*SINGAPORE PARADOX?*
Anda adalah seorang pengusaha Indonesia. Anda telah menyuap pejabat bank
negara untuk mendapatkan 200 juta dollar Amerika Serikat tanpa jaminan
memadai, atau analisa risiko, untuk sebuah bisnis yang Anda tahu tak akan
bisa berjalan. Aparat penegak hukum mengetahui hal ini dan Anda dihadapkan
kepada ancaman penahanan. Anda harus lari ke tempat di mana aparat hukum tak
akan bisa menyentuh Anda. Ke mana? Singapura. Mengapa? Karena Singapura
hanya setengah jam terbang (seharusnya satu jam lebih sedikit) dari Jakarta,
atau 45 menit dengan ferry dari Batam, dan yang terpenting, Singapura tidak
memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Itulah awal tulisan Michael Backman di harian The Age ( Melbourne ,
26/7/2006) yang terkesan amat ironis dan penuh sinisme. Bayangkan Singapura,
sebuah negara pulau yang amat maju, serba teratur, dan diperintah oleh
supremasi hukum, tiba-tiba digambarkan sebagai tempat parkir uang-uang haram
dari Indonesia .

Tulisan ini tak enak dibaca, dan muka mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew
merah padam menahan marah. Pertanyaannya, sejauh mana Michael Backman benar?

*Bersih Dari Korupsi*
Jika melihat data dari* Corruption Perception Index* (CPI) yang diterbitkan
Transparency International setiap tahun, terlihat, Singapura termasuk negara
paling bersih dari korupsi bersama sejumlah negara Skandinavia. Tahun 2005,
misalnya, survei Transparency International menempatkan Singapura sebagai
negara nomor lima paling bersih dengan* score* 9,4.

Rentang* score* yang digunakan survei Transparency International adalah
0-10, angka 10 untuk negara* zero corruption* dan angka 0 untuk negara
paling korup. Score 9,4 adalah yang amat bagus mendekati sempurna, dan
menjadi daya tarik bagi pengusaha dan mereka yang ingin menabungkan uangnya
di bank-bank Singapura. Kerahasiaan bank terjamin dan aman. Tidak heran jika
Singapura, negara berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dengan Produk Domestik
Bruto (GDP) sekitar 132 miliar dollar AS, menjadi pusat keuangan dan bisnis
regional yang maju pesat, hadir sebagai saingan baru bagi pusat keuangan
mapan seperti Hongkong dan Swiss.

Jika meneliti konglomerasi Indonesia dan dunia, terlihat banyak
sekali* regional
headquarters* berdomisili di Singapura, dan uang pun mengalir ke sana.
Proses pengambilan keputusan pun akhirnya banyak dilakukan di Singapura,
menyebabkan lalu-lintas ke dan dari Singapura menjadi amat padat. Lihat,
pesawat Jakarta-Singapura setiap hari padat penumpang.

Maka, bagi publik, terutama pengusaha, Singapura adalah negara yang amat
maju, teratur, bersih dari korupsi, dan dituntun oleh* Rule of Law*. Lembaga
pengadilan amat mandiri, independen, dan tanpa korupsi. Putusan pengadilan
selalu berdasar ketentuan hukum yang berlaku (*strict law*).

Belakangan, penyelesaian arbitrase di Singapura juga mulai populer karena
dianggap memiliki kredibilitas tinggi. Akhirnya Singapura menjadi bukan saja
tempat bisnis, tetapi juga tempat rujukan penyelesaian sengketa bisnis.
Tidak heran jika kita melihat banyak kontrak bisnis internasional yang
mencantumkan penyelesaian sengketa bisnis di lembaga pengadilan atau
arbitrase di Singapura.

Dalam kondisi seperti inilah kita selalu mendengarkan kotbah tentang
integritas,* Good Governance*,* Good Corporate Governance*, dan* Rule of Law
* dari Singapura, baik yang berasal dari pemerintahan maupun pengusaha
swasta. Indonesia sering dikritik sebagai negara yang tak aman untuk
berinvestasi karena ketidakpastian hukum dan merajalelanya korupsi.

Perlu dicatat, pada tahun 2005, menurut survei Transparency International,
Indonesia termasuk negara paling korup di dunia, pada urutan 132 dengan*
score* 2,2. Bandingkan dengan Singapura yang mendapat* score* 9,4.

*Uang Haram*
Indonesia adalah negara yang tak akan maju jika tidak memperbaiki kondisi
penegakan hukum. Dengan kata lain, Indonesia akan terus terpuruk sebagai
"paria" di antara negara-negara Asia yang sedang berlomba maju seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam serta Korea Selatan, Taiwan,
Cina, dan India.

Indonesia yang kaya sumber alam dan penduduk hanya menjadi penonton kemajuan
ekonomi karena sistem pemerintahan yang korup dan tak berkepastian hukum?
Indonesia tak lagi memiliki modal, dan daya-beli kian merosot.

Ke mana uang Indonesia mengalir? Ke mana modal Indonesia menghilang? Dalam
kaitan itu, menarik membaca tulisan Netty Ismail,* Morgan Stanley's Quit
After Singapore E-Mail* (Bloomberg, edisi 5 Oktober 2006). Dalam artikel itu
dijelaskan,* Chief Economist* Andy Xie yang telah bekerja sekitar sembilan
tahun pada Morgan Stanley terpaksa atau dipaksa mundur karena sebuah e-mail
internal yang amat kritis terhadap keberhasilan Singapura yang menurut Andy
Xie berasal dari uang haram para pejabat dan pengusaha Indonesia yang dicuci
di Singapura. "*Indonesia has no money. So Singapore isn't doing well*",
kata Andy Xie dalam salah satu e-mail-nya.

Maka, Singapura sebetulnya mendulang sukses dari uang-uang haram hasil
penjarahan uang negara Indonesia yang dilakukan pejabat dan pengusaha tak
bertanggung- jawab. Tidak heran melihat banyak gedung, apartemen, dan kantor
yang merupakan investasi orang-orang Indonesia yang oleh pemerintah
Singapura diberikan banyak kemudahan, termasuk pajak dan izin tinggal
(*permanent
residence*), bahkan dalam beberapa kasus diberi kewarganegaraan Singapura.
Beberapa pengusaha Indonesia diketahui memiliki status warga negara
Singapura. Mereka lalu menjadi* untouchables* karena bukan lagi warga negara
Indonesia.

*Standar Ganda*
Apa yang dikatakan Andy Xie bukan barang baru. Banyak orang Indonesia
mengeluhkan hal ini karena melihat Singapura memainkan standar ganda. Di
satu sisi kita sering diberi kuliah tentang* Good Governance*,* Good
Corporate Governance*, dan* Rule of Law*, tetapi di sisi lain kita melihat
Singapura tidak membantu Indonesia memerangi korupsi dalam arti membawa
koruptor dan asetnya ke Indonesia.

*Assets Tracing* tampaknya tidak jalan. Padahal banyak ikhtiar politik
dilakukan, tetapi hingga kini tetap mandek. Artinya, biarlah korupsi terjadi
di negara lain, yang penting bukan di Singapura. Dan Singapura pun menampung
uang-uang korupsi. Lebih dari itu, jika melihat hasil* Bribe Payers
Index*2006 yang diterbitkan Transparency International terlihat para
pengusaha
Singapura juga melakukan penyuapan dalam bisnisnya di luar negeri, meski
tidak separah pengusaha China, India, Rusia, dan Brasil, misalnya.

Akan tetapi intinya adalah, di negeri lain boleh kotor, tetapi kebersihan di
negeri sendiri harus dipelihara.
Bagi saya, ini amat memilukan karena tidak menggambarkan komitmen kolektif
untuk bersama-sama membersihkan dunia dari korupsi yang diyakini sebagai
persoalan global: karena merupakan kejahatan global. Bagi saya, sikap
Singapura ini saya sebut* Singapore Paradox*, sikap hipokrit yang tak
membantu kita keluar dari lingkaran setan korupsi dan pencucian uang yang
dahsyat ini.

Artikel ini tak bermaksud melarang orang berbisnis atau menyimpan uangnya di
Singapura. Kini, dalam bisnis global, semua itu sah dan tak boleh dilarang.
Namun, adalah mutlak adil jika Pemerintah Singapura tidak menyediakan
dirinya untuk menjadi tempat "parker" bagi uang-uang haram dari mana pun
meski keadaan ekonomi akan kian sulit.

Kehendak Pemerintah Singapura untuk membangun kasino juga akan dilihat
banyak orang sebagai kesempatan mencuci uang haram. Pandangan ini tidak
salah karena pasti akan banyak uang haram yang terdampar di meja-meja judi.
Kita tak akan bisa menutup karena judi akan terus ada dalam berbagai bentuk,
termasuk judi gelap yang pasti lebih merugikan.

Namun, Singapura bisa berbuat banyak untuk perang melawan korupsi dan
pencucian uang jika pemerintahnya membantu membawa kembali koruptor dan uang
haram mereka ke negeri ini. Dalam konteks ini, penandatanganan Perjanjian
Ekstradiksi adalah satu langkah awal yang penting. Sayang, Pemerintah
Singapura selalu berdalih, sistem hukum berbeda, maka Perjanjian Ekstradiksi
sulit diwujudkan. Perlu diketahui, Indonesia sudah menandatangani Perjanjian
Ekstradiksi dengan Australia yang sistem hukumnya juga berbeda. Agaknya,
perbedaan sistem hukum bukan alasan sebenarnya.

Singapore Paradox sudah waktunya diakhiri jika Singapura bersikap tulus
membantu negara seperti Indonesia untuk menjadi mitra jangka-panjang yang
akan saling membantu. Indonesia dan Singapura memiliki masa depan cerah jika
bisa berjalan bersama. Perjalanan bersama tak akan terhambat karena
berhentinya arus uang haram dari negeri ini.

Bagaimanapun Singapura adalah tempat Indonesia berpaling dalam bisnis di
masa datang. Banyak hal yang dimiliki Singapura, belum dimiliki Indonesia.

Mengapa kita tak melihat masa depan dalam perspektif seperti ini?
*Penulis: Todung Mulya Lubis, Ketua Transparency International- Indonesia .
Dimuat di Harian Kompas, 02 November 2006.*

Kirim email ke