Tidak terlintas sedikit pun dalam benak A Meng alias Parlan (28) yang
menjadi muslim sejak 2002 akan dikucilkan, bahkan tidak diakui oleh
orangtua, sanak keluarga dan oleh lingkungan etnis Tionghoa.

Rongrongan demi rongrongan datang dari orang tua dan sanak keluarga ketika
dirinya harus memutuskan akan keluar dari kepercayaan sebelumnya. Tetapi
dengan keteguhan dan kemantapan yang ia yakini akhirnya dia memutuskan
menjadi mualaf.


Meskipun harus "terbuang", terusir dari keluarga besarnya dan lingkungan
sekitar yang tidak lagi menganggap A Meng yang dulu lagi, melainkan sosok
manusia yang berubah setelah memeluk agama Islam menurut pandangan etnis
Tionghoa.

Tetapi hari demi hari ia lewati dengan penuh duka. Berbekal baju "sehelai
sepinggang", ia meninggalkan rumah dan sanak keluarga yang berada di Wajok
Hilir, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak, Kalbar, yang berjarak belasan
kilometer dari Ibu Kota Pontianak.

Ketika itu ia masih belum membina rumah tangga, sehingga sempat hidup
terlunta-lunta tanpa tahu kemana hendak menjejakkan langkah kakinya untuk
menyongsong masa depan.

"Saya waktu itu sempat tidur di sebuah masjid di kawasan Wajok Hilir dalam
beberapa minggu, yang terkadang makan satu atau dua kali dalam sehari itu
pun atas belas kasihan warga yang prihatin melihat kondisi saya," kata
Parlan yang kini sudah mempunyai dua anak buah hati pernikahannya dengan
Sumiati (25).

Karena ada warga yang prihatin melihat kondisinya, maka ia ditawarkan
bekerja di sebuah perusahaan kayu, PT Liberty, di Wajok Hilir. Setelah
mendapat pekerjaan, kondisinya lambat laun mulai membaik.

Hari demi hari ia lalui dengan penuh suka-cita sambil memperdalam agama
Islam. Hingga tibalah ujian yang kedua yang ia alami yaitu ketika terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran oleh pemilik perusahaan
pada tahun 2005.

Ia salah satu dari ratusan karyawan yang terkena PHK, akibatnya Parlan harus
banting stir untuk meneruskan hidupnya. Dalam masa sulit itulah ia bertemu
dengan Sumiati yang kini menjadi pendamping hidupnya.

"Setelah saya kawin, lantas membuka usaha jual goreng pisang di kawasan
Siantan, karena usaha yang ditekuni berjalan lancar, hingga kini saya masih
berjualan goreng pisang, dan Alhamdulillah bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari," katanya.

Menurut dia, kisah etnis Tionghoa mualaf seperti yang ia alami, hampir
terjadi di kebanyakan warga Tionghoa yang menjadi muslim. Karena itu,
pengalaman pahitnya, hendaknya tidak dialami oleh orang lain yang memutuskan
akan memeluk agama Islam.


*Bagai berlian Kecil Tapi Berharga*

Sementara menurut Chau Joe Him alias Amin Andika (43), mualaf Tionghoa
hendaknya bisa menjadi berlian. "Walau pun kecil namun berharga di mata kaum
muslim dan kalangan Tionghoa non-muslim.

Amin adalah sosok mualaf yang sangat berperan aktif dalam memberikan
motivasi kepada para mualaf lain yang hidup dalam kesusahan akibat terbuang
dari keluarga dan lingkungan karena berpindah keyakinan.

"Kami mualaf dari Tionghoa minoritas dari minoritas. Tetapi dari jumlah yang
sedikit itu saya berharap bisa seperti berlian, biar kecil tetapi berharga
di mata kaum muslim itu sendiri serta di kalangan Tionghoa yang non-muslim,"
kata Amin Andika, yang juga Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
Kalimantan Barat.

Ia menjelaskan, para mualaf Tionghoa harus bisa membuktikan bahwa dengan
berpindah keyakinan, bukan berarti putus segalanya. Melainkan lebih
mempererat tali silaturahmi antarkeluarga yang tidak mungkin bisa
dipisahkan.

Amin Andika lantas mempertanyakan, mengapa jika pindah agama selain Islam,
bisa diterima di kalangan keluarga? Tetapi ketika berpindah ke agama Islam,
ditolak keras oleh keluarga dan lingkungan. "Bahkan tidak sedikit dari kami
yang tidak diakui sebagai anak oleh orangtuanya," kata pria berkulit putih
tersebut.

Atas pertimbangan adanya penolakan dari keluarga dan sahabat itulah, PITI
dibentuk sejak tahun 1986 di Kalbar. Misinya, tak lain adalah menggalang
keutuhan beragama di kalangan mualaf dari Tionghoa yang memang sangat
membutuhkan pertolongan dari kaumnya.

"Apalagi 95 persen dari sekitar 14 ribu mualaf dari Tionghoa adalah kalangan
kelas sosial masyarakat menengah ke bawah. Ekonomi lemah atau miskin, karena
kebanyakan yang masuk Islam diusir dari keluarga tanpa membawa harta benda,"
katanya.

Menurut pria yang memiliki kegemaran memelihara ikan hias itu, peranan PITI
sangat dibutuhkan untuk membimbing para mualaf yang kehidupannya di bawah
garis kemiskinan, sehingga mereka bisa memegang teguh pilihan yang telah
mereka tentukan untuk masa depannya.

"Kondisi mualaf Tionghoa saat ini masih banyak yang hidup memprihatinkan,
kita berharap mereka tidak dikucilkan dari keluarga hanya karena perbedaan
aqidah," katanya pria dengan tiga putra itu.

Amin menyatakan, anggota PITI Kalbar saat ini sudah berjumlah 14 ribu umat.
Sementara etnis Tionghoa berjumlah sekitar 12 persen dari total penduduk
Kalbar yang mencapai 5 juta jiwa.

Ketua PITI yang juga seorang pengusaha ikan hias kelahiran Pontianak, 1964
silam, itu menaruh harapan besar agar teman-temannya, sesama Tonghoa muslim,
kini mendapat tempat yang layak di lingkungan keluarga mereka.

Demi meningkatkan taraf kehidupan mualaf Tionghoa, Amin kini juga mempunyai
berbagai usaha yang diperuntukkan bagi mualaf Tionghoa yang tergolong tidak
mampu.

*Bersama seorang istri, Sri Lianti (38) yang setia mendampingi, di usia yang
memasuki setengah abad, Amin Andika, menyebarkan agama Islam di kalangan
Tionghoa dan keluarga. Bersama tiga buah hatinya, Rihat Andika (17), Malsul
Vernanta Andika (15), dan Insarel Andika (12), mereka tinggal di Jl Parit
Haji Husin II, Kecamatan Pontianak Selatan.*

Ia menceritakan, bagaimana pengalamannya ketika akan berpindah agama, yaitu
dengan melakukan pendekatan kepada keluarga dan memberikan pengertian,
dengan kepindahannya tidak akan merusak hubungan keluarga yang selama ini
sudah terbina

"Saya berharap mualaf Tionghoa bisa diterima di kalangan etnis Tionghoa,
sehingga tidak ada perbedaan di antara kita," katanya penuh harap.

*Tidak Berbeda*

Menanggapi ungkapan para mualaf Tionghoa itu, Ketua Majelis Adat Budaya
Tionghoa (MABT) Kalbar, Erick S. Martio mengatakan, perbedaan kepercayaan
merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Jangan sampai masyarakat
memandang perbedaan kepercayaan dalam satu rumah tangga menjadi perpecahan,
tetapi jadikanlah sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Ia mengatakan, pandangan bahwa Tionghoa yang memutuskan memeluk agama Islam
harus dikucilkan, suatu pandangan yang salah besar, karena tidak sedikit
dijumpai saat ini, Tionghoa yang memeluk agama Islam.

"Bahkan tidak sedikit pengurus MABT yang beragama Islam. Semua agama sama
yang penting bagaimana seseorang membawa dan mengamalkannya sehingga berguna
bagi diri sendiri dan orang lain," kata Erick.

Sejak MABT didirikan tahun 2004, keanggotaannya memang dari kalangan
Tionghoa, tetapi tidak ada batasan agama, siapa saja boleh masuk anggota
asal dia dari etnis Tionghoa. "Kita tidak membedakan agama, bahkan MABT
membantu salah satu kegiatan sosial PITI dalam memberikan bantuan sembilan
bahan pokok bagi masyarakat tidak mampu," katanya.

Ia menyatakan, adalah penilaian yang salah besar kalau banyak orang
memandang mualaf dari Tionghoa harus dikucilkan, bahkan agama Islam pertama
kali dibawa ke Indonesia oleh Tionghoa.

Sebagai contoh bentuk kepedulian itu, ia wujudkan dengan ikut sertanya dalam
kegiatan buka puasa bersama. "Saya tidak terusik dengan bulan Ramadan bagi
umat muslim. Malah saya sering mengikuti buka bersama yang diselenggarakan
oleh teman-teman mualaf," katanya.

Cerminan toleransi beragama juga sangat terasa di Pontianak saat ini.
Sejumlah tokoh Tionghoa membuat acara khusus mengundang rekan, kolega, dan
relasi untuk berbuka puasa bersama. Suasana sejumlah tempat makan di Kota
Pontianak juga mewujudkan toleransi itu dengan memasang tabir penutup,
sehingga tidak menyinggung warga yang sedang berpuasa.

Erick mengajak adanya warna-warni perbedaan itu sebagai kekayaan. Dan jangan
melihatnya sebagai perbedaan yang pada akhirnya menjadi perpecahan.
"Jadikanlah perbedaan sebagai wujud kebersamaan untuk membangun Kalbar di
masa mendatang," katanya. (*) oleh Andilala/antara

Kirim email ke