Dominasi Politik Kaum Demagog

Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat
yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles,
justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu,
2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem
politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.



Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang
raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner,
Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan
(pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem
demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke
sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau
formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.



Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat
padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa
menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah
terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya
sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.



Di Indonesia, belakangan ini, banyak demagog seperti yang ditakutkan oleh
Aristoteles itu. Hampir dap hari rakyat melihat demagog, politisi
perseorangan ataupun institusi, yang membohongi rakyat Ada tokoh politik
yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal
pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.



Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari
disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan
bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi padahal
dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol
keuangan negara.



Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang
dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara akan makmur, rakyat
sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan
perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk
kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh
Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi.



Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok. Bahkan, jika ukurannya adalah
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, cenderung dapat dikatakan
gagal.



Mengapa? Karena arena politik Id calebih banyak dikuasai oleh para demagog.
Lembaga-lembaga politik kita sekarang ini tampaknya lebih didominasi oleh
para demagog yang biasanya tampil sebagai elite politik bukan karena
kapabilitasnya melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya.



Bukan rahasia lagi, banyak pimpinan politik di parpol di eksekutif, dan di
pusat ataupun di daerah, yang meraih kedudukannya melalui premanisme dan
kolusi politik Segepok uang sebagai hadiah mentah, biaya tiket, dan uang
saku biasa diberikan bagi mereka yang mau mendukung sang "demagog".
Sebaliknya ancaman alienasi, pencopotan, dan teror diberondongkan terhadap
mereka yang tak mau mendukung sang demagog.



Untuk memimpin parpol, para demagog yang biasanya pandai berpura-pura itu
tak jarang mendapatkan uang untuk membeli kemenangannya melalui sponsor
dari kekuatan di luar partainya. Ada yang dari pengusaha hitam yang
mengharapkan dukungan untuk satu proyek atau memutihkan catatan hitamnya.
Ada yang dari kekuatan politik lain, termasuk dari penguasa, yang meminta
komitmen dukungan dengan kompensasi politik tertentu; dan ada yang dari
kekuatan lain yang ingin memanfaatkanya sebagai kendaraan politik.



Politik demagogi ini menyebabkan parpol dan lembaga politik lainnya menjadi
sesat. Sebab dari sana, jabatan-jabatan politik dan kebijakan publik
ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan
nasib rakyat.



Apakah dominasi demagog sebagai keniscayaan di dalam demokrasi? Tentu tidak
Bahwa di dalam demokrasi selalu ada demagog, sudah pasti ya. Tapi dalam
kenyataanya demagog bisa tidak dominan. Setidaknya ini bisa dilihat dari
dunia perpolitikan kita sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an. Para
elite politik kita pada masa itu lebih didominasi oleh orang-rorang yang
penuh integritas memperjuangkan kepentingan rakyat.



Kita telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno,
Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I J. Kasimo, Mohammad Roem dan Wilopo yang
tampu ke tampukkepemimpinan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi,
melainkan karena diminta dan didorong dari bawah; karena integritas dan
keikhlasannya. Masa itu memang ada demagog, tapi tak bisa mendominasi
bahkan teralienasi dari percaturan politik, Sebaliknya sekarang ini
demagoglahyang dominan.



Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau agar dunia politik
kita tidak didominasi oleh para demagog seperti sekarang ini. Berdasar
fakta sejarah sampai tahun 1950-an, dulu kita bisa menampilkan elite-elite
yang berintegritas dan ikhlas dalam berjuang untuk rakyat: Kalau para
demagog masih mengangkangi kita seperti sekarang, jangan harap negara akan
beres dan jangan bermimpi reformasi ada gunanya. []



Moh. Mahfud MD, Akademisi



Sumber:

http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=17




-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke