KONSEP “IMAN” DALAM PERJANJIAN BARU-5: Surat 1 dan 2 Korintus
 
oleh: Denny
Teguh Sutandio
 
 
1.           2
Korintus 4:16-5:7
Setelah bertobat dari
kepercayaan Yahudi, maka Paulus memokuskan iman dan hidupnya pada Kristus.
Baginya, Kristus adalah harta rohani yang tak ternilai bagi bejana tanah liat,
yaitu tubuh jasmani (2Kor. 4:7-12). Dasar iman inilah yang mengakibatkan ia
tidak kuatir meskipun secara tubuh, ia mengalami kelemahan (2Kor. 4:16), karena
ia memokuskan pengharapannya pada Yang Kekal di mana nanti Allah telah
menyediakan tempat kediaman di Sorga yang tidak dibuat oleh tangan manusia
(2Kor. 4:18-5:1). Namun faktanya di dalam tubuh fana ini, kita mengeluh karena
beratnya tekanan yang harus kita tanggung, tetapi Paulus menasihatkan bahwa
kita tidak perlu kuatir karena Roh Kudus dikaruniakan oleh Bapa kepada kita
sebagai jaminan bagi segala sesuatu yang dikaruniakan kepada kita (2Kor.
5:2-5). Karena Roh Kudus diberikan kepada kita, maka Paulus tidak lagi tawar
hati meskipun ia (dan umat-Nya) mengalami tekanan hidup di dunia. Bukan hanya
itu, Paulus (dan Timotius) mengakui, “hidup
kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2Kor. 5:7).
Wujud dari hidup karena iman ini adalah ia dan Timotius tetap berusaha di dunia
ini untuk memuliakan-Nya (ay. 9), karena kita semua harus menghadap takhta
pengadilan Kristus untuk menerima ganjaran dari perbuatan kita sebagai umat-Nya
(ay. 10). 
Apa yang bisa kita pelajari
dari bagian ini? Banyak orang mungkin berpikir bahwa kepercayaan Paulus ini
sama sekali tidak berdasar, karena ia belum melihat tempat kediaman di Sorga
yang dibicarakannya di 2 Korintus 5:1. Namun sebenarnya hidup Paulus bukan
karena ia melihat sesuatu yang kasat mata, tetapi ia “melihat” apa yang tak
dilihat oleh mata, yaitu iman. Dalam bahasa penulis kitab Ibrani, iman adalah
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Iman tetap
melihat, tetapi definisinya “melihat” bukan melihat hal yang kasat mata, tetapi
melihat apa yang tidak terlihat. Oleh karena itu, Paulus di ayat 7 tadi 
mengatakan
bahwa hidupnya bukan karena melihat, tetapi karena percaya. Ia percaya pada
janji Allah yang akan menyediakan tempat kediaman kekal bagi umat-Nya. Namun
iman ini tidak membuatnya terlena, tetapi justru menjadi pendorong ia dan
Timotius makin giat melayani Tuhan untuk memuliakan Allah, sebab ia juga
menyadari realitas takhta pengadilan Kristus yang harus dihadapinya. Dari sini,
kita belajar bahwa ketika kita mengaku percaya kepada Allah, sebagai wujud
nyatanya, kita bukan tak bekerja apa pun, tetapi justru makin giat melakukan
sesuatu yang merupakan panggilan Allah bagi kita untuk memuliakan-Nya.
 
2.           2
Korintus 6:14
Salah satu tanda orang
beriman adalah ia tidak sembarangan memilih rekan kerjanya. Paulus menyatakan
hal ini di 2 Korintus 6:14, “Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Sering kali ayat ini
menjadi dasar bagi pendeta atau orang Kristen untuk mengajar para pemuda/i
untuk mencari pasangan hidup yang seiman. Benarkah ayat ini sedang berbicara
tentang pasangan hidup? Jika kita membaca teks LAI, kita menemukan kata
“pasangan” di ayat 14 di atas, lalu kita menafsirkannya sebagai pasangan hidup.
Namun jika kita memperhatikan teks Yunani dan membandingkannya dengan Alkitab
terjemahan bahasa Inggris, tidak ada kata “pasangan” yang muncul. Kata Yunani
untuk frase “pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya”
adalah ἑτεροζυγοῦντεςἀπίστοις(heterozugountes apistois) di
mana “heterozugountes” merupakan kata
kerja yang berarti “tidak berteman” dan kata Yunani “apistois” merupakan kata 
sifat yang berarti “tidak percaya”. NASB
menerjemahkannya, “Do not be bound together with unbelievers” (“Jangan terikat
bersama dengan orang-orang yang tidak percaya”). NET menerjemahkannya mungkin
lebih jelas, “Do not become partners with those who do not believe” (“Jangan
menjadi rekan-rekan dengan orang-orang yang tidak percaya”) Inti yang hendak
dijelaskan Paulus adalah jangan berteman dengan orang yang tak seiman. 
Pertanyaan yang muncul adalah
mengapa? Apakah ayat ini dapat kita aplikasikan secara membabi buta bagi kita
di zaman sekarang, lalu kita enggan berteman dengan orang-orang non-Kristen?
Perhatikan konteksnya. 
Paulus mengatakan apa yang
tertulis di ayat 14 ini untuk jemaat di Korintus dan jemaat ini terkesan luar
biasa kacau. Dari surat 1 Korintus, kita bisa membaca catatan tentang gaya
hidup jemaat ini yang tidak karuan: iri hati yang mengakibatkan perpecahan dan
perselisihan (1Kor. 1:10-17; 3:1-9), cabul (1Kor. 5:1-13; 7:1-40), jika antar
jemaat saling bertikai, mereka mencari keadilan justru pada orang-orang yang
tidak benar (1Kor. 6:1-11), merasa diri berpengetahuan (1Kor. 8:1-13),
mempermainkan Perjamuan Kudus (1Kor. 11:17-33), ibadah tidak tertib (1Kor.
12-14), dan meragukan kebangkitan Kristus (1Kor. 15). Surat 1 Korintus ini
sebenarnya merupakan surat Paulus yang kedua kepada jemaat di Korintus (bdk.
1Kor. 5:9) dan surat 2 Korintus merupakan surat Paulus yang keempat kepada
jemaat di Korintus. Dan di surat yang keempat ini, Paulus tidak lagi memarahi
jemaat Korintus, karena kemungkinan jemaat ini sudah mulai bertobat tidak
seperti kelakuan mereka pada waktu Paulus menuliskan suratnya yang pertama dan
kedua. Oleh karena itu, terkesan di surat 1 Korintus, Paulus banyak mengajar
dan menegur jemaat Korintus, namun ketika kita membaca surat 2 Korintus, Paulus
jarang menegur jemaat Korintus. Meskipun demikian, di surat 2 Korintus ini,
Paulus tetap mengingatkan jemaat ini agar memusatkan iman dan hidup mereka pada
Kristus dan tidak berteman dengan orang yang tidak seiman (2Kor. 6:14). Tidak
berteman dengan orang yang tidak seiman di sini tidak berarti mengacuhkan orang
lain yang tidak seiman, tetapi artinya tidak bersekutu dengan mereka. Lebih
tajam lagi, bukan sekadar tidak bersekutu, tetapi juga jangan ikut-ikutan
dengan iman dan gaya hidup orang yang tidak seiman. Mengapa? Karena terdapat
perbedaan yang besar antara orang percaya dengan orang yang tak percaya:
Kristus Vs Belial (setan) dan bait Allah vs berhala (2Kor. 6:15-16).
Jadi, apakah kita boleh
berteman dengan orang yang tidak seiman? Boleh, tetapi prinsip Paulus adalah
tidak bersekutu dalam arti ikut-ikutan dengan iman dan pola hidup orang yang
tidak seiman. Inilah wujud orang yang percaya kepada Kristus. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan prinsip ajaran berpikir positif yang menerima semua
orang tanpa kecuali untuk berpartisipasi dalam ajaran ini. Di dalam ajaran 
berpikir
positif yang tidak mengenal istilah dosa, semua orang baik beres atau tidak
beres sama-sama diterima dan bersekutu, karena motivasi dan tujuan akhirnya
sama yaitu mencari kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan hidup.
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke