KONSEP IMAN DALAM PERJANJIAN LAMA-2: Kitab-kitab Sejarah
 
oleh: Denny
Teguh Sutandio
 
 
Dari
Pentateukh, kita beralih menyelidiki konsep iman dalam kitab-kitab sejarah. 
Dalam
Alkitab kita (LAI), yang termasuk kitab-kitab sejarah dalam PL adalah: Yosua,
Hakim-hakim, Rut, 1 dan 2 Samuel, 1 dan 2 Raja-raja, 1 dan 2 Tawarikh, Ezra,
Nehemia, dan Ester. Dalam kitab-kitab sejarah ini, kita melihat kelanjutan
sejarah bangsa Israel. Di poin A no 4 di atas (lihat pembahasannya di seri
pertama tema ini), kita telah membaca bahwa bangsa Israel baru percaya kepada
Tuhan setelah mereka menyaksikan karya Allah yang supranatural, sehingga jangan
heran, iman mereka pun adalah iman yang situasional dan mudah berubah, sehingga
di poin A 5 di atas, kita melihat “keluh kesah” Allah kepada umat yang telah
ditebus-Nya dari Mesir itu bahwa mereka tidak percaya kepada Allah. Mari kita
memperhatikan kelanjutan kisah kebebalan Israel ini.
Setelah
masuk ke Kanaan, mereka dipimpin oleh Yosua. Selama itu, mereka beribadah
kepada Tuhan (Hak. 2:6-7), namun setelah Yosua meninggal, keturunan mereka
tidak lagi mengenal Tuhan dengan beribadah kepada dewa-dewa (Hak. 2:8-13),
sehingga Allah murka kepada mereka dengan menyerahkan Israel ke tangan
musuh-musuh (ay. 14-15). Namun Tuhan tetap mengasihi mereka dengan
membangkitkan hakim-hakim untuk melawan musuh (ay. 16), tetapi percuma, karena
bangsa Israel tidak menghiraukan (ay. 17). Bagaimana kita mengetahuinya?
Perhatikan penjelasannya di Hakim-hakim 2:18-22: Di ayat sebelumnya dikatakan
bahwa Allah murka kepada Israel dengan menyerahkan mereka ke tangan musuh, nah
pada saat itu mereka mengerang karena mereka ditindas. Lalu, Tuhan mendengar
mereka dan membangkitkan seorang hakim. Pada waktu hakim itu masih hidup,
mereka masih beribadah kepada Tuhan, namun ketika hakim itu telah meninggal,
mereka tetap berdosa bahkan lebih jahat dari angkatan sebelumnya. Hal ini terus
berulang.
Kebebalan
Israel yang terus tidak percaya kepada Tuhan paling dahsyat adalah ketika
mereka meminta seorang raja kepada Samuel, hakim terakhir (1Sam. 8:1-6) dan
Tuhan akhirnya mengabulkan permintaan mereka, namun dengan memberi persyaratan
yang harus mereka perhatikan ketika mereka meminta raja (ay. 7-18). Sejak saat
itu, Saul diangkat menjadi raja, kemudian digantikan Daud, dan akhirnya Salomo.
Karena Salomo tidak taat kepada Tuhan pada waktu ia menjadi semakin jaya dan
terkenal, maka Tuhan menghancurkan kerajaannya menjadi dua (1Raj. 12) yaitu
Kerajaan Israel Utara (Israel) dan Kerajaan Israel Selatan (Yehuda). Di pasal
berikutnya dan mulai 2 Raja-raja 8:16, kita melihat bergantian para raja yang
memerintah di kedua kerajaan, ada yang tetap setia kepada Tuhan, ada yang jahat
di mata Tuhan. Akhirnya di 2 Raja-raja 17:7-23 kita membaca suatu sejarah di
mana Kerajaan Israel Utara hancur dan musuh Israel mencoba menguasai Israel.
Ini semua adalah hukuman dari Allah atas kebebalan mereka. Begitulah riwayat
perjalanan iman orang Israel yang sebentar percaya kepada Tuhan, sebentar
meninggalkan Tuhan.
Dari
sekilas sejarah bangsa Israel, kita belajar prinsip tentang iman, yaitu iman
dan kesetiaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Tuhan memimpin kita untuk
beriman kepada-Nya, bergantung total kepada Allah dan kehendak-Nya. Namun
perjalanan iman bukanlah perjalanan yang sekali jadi, tetapi sebuah proses. Di
dalam proses itulah, diperlukan kesetiaan untuk terus berada di jalan Tuhan,
sehingga kita tidak menyimpang dari jalan-Nya. 
Pada
akhirnya, iman dan kesetiaan ini mengingatkan kita bahwa kita dibenarkan oleh
Allah bukan karena kita melakukan Taurat, tetapi melalui iman kepada Kristus
(bdk. Rm. 3:1-31). Karena kalau kita dibenarkan melalui menjalankan Taurat,
maka kita pasti gagal. Mengapa gagal? Karena kita sendiri sering kali tidak
setia dalam mengikut Tuhan. Kesetiaan Allah yang mendorong kita bisa setia
mengikut-Nya. Biarlah ini menjadi refleksi yang mengingatkan kita untuk terus
setia mengikut-Nya di dalam iman yang murni kepada-Nya.
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke