MENGENAL
DAN MENGALAMI ALLAH
 
oleh: Denny
Teguh Sutandio
 
 
 
“Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan
jalan yang harus dipilihnya… TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan
Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.”
(Mzm.
25:12, 14)
 
 
 
Siapakah manusia? Manusia
adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan-Nya.
Mempercayai bahwa manusia (dan dunia) dicipta oleh Allah adalah lebih logis
daripada mempercayai bahwa manusia (dan dunia) ada dengan sendirinya atau
terjadi melalui big bang yang
merupakan suatu kekonyolan cara berpikir (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
menggunakan istilah: illogical logic—“logika”
yang tidak logis). Karena dicipta oleh Allah, maka manusia dicipta untuk
berkomunikasi dengan Allah. Namun sayangnya, dosa mengakibatkan komunikasi
tersebut terhalang. Manusia tidak lagi menaati Allah, namun justru setan dan
diri sendiri. Akhirnya Allah menyediakan solusi terhadap masalah dosa ini yaitu
dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk memulihkan kembali
komunikasi antara Allah yang Mahakudus dengan manusia berdosa. Penebusan
Kristus inilah yang mengakibatkan kita dapat berkomunikasi dalam arti bergaul
erat/karib dengan Allah atau mengalami Allah secara pribadi. Namun
pertanyaannya, sampai sejauh mana kita dapat mengalami Allah?
 
Ketika orang Kristen
mendengar kata “mengalami Allah”, apa yang ada di benak mereka? Beberapa orang
Kristen menjadi seorang yang paranoid dengan kata “mengalami Allah” karena
mereka selalu melihatnya sebagai hal yang subyektif yang bisa menyesatkan.
Akibatnya, beberapa orang Kristen ini mulai mementingkan pengetahuan doktrinal
dengan membaca buku dan mengikuti berbagai pembinaan iman. Kepalanya bertambah
besar, namun hatinya makin kecil. Namun di sisi lain, kita menjumpai golongan
Kristen yang menggebu-gebu mengklaim mengalami Allah, bahkan mengalami Allah
berkata-kata secara langsung kepadanya. Namun akibatnya, Alkitab dilecehkan dan
pengalaman bersama Allah diutamakan, sehingga kebenaran tidak lagi obyektif,
namun menjadi subyektif. Karena terlalu mengandalkan hal-hal subyektif,
sebentar lagi, beberapa dari mereka akan dengan mudah masuk ke dalam jebakan
spiritualitas ala Gerakan Zaman Baru yang juga menggunakan istilah “allah”
untuk menggantikan Pribadi Allah sejati. Tidak heran, jika seorang “pendeta”
yang berada di gereja yang menganut paham ini pernah mendatangi seorang
paranormal untuk meminta kuasa. Tidak heran juga, tren motivator sedang laris
diundang ke sebuah gereja yang juga mengajarkan pentingnya pengalaman.
 
Di antara dua ekstrem yang
terjadi di dalam Kekristenan ini, bagaimana sikap Kristen yang benar? Harus
kita akui bahwa orang Kristen sejati HARUS mengalami Allah, mengapa? Karena
iman Kristen, menurut Dr. Martin Luther, adalah iman yang personal (pribadi),
bukan iman kepada hal-hal rasional/historis saja. Namun, mengalami Allah tentu
bukan sebuah pengalaman yang membabibuta dan tanpa dasar. Jika mengalami Allah
ada dasarnya, lalu apa yang menjadi dasar mengalami Allah? Seperti apa
mengalami Allah itu? Kita akan membahasnya.
 
Pengalaman akan
sesuatu/seseorang pasti didahului oleh pengenalan akan sesuatu/seseorang
tersebut. Misalnya, kita bisa mengalami hidup bersama orangtua atau pasangan
kita tatkala kita telah (sedang dan akan) mengenal orangtua atau pasangan kita.
Pengenalan yang benar mengakibatkan kita bisa mengalami indahnya berkomunikasi
dan berhubungan dengan orang yang telah kita kenal. Oleh karena itu, ketika
kita hendak mengalami Allah yang berpribadi secara nyata dalam hidup kita, maka
kita perlu mengenal-Nya secara nyata/pribadi. Mengutip Prof. J. I. Packer,
D.Phil. dalam bukunya yang terkenal Knowing
God, kita perlu membedakan mengenal Allah dengan mengenal akan Allah.
Mengenal akan Allah (knowing about God) adalah sebuah pengenalan kognitif yang 
menjadikan Allah sebagai obyek,
sedangkan mengenal Allah (knowing God)
adalah sebuah pengenalan yang menjadikan Allah sebagai obyek sekaligus subyek
utama. Di sini, kita perlu mengenal Allah secara nyata melalui apa yang telah 
difirmankan-Nya,
yaitu Alkitab. Melalui Alkitab, kita bisa mengerti apa yang menjadi kehendak,
perintah, dan pengajaran-Nya dalam hidup kita. Alkitab adalah satu-satunya
fondasi iman dan kehidupan Kristen sehari-hari demi kemuliaan-Nya sekaligus
dasar penguji segala sesuatu, termasuk pengalaman kita.
 
Setelah kita mengenal Allah
melalui firman-Nya, maka kita baru dapat mengalami Allah secara nyata dengan
bertanggungjawab. Lalu, apa arti mengalami Allah? Mengalami Allah berarti:
Pertama,mengalami indahnya kehadiran
Allah. Dalam kuliahnya Surat Ibrani di Sekolah Theologi Reformed Injili
Surabaya (STRIS) Andhika, Pdt. Thomy Job Matakupan, M.Div. mengeluarkan
pernyataan menarik yang mengusik saya. Beliau berkata bahwa Allah sebagai
Pencipta tidak terlalu dipusingkan oleh banyak orang Kristen, namun ketika
Allah dinyatakan sebagai Pemelihara, hal itu menjadi momok oleh banyak orang
Kristen. Mengapa? Karena sebenarnya banyak orang yang mengaku diri “Kristen”
tersebut TIDAK menginginkan Allah ikut campur di dalam kehidupan mereka. Dengan
kata lain, mereka risih dengan kehadiran Allah di dalam hidupnya. Hal ini mirip
seperti Adam yang malu dan takut ketika Allah memanggil dan “mencari”nya di
Taman Eden (Kej. 3:9). Mereka hanya mau mengaku diri “Kristen” di depan umum,
namun TIDAK di dalam hatinya. Mengapa? Karena sebenarnya, mengutip perkataan
Pdt. Sutjipto Subeno, iman banyak orang “Kristen” bukan lagi pada Allah, tetapi
pada dirinya sendiri. Allah hanya menjadi ban serep yang kadang diperlukan
kalau mereka lagi kesusahan, namun kalau mereka lagi bahagia, Allah
disingkirkan dari hidupnya. Nah, hal ini berbeda dengan orang Kristen yang
sungguh-sungguh mengenal Allah, mereka akan dengan sukacita mengalami indahnya
kehadiran Allah di dalam hidupnya. Mengapa? Karena mereka kangen dengan Allah. 
Mereka kangen dengan Allah yang berintervensi di dalam hidupnya. Karena jika 
Allah yang
berintervensi, hidupnya akan sangat bersukacita, karena ada Allah sebagai
Sumber Sukacita sejati di dalam hidupnya.
 
Kedua, mengalami
indahnya kebenaran firman Allah. Karena kangen dengan Allah, maka orang yang 
mengenal Allah tentu kangen juga dengan kebenaran firman-Nya. Jangan pernah 
ditipu oleh
orang Kristen yang katanya mencintai Tuhan, tetapi kalau disuruh membaca dan
mempelajari Alkitab malasnya bukan main, bahkan orang tersebut bisa cuek abiz 
kalau iman dan kehidupannya tidak
sesuai dengan (bahkan melawan) Alkitab. Itu bukan mencintai Tuhan, tetapi
berpura-pura mencintai Tuhan, padahal sebenarnya mencintai diri sendiri. Apa
tanda seorang yang kangen dengan
firman-Nya? Orang tersebut akan dengan rasa lapar dan dahaga terus membaca dan
menggali kebenaran Alkitab yang begitu limpah. Mengutip perkataan Pdt. Ivan
Kristiono, M.Div., orang ini menjadikan Alkitab sebagai surat cinta Allah yang
terus-menerus dibaca bahkan dieksegese.
Orang ini berkata seperti seruan kerinduan pemazmur, “Hancur jiwaku karena 
rindu kepada hukum-hukum-Mu
setiap waktu.”
(Mzm. 119:20) Selain sebagai surat cinta dari Allah, orang ini juga menjadikan
Alkitab sebagai pedoman iman dan hidup mereka. Dengan kata lain, orang ini akan
rela dan rendah hati ditegur oleh firman Allah ketika mereka berbuat dosa. Hal
ini mirip seperti seruan pemazmur, “Ya,
peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” 
(Mzm. 119:24) Selain itu,
Alkitab juga menjadi dasar untuk menjalankan kehendak Allah di dalam hidupnya.
Ketika hendak menjalankan sesuatu yang merupakan kehendak-Nya, orang yang
mengenal Allah akan taat mutlak akan firman-Nya. Hal ini mirip seperti Samuel
yang diajar oleh imam Eli untuk merespons kepada Tuhan, “Berbicaralah, sebab 
hamba-Mu ini mendengar.” (1Sam. 3:9-10) 
 
Ketiga,mengalami indahnya
pembentukan Allah dalam hidupnya. Setelah mengalami betapa indahnya kebenaran
firman Allah, orang tersebut bukan hanya berhenti di tataran rasio mempelajari
Alkitab, orang tersebut berusaha menjalankannya di dalam pergumulan hidup
sehari-hari. Ketika seorang yang cinta Tuhan benar-benar berusaha menjalankan
firman Tuhan di dalam kehidupannya, di saat itulah, Allah mulai membentuk
hidupnya secara perlahan-lahan. Di saat itulah, Ia mulai mendidik anak-anak-Nya
untuk makin lama makin dewasa di dalam iman dan segala sesuatu. Saya pribadi
berkali-kali dihajar Tuhan melalui pengalaman dan pergumulan hidup. Kegagalan 
demi
kegagalan dipakai-Nya untuk mengajar saya tentang hikmah di balik kegagalan itu
sambil memimpin saya untuk terus beriman dan berharap pada janji dan
pemeliharaan-Nya yang sangat indah. Saya sungguh sangat bersyukur akan karya
Allah sambil mengatakan betapa indahnya percaya pada Allah yang BERPRIBADI yang
memelihara umat-Nya, sehingga umat-Nya tak perlu kuatir akan jalan hidupnya.
Haleluya!
 
 
Harus kita sadari, ketiga
definisi mengalami Allah di atas tentu kita alami bersama-Nya baik di dalam
kehidupan rohani kita pribadi maupun di dalam kehidupan persekutuan Kristen. Di
dalam sebuah persekutuan Kristen pun, kita bisa mengalami Allah di dalamnya,
yaitu melalui teguran, penghiburan, dan ajaran dari saudara seiman (yang sesuai
dengan Alkitab) yang membuat kita makin bertumbuh dewasa di dalam iman.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengalami Allah yang berpribadi itu secara
nyata dalam hidup kita? Biarlah Allah yang hidup itu juga Allah yang kita alami
kehadiran, firman, dan pembentukan-Nya dalam hidup kita, sehingga hidup kita
makin bertumbuh dewasa di dalam pengenalan akan firman-Nya. Amin. Soli Deo
Gloria. 
 
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke