Pengajian
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Pengajian Umum isilah populernya dari dulu. Entah mulai kapan, belakangan
panitia-panitia lebih suka menyebutnya Pengajian atau Tabligh Akbar. Tidak
perduli seberapa banyak orang yang akan menghadiri pengajian, di dalam
undangan dan spanduk mesti disebut-tambahkan kata akbar.

Di banyak daerah terutama di Jawa, pengajian umum atau Tabligh Akbar sudah
merupakan 'menu' tetap dalam setiap agenda kegiatan kaum muslimin. Boleh
dikata, tidak ada hari besar Islam tanpa pengajian. Pengajian juga merupakan
acara inti dalam setiap kegiatan khataman pesantren atau madrasah, dalam
peringatan haul ulama, walimatul 'ursy; khitanan, syukuran haji, bahkan
pindahan rumah.


Mungkin, semangat pengajian itu terutama didorong oleh gairah dakwah yang
agaknya oleh umat Islam memang baru dipahami sebatas pengajian semacam itu.
Maka, galibnya pembicara atau penceramahnya disebut dai atau mubaligh Dari
sisi lain, karena namanya pengajian, maka yang mengisi atau berceramah pun
juga umum disebut kyai.


Agaknya, masyarakat pun tidak merasa perlu membedakan antara "kyai mubaligh
dan "mubaligh kyai". Padahal, keduanya-satu dengan yang lain-sangat berbeda.
"Kyai mubaligh" artinya orang yang disebut kyai, karena mengisi pengajian
alias mubaligh. Dia tidak harus memiliki pesantren atau bisa mengajar para
santri. Sedangkan, "mubaligh kyai" ialah kyai yang-karena bisa
tablig-diminta mengisi pengajian. Pembicara atau penceramah yang disebut
kyai hanya karena pandai berbicara atau berceramah tentu tidak sama dengan
kyai yang bisa berbicara atau berceramah. Katakanlah, yang pertama adalah
orang yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, sedangkan yang satunya
lagi adalah kyai yang menjalankan fungsi tabligh atau dakwahnya.


Mereka yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, umumnya memang memiliki
bakat atau kemampuan berbicara dan pintar menarik perhatian. Mereka biasanya
juga pandai melihat situasi. Ini kelebihan mereka. Kelemahan mereka,
terutama bagi mereka yang sudah terlanjur 'laris', adalah dari segi mutu
materi dakwah mereka. 'Bahan' yang terbatas, sering kali tidak sempat
dikembangkan justru karena terus 'terpakai. Ibarat baterei yang tidak sempat
di-charge.

Sebaliknya, mereka yang kyai umumnya tidak begitu mementingkan metode
dakwahnya. Kadang-kadang, kita jumpai kyai yang mengisi pengajian umum
persis seperti kalau beliau mengajar santri-santrinya di pesantren.


Di samping soal dai dan mubalighnya, pengajian atau ceramah agama yang juga
mulai marak di kota-kota besar juga menarik diamati. Boleh jadi, menyadari
keampuhan-atau dan 'kemurahan'-pengajian ceramah atau majelis taklim, banyak
kelompok, golongan, organisasi, partai, bahkan instansi, yang menggunakannya
untuk kepentingannya. Sering kali, kepentingan itu jauh dari kepentingan
da'wah ila Allah atau da'wah ila al-lkhair.


Anda bayangkan sendiri. Berapa banyak golongan, kelompok, organisasi, partai
dan instansi yang ada di negeri ini. Bayangkan, bila masing-masing memiliki
majelis taklim sendiri, memiliki dai atau mubaligh sendiri-sendiri, dan
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Alangkah banyaknya jalan di depan
kita. Masih mending, bila jalan-jalan itu menuju ke satu tujuan.


Kalau pun ada dakwah yang memang dimaksudkan mengajak ke jalan Tuhan atau
kepada kebaikan, dai dan mubalighnya pun-sebagaimana dakwahnya itu sendiri
yang 'alamiah'- boleh dikata juga 'alamiah', untuk tidak mengatakan
amatiran.


Kita belum pernah mendengar ada semacam evaluasi terhadap kegiatan pengajian
yang begitu intens itu. Misalnya, untuk sekedar mengetahui sejauh mana
pengaruh kegiatan pengajian itu terhadap akhlak masyarakat. Atau, adakah
korelasi antara pengajian-pengajian yang begitu semangat dengan perilaku
masyarakat? Bila pengajian itu amar-makruf-nahi-munkar, mengapa makruf masih
tetap mewah dan munkar merajalela?



*(Tulisan ini juga akan dimuat di Majalah MataAir Edisi ke-8 yang akan
terbit Januari 2008) *

Kirim email ke