Dari milis tetangga,,,,,

On 12/7/06, Hengky Agusta <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

     Kerancuan Metodologi Draft Kompilasi Hukum Islam [image: Cetak
halaman 
ini]<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=1433&pop=1&page=0&Itemid=60>
<http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=1433&itemid=60>
   Sabtu,
23 Oktober 2004

Draf Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun oleh Tim Pengarusutamaan
Gender (PUG) bentukan Departemen Agama pantas disebut "Komunis" (Kompilasi
Hukum Non-Islam)
Draf Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun oleh Tim Pengarusutamaan
Gender (PUG) bentukan Departemen Agama telah memicu kontroversi besar di
kalangan umat Islam Indonesia. Bagi banyak kaum Muslim, belum terbayangkan,
dari perut Departemen Agama, akan keluar satu rancangan keputusan penting
yang membongkar sejumlah aspek hukum Islam yang 'mapan' dan telah disepakati
keabsahannya sejak zaman Nabi Muhammad saw.

Padahal, jika kita cermati, munculnya draft KHI versi baru ini adalah
konsekuensi logis dari meruyaknya paham liberalisme dan pluralisme agama di
Indonesia, yang sudah ditanamkan dan disebarkan selama puluhan tahun. Banyak
kalangan Muslim yang masih tidak menyadari, bahwa mereka sedang menghadapi
zaman baru, tantangan baru, dalam bidang keilmuan khususnya, yang sangat
berbeda dengan beberapa puluh tahun lalu.

Sejumlah pasal dalam draft KHI kali ini memang ganjil. Poligami dilarang.
Perkawinan antar-agama disahkan. Kawin kontrak diizinkan. Batas minimal
perkawinan adalah 19 tahun. Laki-laki - sebagaimana wanita -- juga memiliki
iddah. Rumusan draft KHI itu didasarkan atas empat pendekatan utama, yakni
gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.

Jadi, menyimak dasar pijakan penyusunan draft KHI, sebenarnya pola pikir
yang mendasari tim penyusunnya bukanlah pola pikir yang berkembang dalam
tradisi Islam. Epistemologi atau metodologi penafsiran al-Quran dan Sunnah
yang digunakan bukanlah metodologi yang digunakan kaum Muslim selama ini.
Mereka lebih suka meminjam metodologi hermeneutis. Mereka lebih percaya
kepada Paul Ricour, Ferdinand de Saussure, Emilio Betti, Michel Foucault,
Antonio Gramsci, John Hick, Wilfred Cantwell Smith, dan teman-temannya,
ketimbang percaya kepada al-Imam al-Syafii atau al-Ghazali. Seolah-olah,
bagi mereka, para orientalis dan filosof Barat itu adalah penunjuk jalan ke
sorga.

Hingga kini, para pengguna hermeneutika (filsafat) belum menunjukkan satu
metodologi dan karya yang utuh dan menyeluruh. Fazlur Rahman, misalnya,
dengan menggunakan metode Betti, baru mendekonstruksi sejumlah aspek hukum
Islam. Nasr Hamid Abu Zayd, dengan meminjam metode de Saussure dan
lain-lain, baru menyentuh sejumlah aspek hukum Islam, seperti haramnya
poligami, persamaan hak waris laki-laki-wanita, dan justifikasi terhadap
bunga perbankan modern. Mereka tidak mau atau tidak berani menyusun satu
'Kitab Fiqih' yang komprehensif, yang berisi misalnya, bagaimana dengan
metode hermeneutis, mereka sampai pada kesimpulan hukum tentang salat lima
waktu, zakat, haji, puasa Ramadhan, cara mengurus mayat, aqiqah, dan
sebagainya. Mereka hanya mengambil metode Barat untuk mendekonstruksi
sejumlah aspek hukum Islam yang sesuai dengan pola pikir atau 'pesanan'
sponsor. Orang-orang ini masih bermimpi membuat ushul fiqih alternatif. Ada
yang bermimpi membuat fiqih 'Mazhab Yogya'. Ketika mereka tidak berdaya,
yang dilakukan sementara adalah klaim bahwa yang namanya Hukum Islam itu
tidak ada.

Semua hukum sama saja, baik hukum Islam atau hukum Barat, yang penting
tujuannya untuk kemaslahatan manusia. Semuanya juga hasil pikiran manusia.
Untuk menjebol dan membongkar tradisi keilmuan Islam yang agung, kelompok
jenis ini biasanya melakukan penghujatan terlebih dahulu kepada para Imam
besar.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama, misalnya, dikatakan, "Kaum Muslim lebih
suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu fiqih yang dibuat imam Syafii.
Kita lupa, Imam Syafii memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian,
tetapi juga karena Syafiilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang
selama kurang lebih dua belas abad."

Syahdan, dalam sebuah forum, seorang menghujat para Imam mazhab, dengan
mengatakan, bahwa merekalah yang menyebabkan Islam tidak berkembang dan
berpecah belah.

Ketika itu, Prof. Naquib al-Attas, penulis buku *Islam and Secularism*,
membuat sindiran: "Kotoran para imam itu - andaikan boleh - masih layak
untuk bersuci kamu."

Untuk bidang gender, mereka membuat klaim general, bahwa tradisi fiqih
Islam didominasi laki-laki. Tafsir yang ada adalah bias gender. Bahkan,
seorang tokohnya menyatakan, semua kitab suci bias gender. Fenomena ini
sebenarnya mengikuti jejak kaum Kristen. Kaum feminis Kristen, sejak lama
berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapatkan legitimasi dari
Bible.

Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan
dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin adanya Tuhan yang
(bersifat) perempuan. Tuhan yang bukan "huwa" tetapi "hiya". Dalam buku 
*"Feminist
Aproaches to The Bible"* (Washington: Biblical Archeology Society, 1995),
seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan
judul: *"Goddesses: Biblical Echoes"*. Aktivis lain, Pamela J. Milne,
mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi
penindasan terhadap perempuan. Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton
menerbitkan buku *The Women's Bible*, dimana ia mengkaji seluruh teks
Bible yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung
ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk
dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan.

Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bible bukanlah kata-kata
Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh
kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk
mengikuti ajaran Bible. Kaum feminis Kristen tidak berani membuang Bible,
tetapi melakukan perombakan terhadap metode interpretasinya. Problema dalam
tradisi Kristen ini kemudian diimpor ke dalam Islam. Dengan menjadikan
"gender equality" dalam konsep Barat sebagai basis berpikir, mereka kemudian
mengotak-atik al-Quran, dan menyatakan, al-Quran juga bias gender, kecuali
jika ditafsir ulang sesuai pola pikir dan selera mereka.

Problema praktis dan partikular yang dihadapi kaum wanita --memang banyak
diantara mereka yang tertindas-- ditarik ke akar ideologis dan
epistemologis. Seolah-olah, semua itu adalah karena kesalahan ulama Islam
masa lalu, yang merumuskan fiqih yang berpihak pada laki-laki.

Tradisi keilmuan Islam yang sangat agung dipenuhi dengan sikap tawadhu dan
penghormatan kepada para ilmuwan. Imam al-Ghazali, yang dijuluki sebagai
"Hujjatul Islam" dan menulis ratusan kitab dalam berbagai bidang --termasuk
dalam bidang ushul fiqih-- tetap mengaku bermazhab Syafii. Bahkan, Qadhi
Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu'tazilah, juga berpegang pada mazhab Syafii.
Maka, sungguh sulit dipahami, ketika sekelompok orang --yang belum
menghasilkan karya berkualitas ilmiah apa pun dalam bidang ushul fiqih--
berani menghujat Imam Syafii dan menyatakan, fiqih Islam tidak berkembang
selama sekitar 12 abad gara-gara Syafii. Padahal, selama ratusan tahun, kaum
Muslim mengalami kejayaan di berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam kajian
hukum dan hadith yang diletakkan pondasinya oleh Imam Syafii.

Maka, persoalan draft KHI sebenarnya lebih merupakan soal cara berpikir
dan metodologi. Jika disodorkan dalil-dalil al-Quran, Sunnah, *Ijma'*,
atau *qiyas*, mereka akan menyatakan, jangan membaca dalil-dalil itu
secara literal. Tetapi, lihat juga konteksnya. Metode hermeneutis yang
memasukkan unsur historisitas dan sosio-budaya ini sangat fleksibel. *
Khamr* bisa halal, jika udara dingin. Daging babi bisa halal, jika
harganya murah. Sebab, ayat itu diturunkan di Jazirah Arab yang jarang
terdapat babi. Muslimah dilarang kawin dengan laki-laki kafir karena
laki-laki yang dominan dalam keluarga. Jika wanita turut berperan dalam
keluarga, maka larangan itu tidak ada lagi.

Namun, metode literal yang dituduhkan kepada pengritik draft KHI juga
diterapkan oleh penyusun draft KHI sendiri. Mereka juga ingin agar draft KHI
itu dipahami secara literal. Bayangkan, jika kita tidak memahami draft KHI
secara literal. Larangan poligami dalam draft itu bisa dipahami bersifat
personal atau kiasan, hanya untuk laki-laki penyusun draft KHI itu, dan
berlaku kondisional, tergantung waktu dan tempat.

Batasan umur 19 tahun adalah simbolik dan kiasan, bukan diartikan secara
literal. Jika teks-teks hukum tidak diartikan secara literal, maka akan
berlaku kekacauan. Perintah potong tangan bisa diartikan sebagai 'potong
leher'. Perintah 'cambuklah' bisa diartikan dengan 'tusuklah'. Logika-logika
semacam ini mestinya dipikirkan secara mendasar oleh Tim PUG.

Maka, simaklah, misalnya, logika Ketua Tim PUG Dr. Siti Musdah Mulia soal
poligami. Dalam wawancara dengan satu Harian di Jakarta, ia menyatakan, 
*"Polygamy
is for prophets and those who have the same level as prophets, not for
common human beings like us."*

Metode apa yang digunakan oleh Siti sehingga ia sampai pada kesimpulan
bahwa poligami hanya untuk para Rasul dan orang-orang yang selevel dengan
Rasul? Apakah ada manusia yang selevel dengan Rasul? Jika begitu, mengapa
Rasul membiarkan para sahabatnya melakukan poligami? Faktanya, hingga kini,
di berbagai belahan dunia, banyak wanita yang rela dan bangga dipoligami.
Keluarga Soekarno, dari istri mana saja, tidak mengujat bapaknya karena
melakukan poligami. Jika Presiden SBY dan Menteri Agama membuka lowongan
untuk istri kedua, ketiga, dan keempat, mungkin, ribuan wanita akan
mendaftar untuk menjadi istri SBY dan Menteri Agama yang tampan dan kaya
raya. Maka, bukankah larangan poligami akan menyusahkan dan menzalimi begitu
banyak wanita yang ingin menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat?

Logika bahwa asas perkawinan adalah monogami (ps 3 ayat 1), sehingga
perkawinan di luar ayat 1 harus dinyatakan batal secara hukum (ps.3 ayat
2), juga amburadul dan tidak berdasar. Poligami tidaklah mesti dipandang
sebagai rahmat bagi laki-laki dan bencana bagi wanita. Dari kacamata
pertanggungjawaban di akhirat, beban laki-laki berpoligami jauh lebih berat.


Tapi, jangan salah duga. Poligami saat ini, memang bukan urusan
sembarangan. Masalah yang satu ini masuk dalam tinjauan kebijakan luar
negeri AS. Dalam "*RAND Corporation report on Civil Democratic Islam"*yang 
ditulis Sheryl Bernard sebagai bahan masukan penyusunan strategi
politik AS terhadap Islam, disebutkan bahwa kaum fundamentalis Islam
menerapkan poligami. Dalam kebijakan luar negeri AS saat ini, Islam
fundamentalis atau Islam militan ditetapkan sebagai musuh utama. Jika logika
ini diterapkan, maka Soekarno, Masdar F. Masudi, dan Parto Patrio, masuk
daftar Islam fundamentalis.

Soal perkawinan antar agama juga masalah serius. Khususnya perkawinan
antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Al-Quran (60:10), dengan tegas
mengharamkan perkawinan Muslimah dan laki-laki non-Muslim. Belum pernah ada
ulama - sejati – yang menghalalkan Muslimah menikah dengan laki-laki
non-Muslim. Namun, uniknya, hanya dengan satu dalil "pluralisme agama",
semua yang haram dapat menjadi halal. Padahal, paham yang memberi keabsahan
pada semua agama ini sangat bermasalah.

Dalam wawancara dengan Harian yang sama, Siti Musdah mengatakan: *"What is
the actual danger of interfaith marriage? Corruption is more dangerous than
interfaith marriage, as the former harms the nation. Actually, Islam
provides many opinions on interfaith marriage. I just cannot understand why
it must be banned. You cannot agree with interfaith marriage, but you cannot
order others to follow your belief."*

Simaklah logika Siti! Menurutnya, korupsi lebih berbahaya dari perkawinan
antar agama. Ini logika yang amburadul. Korupsi adalah jahat. Perkawinan
yang tidak sah juga jahat, sebab sama saja dengan perzinahan. Pezina patut
dijatuhi hukum cambuk atau rajam, yang bisa jauh lebih berat ketimbang
hukuman bagi koruptor. Benar, banyak perbedaan pendapat dalam hal pernikahan
laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.

Tetapi, tidak ada perbedaan dalam soal haramnya Muslimah menikah dengan
laki-laki non-Muslim. Lalu, simaklah kata-kata Siti: "Anda boleh tidak
setuju dengan perkawinan antar agama, tetapi Anda tidak dapat memaksa orang
lain untuk mengikuti keyakinan anda."

Maka, patut dikatakan padanya, "Anda boleh tidak setuju dengan poligami,
tetapi mengapa anda paksakan sikap anda kepada orang lain melalui KHI?"
Walhasil, persoalan draft KHI sebenarnya soal simptomatis, dari sebuah
gunung es yang sudah berurat berakar di tengah sebagian cendekiawan Muslim.
Kebanggaan memeluk dan mengimani paham gender, pluralisme, demokrasi, dan
hak asasi manusia, menjadikan mereka minder dengan khazanah keilmuan Islam
dan merasa rendah diri berhadapan dengan peradaban Barat. Ini bisa terjadi
karena kebodohan dan sikap a priori, dan besarnya kucuran dana untuk proyek
penguatkuasaan gender dan pluralisme agama.

Jika demikian, lebih tepat dan tidak perlu malu-malu, untuk menyatakan,
bahwa draft KHI rumusan Tim PUG adalah sebuah *"Komunis"* (Kompilasi Hukum
Non-Islam). Bukankah sesuai paham pluralisme agama, Islam disamakan dengan
non-Islam (kafir)? Terlalu gegabah jika Tim PUG menyatakan, draftnya sebagai
"KHI" (Kompilasi Hukum Islam), sebab itu sama saja memposisikan mereka
sebagai mujtahid dan mujaddid agung di abad ini.

Setiap Muslim wajib berdakwah, melakukan amar *ma'ruf* dan nahi munkar;
menjelaskan yang haq dan bathil, kepada siapa pun, termasuk kepada para
cendekiawan yang berpikir keliru. Kaum Musim, terutama para cendekiawan dan
ulama, perlu mengingatkan Tim PUG, bahwa jalan yang mereka tempuh saat ini
sangat berbahaya. Jika mereka berani mencopot satu organ vital (hati,
misalnya) dari tubuh Islam –epistemologi Islam-- lalu mencangkoknya dengan
hati komunis atau hati sekular dari 'Beijing' atau dari 'Cicago', hasilnya
bisa di luar dugaan mereka sendiri. Kaum Muslim akan menyaksikan satu
kerusakan fatal dalam tubuh Islam. Mati tidak, hidup pun enggan. Atau,
muncul seekor 'monster' yang tetap menggunakan nama Islam dan disebut Islam,
tetapi sama sekali berbeda spesies atau genus dengan Islam yang dikenal
sebelumnya. Adalah menarik ajakan bermubahalah dari kelompok Majelis
Mujahidin terhadap Tim PUG. Jika mereka yakin dengan konsepnya, ada baiknya
ajakan mubahalah itu dipenuhi, agar tampak siapa yang taat dan siapa yang
jahat dan mendapat laknat.

Tugas kita adalah memberi peringatan dan nasehat. Tanggung jawab
masing-masing kita di hadapan Allah SWT. Kita juga wajib mengingatkan dan
mencegah kaum laki-laki yang menzalimi wanita, baik yang bermonogami atau
yang berpoligami. Allah mengizinkan poligami, tetapi perlu diingat tanggung
jawab dan beban di hadapan Allah SWT kelak, juga tidak ringan. Yang merasa
mampu berbuat adil, dipersilakan menjalankan. Yang tidak mau dipoligami biar
saja, tidak usah dipaksa. Masih banyak wanita yang mau dipoligami. *Akhirul
kalam*, Allah mengingatkan Rasul-Nya dan kepada kita semua: *"Dan
janganlah merisaukan kamu orang-orang yang berlomba-lomba menuju kekufuran."
* (3:176). (Wallahu a'lam). (KL, 1 Ramadhan 1425/15 Oktober 2004/*
Hidayatullah).*

PNG image

Kirim email ke