gereja), tetapi di saat yang sama juga adalah seorang 
businessman. 

 

Konsep “tent-maker” ini sempat menarik hati saya. Saya mulai sadar bahwa
Tuhan memanggil saya untuk melayani Dia sepenuh waktu. Tetapi itu langkah yang
terlalu besar bagi saya, maka saya mulai membayangkan alangkah indahnya konsep
ini: saya bisa bekerja, bisnis, lalu tetap melayani, ok lah kalau harus
berkhotbah dan bepergian selama 2 bulan setiap tahun. Tetapi itu lebih baik
bagi saya!... Akhirnya Tuhan tunjukkan bukan itu yang Dia mau. 

 

Dalam beberapa tahun ini, saya
masih suka mendengar istilah ini dipakai. Dan saya makin melihat kesalahannya.
Bukan Paulus yang salah menjadi tent-maker
tetapi kita yang salah meniru Paulus. 

 

Paulus melayani sebagai rasul
di antara orang-orang Yunani. Dia datang ke suatu tempat, dia mulai menginjili
dan kemudian mengajar mereka bagaimana menjadi murid Yesus. Ia tidak ingin
orang-orang yang baru mengenal Tuhan itu menganggap dirinya sebagai pencari
upah, dan dengan demikian pekerjaan Tuhan terintangi (bdk. 1Kor. 9:10-15). Itu
sebabnya ia menjadi tukang kemah untuk menghidupi dirinya sendiri. 

 

Di dalam 1 Korintus, Paulus
berulang kali katakan bahwa dia berhak untuk terima upah, Tuhan sudah tetapkan
bahwa imam yang melayani di tempat kudus mendapat penghidupannya dari situ dan
Tuhan juga menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari
pemberitaan Injil itu. Paulus tidak pakai semua hak itu karena kondisi
pelayanannya yang berbeda, kalau boleh saya simpulkan: jemaat Korintus sangat
bermasalah.

 

Sebetulnya Paulus tidak
sepenuhnya hidup dari pekerjaannya sendiri (bagaimanapun mana mungkin bisnisnya
bisa sukses sementara ia terus berpindah-pindah tempat), ia juga menerima
tunjangan dari jemaat. Perhatikan ayat ini:

 “Jemaat-jemaat lain telah kurampok
dengan menerima tunjangan dari mereka, supaya aku dapat melayani kamu!” (2Kor. 
11:8).

 

Artinya Paulus menerima
tunjangan dari jemaat lain. Tetapi ia tidak mau terima dari jemaat Korintus,
walaupun dia berhak, karena kondisi jemaat Korintus. Mungkin karena
ketidakdewasaan mereka atau mungkin karena berbagai masalah dalam jemaat,
mengakibatkan pekerjaan Injil akan terhambat kalau Paulus menerima upah dari
mereka (Itu sebabnya dia tulis soal ini kepada mereka cukup panjang dalam 1Kor.
9:10-15).

 

Pendek kata, saya simpulkan,
Paulus menjadi “tent-maker” karena dia dipanggil menjadi rasul. Dia rela
lakukan apa saja untuk panggilannya. Ketika panggilannya itu akan terhambat
karena masalah uang (mungkin tidak ada yang kasih sehingga tidak ada uang atau
mungkin seperti di Korintus ada yang ngomel kalau Paulus hidupnya dibiayai
sehingga akhirnya Injil ditolak), maka dia akan bekerja menjadi “tent-maker.” 
Dia lakukan itu dalam
rangka menggenapi panggilannya.

 

Sekarang perhatikan bagaimana
orang-orang Kristen hari ini menggunakan istilah “tent-maker”:

1.     Istilah ini dipakai ketika ada orang yang banyak melayani Tuhan
(membawakan seminar, berkhotbah atau berkutat dalam pekerjaan misi) sambil
tetap dalam profesi atau bisnisnya. Saya tidak bilang mereka salah, tetapi
istilah ini tidak tepat. Kalau Tuhan memang tidak panggil dia untuk melayani
penuh waktu, maka profesi dan bisnis adalah panggilannya. Jelas dia bukan 
“tent-maker”, dalam arti seperti Paulus. 

2.     Istilah ini dipakai ketika ada orang yang mau melayani secara
penuh waktu tetapi tidak rela meninggalkan profesi atau bisnisnya. Alasannya?
Macam-macam. Bisa jadi karena lebih menghasilkan banyak uang (banyak pendeta di
gereja besar, punya bisnis yang juga besar), bisa juga supaya tidak bergantung
oleh gereja atau lembaga pelayanan (the
power is in my hand, I can leave anytime). 

Siapa sebenarnya “tent-maker” seperti Paulus hari
ini?  Saya kira orang-orang yang melayani di pedalaman, memulai jemaat
dari nol, tanpa ada lembaga misi yang mendukung, dan mereka harus berkebun
sambil melayani, merekalah “tent-maker” seperti Paulus. 

 

Tetapi yang harus kita sadari
adalah Paulus tidak bermaksud supaya dia ditiru, karena dulu dia menjadi 
tent-maker dalam keadaan ‘darurat’ dan
menyedihkan. Itu bukan kebanggaan. Apa bangganya menjadi “tent-maker”? Bukankah 
ketika seorang hamba Tuhan menjadi “tent-maker” itu menunjukkan
ketidakdewasaan jemaat dan kurangnya kasih dan hormat kepada Tuhan dalam
jemaat?  

 

Para hamba Tuhan yang menyebut
diri “tent-maker” juga harus
mempertanyakan motivasi mereka. Jujur istilah itu dulu menarik bagi saya bukan
karena itu panggilan Tuhan tetapi karena “the
power is still in my hand.” Saya tidak perlu bergantung pada gereja, saya
tidak bisa diatur-atur, saya bisa menjadi pengkhotbah keliling. Tetapi ketika
Tuhan panggil kita menjadi hamba Tuhan, Tuhan mau kita menjadi “hamba.” Bagi
mereka yang melayani di pedalaman dan harus menjadi “tent-maker”, juga harus 
ingat bahwa itu hanyalah keadaan darurat
bukan seterusnya. Ketika keadaan berubah, mereka harus mengajar jemaat untuk
menghidupi mereka. Itu ketetapan Tuhan. 

 

“Tent-maker” adalah istilah yang dulu memprihatinkan tetapi sekarang
dianggap keren.

 

 

 

Sumber:

http://jeffreysiauw.blogspot.com/search/label/g.Hamba%20Tuhan

 

 

 

Profil G. I. Jeffrey
Siauw:

G.
I. (Guru Injil) Jeffrey Siauw, S.T., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Kristus
Yesus (GKY) Singapore. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Teknik (S.T.) jurusan 
Teknik Industri di Universitas
Trisakti, Jakarta dan Master of Divinity
(M.Div.) di Institut Reformed, Jakarta. Saat ini beliau sedang menyelesaikan
studi Master of Theology (M.Th.)
bidang Perjanjian Baru di Trinity Theological College, Singapore. Beliau
menikah dengan Yudith.

 

 

 

Editor dan
Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

 

 



“Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan 
kelemahan kita sendiri.”
(Rev. Bob Kauflin, Worship Matters, hlm. 382)



Kirim email ke