KONSEP “IMAN” DALAM PERJANJIAN LAMA-3: Kitab-kitab Hikmat dan Puisi oleh: Denny Teguh Sutandio Selanjutnya, kita akan menyelidiki konsep iman dalam kitab-kitab hikmat dan puisi. Kitab-kitab hikmat dan puisi di dalam Alkitab LAI mencakup kitab-kitab: Ayub, Mazmur, Kidung Agung, Amsal, dan Pengkhotbah. 1. Mazmur 9:11 Di Mazmur 9:11, Daud berkata, “Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN.” Kata “percaya” di sini bukan menggunakan perluasan dari kata Ibrani ‘amn, tetapi menggunakan kata Ibrani yib†üHûyang merupakan perluasan dari kata dasar Ibranib†Hyang berarti “trust” (“mempercayakan”). Alkitab terjemahan Inggris: ESV, KJV, NASB, NET, NIV, RSV, TNIV, dan YLT sama-sama menerjemahkannya, “trust”. Siapakah orang yang mempercayakan diri kepada Tuhan? Daud menjawabnya adalah mereka yang mengenal Allah. Kata “mengenal” di sini dalam teks Ibraninya yôd`êberarti “know”(“mengetahui”/“mengenal”). Apa artinya mengenal Allah? NET menerjemahkannya, “Your loyal followers” (para pengikut-Mu yang setia). Meskipun terjemahan NET agak berbeda dari Alkitab terjemahan Inggris lainnya dan tentunya dari PL bahasa Ibrani, tetapi arti dari terjemahan ini menggambarkan dengan jelas maknanya yaitu orang yang mengenal Allah identik dengan pengikut Allah yang setia. Seorang yang mengenal Allah bukan hanya mengenal Allah secara doktrinal melalui buku-buku theologi dan khotbah-khotbah pendeta yang bersifat doktrinal, tetapi orang yang mengenal Allah berarti mengikut Allah dengan SETIA. Mengikut Allah dengan setia berarti mengikut Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik susah maupun senang. Dan orang yang mengenal/mengikut Allah dengan setia pasti beriman kepada-Nya. Di sini, kita melihat kaitan antara pengenalan akan Allah dan iman kepada-Nya. Orang yang mengikut/mengenal Allah pasti mengenal pribadi-Nya melalui firman-Nya dan melalui firman itulah, ia dituntun untuk makin beriman pada-Nya karena Ia adalah Pribadi yang layak dipercayai. Seorang yang sudah mengenal Allah dan beriman kepada-Nya diberi janji oleh Allah bahwa Ia tidak akan meninggalkannya. Dari ayat ini, kita belajar bahwa ada hak dan kewajiban bagi mereka yang mengenal/mengikut-Nya. Kewajibannya yaitu beriman kepada-Nya dan haknya adalah Allah tak akan pernah meninggalkannya. Kedua hal ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. 2. Mazmur 13 Teks lain yang akan kita renungkan bersama tentang “iman” adalah Mazmur 13. Mazmur ini ditulis oleh Daud ketika ia mengalami kekuatiran dan dikejar-kejar musuh (ay. 3). Ia meminta Allah untuk menjawab permohonannya agar musuh tidak menghinanya karena telah berhasil mengalahkan Daud yang diurapi Allah (ay. 4-5). Permohonan ini dilanjutkan dengan seruan iman Daud, “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.” (ay. 6) Kata Ibrani untuk kata “percaya” di ayat ini menggunakan kata dasar Ibranib†Hyang artinya trust (lihat penjelasan sebelumnya). Meskipun ia belum melihat reaksi Allah terhadap permohonannya, Daud tetap beriman kepada kasih setia-Nya bahkan ia bersukacita di dalam keselamatan yang Ia berikan kepadanya. Bahkan ia memuji Tuhan karena Ia telah berbuat baik kepadanya. Perhatikan dan renungkan iman Daud. Sebagai manusia, ia tetap memohon kepada Allah di dalam doa agar Ia melepaskan musuh-musuhnya, namun di dalam penglihatan rohaninya, ia tetap beriman pada Allah yang baik. Di sini, kita belajar bahwa Daud beriman pada Allah yang baik meskipun kondisinya sedang tidak baik. Berarti iman menerobos realitas. Iman pada Allah melihat Allah di atas semua realitas, sehingga melalui iman, Daud dan kita juga melihat jalan keluar atas semua realitas yang sulit dari perspektif kedaulatan Allah yang terkadang susah dimengerti. Iman Daud ini diungkapkannya sendiri di dalam Mazmur 26:1, “…kepada TUHAN aku percaya dengan tidak ragu-ragu” dan juga di dalam Mazmur 56:5, “kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” 3. Mazmur 84 Perikop lain yang akan kita renungkan bersama diambil dari Mazmur 84. Mazmur yang merupakan mazmur bani Korah ini mengajar kita tentang kerinduan umat-Nya berada di dalam kediaman Allah. Hal ini diungkapkan dengan jelas di beberapa ayat, misalnya: ayat 3, 5, 11, dan diakhiri dengan pengakuan dahsyat di ayat 12-13, 12Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela. 13Ya TUHAN semesta alam, berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu! Kerinduan berdiam di dalam tempat kediaman Allah dikarenakan Pribadi Allah yang adalah matahari dan perisai yang di dalam-Nya kita mendapat kasih dan kemuliaan (ay. 12). Dasar inilah yang mengakibatkan pemazmur percaya pada-Nya (ay. 13). Kata “percaya” di ayat 13 di atas menggunakan kata dasar bahasa Ibrani yang sama seperti yang telah dijelaskan di pasal-pasal sebelumnya. Menariknya, di ayat ini, percaya kepada-Nya disebut suatu tindakan yang berbahagia. Kata “berbahagia” dalam teks Ibraninya ´a|šrêbisa berarti “happy”(“berbahagia”) atau “blessed”(“diberkatilah”). Di dalam terjemahan Alkitab NASB, NET, dan NIV, kata ini diterjemahkan: “blessed” (“diberkatilah”). Di sini, pemazmur melawan anggapan banyak orang bahwa beriman kepada Tuhan adalah sesuatu yang mengerikan dan bahkan terkutuk, tetapi ia mengajar kita bahwa justru beriman kepada-Nya merupakan sesuatu kebahagiaan atau keadaan yang diberkati (bdk. Ams. 16:20). Mengapa? Alasannya, bacalah ayat 12 tentang siapakah Allah sesungguhnya. 4. Amsal 29:25 Bagian terakhir yang akan kita renungkan bersama tentang makna iman adalah Amsal 29:25, “Takut kepada orang mendatangkan jerat, tetapi siapa percaya kepada TUHAN, dilindungi.” Sebelum kita merenungkan ayat ini, kita harus memperhatikan bahwa bagian yang akan kita renungkan ini diambil dari kitab Amsal yang merupakan bentuk kata-kata bijak yang bertujuan mengajar hikmat (Ams. 1:1-6), sehingga jangan menjadikan kata-kata bijak di kitab ini sebagai dasar pengajaran mutlak atau janji-janji yang harus kita klaim. Kembali, di ayat ini, kita diajar oleh Salomo bahwa ketika kita takut kepada manusia, itu justru membawa perangkap/jerat, tetapi ketika kita beriman kepada-Nya, kita akan dilindungi. Kata “dilindungi” dalam ayat ini seharusnya diterjemahkan “dimuliakan” karena kata Ibrani yang dipakai adalah yüSuGGäbdi manakata dasarnya:SäGabyang berarti “set on high” atau “exalted”. NASB menerjemahkannya, “exalted” (“dimuliakan” atau “diagungkan”). Dengan kata lain, melalui ayat ini, kita belajar bahwa orang yang beriman kepada-Nya akan dimuliakan. Namun, jangan dibalik, lalu mengajar bahwa kalau kita ingin dimuliakan, kita harus beriman kepada Allah. Ini konsep salah. “Dimuliakan” merupakan akibat/efek dari beriman kepada-Nya, tetapi bukan suatu akibat mutlak. Hal ini mirip seperti kata bijak yang sering diucapkan guru atau orangtua kepada murid/anaknya, “Kalau kamu belajar rajin, maka nanti kamu pasti kaya.” Mungkinkah hanya dengan belajar rajin pasti kaya? Mungkin ya, mungkin tidak. Ini hanya pepatah yang tidak perlu dijadikan standar mutlak. Jangan sampai pepatah itu mengakibatkan si anak/murid yang tidak kaya akhirnya protes kepada orangtua/gurunya karena apa yang orangtua/gurunya ajarkan itu salah. Pepatah adalah pepatah, jangan diperlakukan sebagai hukum sebab-akibat mutlak. "Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata." (Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)