BAHAYA RUTINITAS

 

oleh: Pdt.
Bigman Sirait

 

 

 

Rutinitas bisa menjadi jebakan
yang mengerikan, bahkan dalam keagamaan  sekalipun. Rutinitas kerja mampu
mengikis habis gairah hidup seseorang sehingga tak lagi tahu mengapa harus
bekerja. Dia dapat kehilangan alasan dalam menjalani pekerjaannya, sehingga
pekerjaan menjadi beban yang maha berat. Sementara di sisi lain, pekerjaan
menjadi kebutuhan hidup yang harus dijalani. Pada titik ini, orang bisa merasa
tertekan, dan sering kali menjadi anti klimaks. Melepas pekerjaannya begitu
saja, namun tak punya kegiatan berikutnya. Keputusan dibuat dalam keputusasaan.
Jelas persoalan demi persoalan segera muncul ke permukaan menjadi ancaman yang
menakutkan. Persoalan bergulir dari ruang kerja masuk kedalam rumah, dan tak 
jarang
berakhir dengan perpecahan. Padahal, jika diurut ke belakang, tak ada alasan
yang signifikan untuk sebuah perpecahan. Semua berjalan dari titik kecil yang
terakumulasi menjadi gelombang besar yang menghantam apa saja. Ya, titik-titik
kecil yang tak pernah diselesaikan telah mejadi badai dahsyat. Dapat anda
bayangkan betapa mengerikannya jebakan rutinitas dalam kehidupan ini. Kita
perlu selalu mawas diri, atau akan tewas diri. Karena itu selalu diperlukan
komunikasi sehat sebagai jalur keluar atas tekanan yang datang. Keluarga harus
dibangun menjadi benteng pertahanan yang solid. Bukan sekedar mengalihkan
pekerjaan, apalagi melarikan diri dari kenyataan. jangan sampai.

 

Dalam kehidupan rohani, Yesus
pernah mengkritisi sikap keagamaan Yahudi sebagai rutinitas keagamaan yang
telah kehilangan nilai yang sejati. ya, sebuah ritual tanpa roh spritual. Dalam
Matius 15:8, dikatakan bahwa Israel memulia-kan Tuhan hanya dengan bibir tapi
tidak dengan hati. Rutinitas beribadah sudah merasuki mereka. Situasi yang sama
juga terjadi saat ini. Umat terjebak dalam ibadah, tapi juga pertikaian antar
anggota yang sering kali menyakiti satu sama lain. Baik langsung maupun tidak.
Sehingga bagi sebagian orang merasa jenuh, bahkan tak jarang kemudian membatasi
diri atau mengundurkan diri. Tak lagi melayani, merasa lebih nyaman berlaku
pasif. Padahal sangat jelas tuntutan Tuhan atas setiap orang percaya untuk
hidup melayani dalam situasi apapun. Siap memberitakan Firman, baik atau tidak
baik waktunya (2Tim. 4:2). Segera muncul pertanyaan, apa yang seharusnya
dilakukan agar senatiasa setia dalam menjalani hidup melayani. Pertama, ingat
agar tak terjebak rutinitas melayani. Untuk itu jalankan pelayanan, tapi jaga
hubungan pribadi dengan Tuhan lewat doa dan perenungan Firman dalam saat
teduh.  Kedua, jeli menyiasati relasi dengan sesama tubuh Kristus. Karena
relasi yang baik akan menjadi kebahagiaan sendiri. Tiap kita dituntut untuk
selalu proaktif dalam saling memperhatikan. Belajar lebih mengenal dan memahami
perbedaan temperamen yang ada sebagai kekayan dalam kebersamaan. Ketiga, selalu
belajar menjadi berkat besar, atau minimal tak menjadi batu sandungan. 
Keempat, harus terus menyegarkan diri dengan belajar theologi dan pelayan
praksis yang tiada henti. Ini selalu diabaikan oleh banyak aktifis bahkan hamba
Tuhan sekalipun. Sehingga semua merasa sudah banyak, atau bahkan serba tahu.
Dan ini sangat berbahaya, perangkap rutinitas sedang menanti untuk menghabisi
diri. Ingat, jangan sampai Tuhan menghardik.

Akhirnya, setiap umat Tuhan harus terus belajar dan berlaku bijak agar tak
terinjak zaman yang semakin kejam. Selamat menang! 

 

 

 

Sumber:


http://www.gri.or.id/0594-bahaya-rutinitas.html

 



“Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan 
kelemahan kita sendiri.”
(Rev. Bob Kauflin, Worship Matters, hlm. 382)

Kirim email ke