Ku uing dilabelan, Bah Waluya, ngarah gampang nyusudna deui.

---------- Forwarded message ----------
From: Waluya <waluy...@yahoo.com>
Date: 2012/3/30
Subject: [Urang Sunda] Jend Hidayat Martaatmadja --> Re: DIVISI SILIWANGI
To: urangsu...@yahoogroups.com


**
> "mang jamal" <jamal@...> wrote:

> Soal militer, di hindia belanda harita, pribumi munggaran nu sakola >
militer di akademi us, hidayat sareng didi kartasasmita. Hidayat
> ieu nu munggaran usul ka syafrudin prawiranagara nyieun pdri di
> bukittinggi basa bk-hatta ditewak walanda.

Keur ngalengkepan Mang J, ku kuring dicopy-pastekeun artikel Almarhum
Rosihan Anwar perkawis Jenderal Hidayat. Geus sababraha balikan kuring maca
artikel ieu, teuing bet boga perasaan reueus, hanjakal, keuheul campuraduk
....

Mengenang Jenderal Hidayat Martaatmadja
Soeharto: Senior Saya yang Masih Hidup...

H Rosihan Anwar

Lebih baik terlambat daripada tiada pernah. Inilah sebuah cerita tentang
seorang anak bangsa, pejuang kemerdekaan pada zaman revolusi: Letnan
Jenderal TNI- D (Purn) R Hidayat Martaatmadja.

Ketika Jimmy Carter seorang gubernur dari Atlanta turun ke gelanggang
pemilihan presiden pada dasawarsa 1970, banyak rakyat Amerika yang tidak
mengenalnya, lalu bertanya: Carter who?, siapa Carter?

Ketika Jenderal Hidayat meninggal dunia, banyak wartawan Indonesia dari
generasi muda yang memegang kendali meja berita juga tidak kenal almarhum.
Akibatnya, tiada sepatah kata pun ada beritanya. Hidayat who?, siapa
Hidayat?

Pagi itu, Senin, 24 Oktober 2005, Dewi Rais, mantan wartawan Harian
Pedoman (tahun 1974) menelepon saya mengabarkan ayahnya, yaitu Hidayat,
Letjen TNI (Purn), meninggal dunia dalam usia 90 tahun. Sejak beberapa
waktu belakangan kesehatan almarhum menurun lantaran usia tua. Praktis
tidak mengenal lagi orang, gejala penyakit alzheimer, yang juga dialami
oleh Presiden AS Ronald Reagan dan wartawan Indonesia Mochtar Lubis.

Jenderal Hidayat, putra seorang Wedana Cimahi pada zaman Hindia Belanda
urang Sunda dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Keesokan
harinya tidak ada koran, televisi, dan radio memberitakan meninggalnya
almarhum. Apakah beliau sudah dilupakan? Ataukah karena generasi muda tidak
mengenalnya? Hidayat who?

Dewi Rais bercerita kepada saya bahwa semula Mabes AD menyediakan Wakil
KSAD selaku inspektur upacara pemakaman. Suami Dewi, yaitu Letjen TNI AD
(Purn) Rais Abin, mantan Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Mesir-Israel
dan mantan duta besar di Kuala Lumpur dan Singapura, berpendapat, Pak
Hidayat patut diberi penghormatan terakhir yang setara.
Almarhum selain jenderal juga pernah menjabat sebagai menteri kabinet.
Minimal jenderal bintang empat bertindak selaku inspektur upacara. Rais
Abin menelepon Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang dikenalnya baik dulu
ketika bertugas di Makassar, yaitu saat JK baru pada awal karier sebagai
saudagar dari NV Haji Kalla, lalu menerangkan situasi. Untung JK bertindak
sigap. Ia minta
pemakaman secara militer. Hal itu pun terjadi. Maka terpenuhilah bunyi
peribahasa Belanda Ere wien ere toekomt, yang dalam terjemahan tokoh
politik PNI almarhum Manai Sophian menjadi Kehormatan bagi yang berhak.

Sama Didi Kartasasmita
Hidayat termasuk urang Sunda yang pada zaman kolonial beroleh kesempatan
menuntut pelajaran pada Akademi Militer Kerajaan di Breda untuk menjadi
officier atau perwira tentara KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Urang
Sunda yang lain ialah Didi Kartasasmita yang tamat sekolah menengah HBS
Bandung pada tahun 1934 naik kapal menuju Breda. Mereka kemudian dilantik
sebagai letnan dua KNIL. Sementara itu, sebelum pecah perang dengan Jepang
tahun 1941
Hidayat yang sudah letnan satu keluar dari KNIL. Alasan formal karena
sakit. Alasan sebenarnya karena Hidayat tak tahan melihat diskriminasi
Belanda terhadap inlander alias pribumi.

Orang Indonesia lain yang jadi perwira KNIL adalah Mayor Oerip
Soemohardjo (yang pada awal revolusi sebagai letnan jenderal menjabat
Kepala Staf Tentara), Mayor Suryo Santoso (yang memihak kepada tentara
Nica-Belanda), Soedibio (yang sebagai mayor jenderal TNI mengepalai POPDA
atau Panitia Oeroesan Pengembalian Djepang dan APWI), Suryadarma (yang
kelak jadi Kepala Staf AURI).

Akhir September 1945 Didi bertemu dengan Menteri Penerangan Amir
Syarifudin untuk menjelaskan mengapa eks perwira KNIL bersikap menunggu
untuk bergabung dengan tentara nasional. Sebabnya mereka dulu bersumpah
setia kepada Ratu Belanda.

Ajak mereka bergabung dengan Republik ujar Amir. Maka Didi dibantu oleh
rekannya Soedibio dan Samidjo pergi ke Bandung serta Yogya menemui eks
perwira KNIL, agar mereka menandatangani surat pernyataan setuju masuk
tentara nasional. Dari 20 orang, 14 menandatanganinya. Dia bertemu dengan
Letnan Satu KNIL Hidayat di Bandung, yang lalu mencari kontak dengan
orang-orang Akademi Militer Bandung yang lebih muda usianya dan belum
diambil sumpahnya sebagai officier. Kecuali satu orang, seluruh kelompok
Bandung, sekitar AH Nasution dan
TB Simatupang, menandatangani surat keterangan yang dibawa oleh Didi
Kartasasmita.

Setelah terbentuk tentara nasional pada tahun 1945 Didi mengepalai
Komandemen I (Jawa Barat) di Purwakarta, sedangkan Hidayat adalah kepala
staf. Kemudian Hidayat jadi Wakil Panglima Siliwangi di Tasikmalaya.
Setelah aksi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 tentara Siliwangi
di Jawa Barat bergerilya melawan Belanda.

Panglima Kolonel AH Nasution tinggal di satu tempat saja, berbeda dengan
Hidayat yang mobile bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian
Hidayat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (AP) I. Waktu PM Amir
Syarifudin berunding di Jakarta menjelang perjanjian Renville, Hidayat ikut
dalam delegasi Indonesia sebagai penasihat militer. Pada kesempatan itu
saya berkenalan pertama kali dengan Hidayat. Orangnya santun, bisa bergaul
dengan saya, wartawan yang tujuh
tahun lebih muda usianya. Hidayat didikan Breda jadi biasa bercakap-cakap
dengan saya dalam bahasa Belanda.

Pembentukan PDRI

Hidayat dipindahkan ke Sumatera menjadi Panglima Komando Sumatera.
Mengingat situasi waktu itu, dia harus berjalan kaki untuk menginspeksi
unit-unit tentara dengan didampingi oleh Kapten Islam Salim (putra Haji
Agus Salim) sebagai ajudannya.

Untuk sampai di Kotaraja, Aceh, mereka berjalan kaki. Suatu prestasi
fisik luar biasa. Ketika pecah aksi militer Belanda ke-2, 19 Desember 1948,
Hidayat berada di Sumatera Tengah. Soekarno-Hatta-Sjahrir-HA Salim sudah
ditawan oleh militer Belanda, diasingkan ke Prapat dan Bangka.

Telegram yang dikirim dari Yogya oleh kabinet tak pernah sampai kepada
Syafrudin Prawiranegara, menteri yang bertugas di Bukittinggi. Toh,
Syafrudin mengambil langkah untuk membentuk sebuah pemerintah darurat.

Pembicaraan kurang lancar karena Syafrudin yang sarjana hukum berpikir
terlalu legalistis. Datanglah Hidayat dan Islam Salim dan mereka mendesak
supaya mengambil keputusan bersifat politis. Maka lahirnya PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) yang diketuai oleh Syafrudin untuk melanjutkan
perjuangan melawan Belanda. Tidak banyak orang yang tahu, inklusif
sejarawan, mengenai peranan Hidayat dalam pembentukan PDRI.

Kedaulatan

Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 Kolonel Hidayat
memimpin misi pembelian barang dan senjata di luar negeri. Dia sempat
dituduh oleh Kolonel Suhud melakukan korupsi yang sama sekali tidak benar
adanya.

Karena Kolonel AH Nasution sebagai KSAD tidak berbuat apa-apa, maka
Hidayat memilih keluar dari TNI. Ia pindah ke Cipanas, tinggal di sebuah
gubuk di daerah pegunungan, sampai saatnya dia direhabilitasi nama baiknya
oleh PM Wilopo dan Menteri Djuanda.

Hidayat lalu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan.
Dia pernah dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditanya apakah mau menjadi
KSAD menggantikan Nasution. Hidayat menolak. Alasannya? Ini soal corps
d'sprit, ujarnya. Baginya penting mengutamakan semangat korps tentara dan
setia kawan
ketimbang mempromosikan kepentingan pribadi. Bung Karno kemudian mengangkat
Hidayat sebagai Menteri Perhubungan Darat dan Pariwisata. Selanjutnya dia
menjabat sebagai Duta Besar RI di Kanada dan Australia.

Keluar dari jabatan pemerintah Hidayat bekerja di bidang bisnis. Ia punya
hubungan dengan Cygma Insurance, dengan perusahaan Jerman Eisenbau
Ferrostahl yang berperan dalam proyek Krakatau Steel di Banten. Namun, dia
tidak pernah menonjol karena tabiatnya yang suka berada di latar belakang
dan menegakkan profil rendah.

Dia setia kepada istrinya, Ratu Aminah, yang 10 tahun lebih tua usianya.
Mereka menikah tahun 1941. Pada zaman Jepang hidup mereka cukup susah.
Hidayat pernah menjadi sopir mobil. Bahkan pada zaman Republik, Hidayat
tidak punya rumah. Lalu ada rumah di Jalan Cik di Tiro dan dia berkata
kepada Kolonel Suprayogi yang menteri, Ibu belum punya rumah.

Harga rumah itu Rp 40.000 dan dengan pertolongan pengusaha Markam yang
mengasih duit, rumah bisa dibeli Hidayat yang menemukan dalam diri Ratu
Aminah, his soulmate, yang apabila sakit dijaga dan dirawatnya dengan penuh
dedikasi.

Sifat Hidayat adalah tidak suka bicara jelek tentang orang lain. Dia
orang yang religius sekali. Waktu jadi dubes dia taat melakukan shalat lima
waktu. Dia selalu berkata money is not everything, uang bukanlah
segala-galanya.

Ratu Aminah berbeda dengan Hidayat yang aktif di dunia politik. Semasa muda
Ratu pengagum Bung Karno. Kemudian dia jadi Ketua Umum Partai IPKI (Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Setelah Ratu Aminah meninggal dunia,
Hidayat menikah lagi dengan seorang janda, yakni Bu Annie, dari keluarga
Natakusuma.

Teman sekolah

Annie adalah temannya satu sekolah di HBS Bandung zaman Belanda. Bu Annie
merupakan cucu Prof Snouch Hurgronje, ilmuwan dan advise voor Inlandsche
Zaken Pemerintah Hindia Belanda, pakar dalam masalah Aceh dan agama Islam,
yang kawin dengan gadis Sunda.

Hidayat dan Annie dulu ibarat school sweethearts, kekasih di sekolah.
Tatkala saya bersama Herawati Diah, Zuraida Rosihan, dan Babe Laurens
datang menyampaikan belasungkawa kepada Bu Annie di rumahnya, kami
mendapatkan seorang perempuan tua yang masih sehat, kecuali pendengaran
berkurang, usia 91 tahun, ingat sering berpapasan jalan kaki dengan saya di
daerah Menteng bila dia dan
Pak Hidayat berolahraga pagi. Itu dulu waktu Hidayat belum kena penyakit
alzheimer.

Enam bulan yang lalu mantan Presiden Soeharto lewat Bob Hasan menanyakan
bagaimana keadaan Hidayat, bagaimana soal ekonomi-keuangannya. Rais Abin
pun datang ke Jalan Cendana dan menceritakan keadaan Hidayat. Tak bisa
berbuat apa-apa lagi karena penyakit alzheimer itu. Lalu Rais Abin bertanya
kenapa Soeharto menaruh minat terhadap Hidayat. Pak Harto menjawab, Pak
Hidayat adalah senior saya satu-satunya yang masih hidup. Ketika Hidayat
dikebumikan di Kalibata. Soeharto bermaksud mau menghadiri, tapi terhalang
karena kesehatannya terganggu.

Jenderal Hidayat Martaatmadja sudah tidak ada lagi. Semoga arwahnya
diterima oleh Tuhan di sisiNya. Beristirahatlah dalam kedamaian di alam
barzakh.


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/02/opini/2256766.htm

Kirim email ke