From: yogas@ ..

Aku menikmati segelas pop mie hangat di tengah guncangan kapal yang
menyeberangi selat Bali. Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan
perut. Sejak siang perutku belum terisi makanan. Siang tadi aku tidak
sempat makan, sebab harus menyelesaikan beberapa hal. Mau makan malam
tidak jadi, sebab kupikir di dalam bis malam yang membawaku ke
Denpasar nanti pasti dapat makan malam. Jadi buat apa makan di rumah?
Ternyata makanan yang disajikan oleh rumah makan, dimana bis yang
kutumpangi berhenti, terdiri dari ayam goreng dan sambal. Melihatnya
pun aku langsung menjadi kenyang. Aku memang tidak bisa makan makanan
pedas. Maka aku hanya minum teh hangat saja. Bis melanjutkan
perjalanan menuju Denpasar.

Dalam kapal penyeberangan perutku sudah tidak bisa diajak kompromi
untuk bersabar sampai Denpasar. Maka aku beli sebuah pop mie dan teh
hangat. Belum selesai aku makan, datang seorang anak lelaki. Usianya
sekitar 13 tahun. Penampilannya tidak jauh beda dengan anak-anakku di
rumah singgah. Dia duduk tidak jauh dariku sambil menawarkan jasa
semir sepatu pada orang yang duduk disebelahnya. Orang itu menolak,
meski anak itu telah berusaha merayunya. Dia melihat padaku, tapi
tidak menawarkan jasanya, sebab aku memang memakai sandal jepit. Dia
beralih dan menawarkan pada beberapa penumpang lain. Tapi tidak satu
pun yang mau menggunakan jasanya, bahkan ada yang dengan jelas
mengusirnya.

Sepintas aku mendengar bahwa dia belum makan sejak siang. Tapi kupikir
alasan klasik seperti teman-teman di Dinoyo juga senantiasa punya
alasan. Aku melanjutkan makan mie. Aku sama seperti penumpang lain
yang tidak tergerak untuk memberikan sesuatu atau menggunakan jasanya.
Aku pikir mengapa sudah dini hari seperti ini masih ada anak kluyuran
di kapal? Apa tidak dilarang untuk melakukan hal itu di atas kapal?
Tampaknya dia tidak membawa peralatan yang biasa digunakan anak-anak
semir. Dia hanya membawa tas kecil berisi peralatan semir. Mungkin
untuk mengelabui petugas yang akan melarangnya.

Mungkin karena capek, anak itu duduk menonton TV. Aku tidak peduli
lagi padanya. Aku pikir sudah sering aku membantu anak seperti itu.
Ini saatnya aku melupakan mereka. Biar ada orang lain yang memberinya.
Aku ingin menikmati sisa teh hangat. Kapal sudah hampir sampai di
Gilimanuk. Aku bergegas turun. Kulihat anak itu berdiri dan berjalan
dari kursi ke kursi mencari sesuatu. Dia sampai di kursi tempatku
duduk. Dia mengambil gelas pop mie yang aku geletakan di bawah kursi.
Masih ada sisa kuah di dalamnya. Lalu dia meminumnya. Aku tercengang!
Tapi beberapa orang yang sudah ada di belakangku ingin segera turun.
Aku pun turun dan masuk ke dalam bis.

Terbayang wajah anak itu yang menuangkan sisa-sisa kuah pop mie dalam
mulutnya. Mungkin dia sungguh-sungguh lapar. Mengapa aku tadi diam
saja? Aku beralasan bahwa dia tidak meminta padaku. Tapi dia tadi
menatapku. Bukankah itu sebuah permintaan yang tidak terucapkan?
Bukankah sorot matanya tadi sudah mengandung kata-kata mohon
pertolongan? Mengapa aku tidak menawarinya pop mie? Mengapa aku tadi
mengadili bahwa perkataanya belum makan sejak siang hanyalah sebuah
kebohongan belaka? Aku memang sering dibohongi oleh teman-teman di
Dinoyo, mereka mengatakan belum makan, lalu aku belikan makanan, tapi
ternyata mereka masih punya uang untuk beli rokok. Mengapa aku tidak
berani dibohongi sekali lagi? Terbayang lagi wajah anak itu.
Seandainya aku membeli sebungkus pop mie lagi uangku masih tersisa
banyak. Tapi mengapa tidak ada niatan untuk membelinya? Aku beralasan
ingin berhenti sejenak. Aku ingin tidak peduli sejenak pada anak-anak
miskin. Mengapa aku ingin berhenti sejenak? Berbagai pertanyaan
menusuk hatiku.

Bis berguncang-guncang. Hatiku bergulat! Aku malu melihat diriku
sendiri. Aku malu dengan idealismeku. Mengapa aku mau menolong
teman-teman di Dinoyo sedang pada satu teman ini aku diam saja bahkan
tidak peduli? Mengapa aku berpikiran negatif padanya bahwa dia
berbohong soal lapar?
Teringat kembali perkataan Yesus bahwa Dia datang kapan saja. Aku
hanya diminta berjaga-jaga. Aku sering mengatakan bahwa aku siap.
Ternyata aku tidak siap. Aku tidak bisa senantiasa berjaga-jaga.
Dengan berbagai alasan aku berusaha memaafkan diri dengan menyodorkan
berbagai alasan yang kuanggap tepat untuk membela diri. Tapi wajah
anak itu dengan sorot matanya senantiasa terbayang. Sorot mata itu
berbalik mengejekku. Cara dia menuangkan sisa kuah mie seolah
melecehkan idealismeku. Menghancurkan kesombonganku yang seolah sudah
berbuat banyak sehingga membutuhkan istirahat. Dia ingin menunjukan
bahwa aku belum mempunyai kepekaan hati pada orang yang membutuhkan
pertolongan.

Aku pejamkan mata. Ingin mengakhiri semua perdebatan dalam hati dan
tidur untuk menghabiskan sisa dini hari. Aku ingin tidur. Ya ternyata
aku sudah tidur sejak makan pop mie tadi. Aku tidur seperti para
pelayanan ketika tuannya pergi. Maka aku tidak sadar ketika tuan itu
datang. Dulu aku sering menghina Petrus dan kawan-kawan yang enak
tertidur di taman Getsmani padahal di dekatnya Yesus sedang bergulat
dalam kecemasan. Kini aku memahami teguran Yesus pada Petrus. Betapa
sulitnya untuk berjaga barang sejenak saja. Berjaga untuk menemani
Yesus yang sedang dalam penderitaan. Yesus yang sedang menahan lapar.
Dia telah datang padaku dan mengingatkan aku agar menemani Dia, tapi
aku hanya terbangun sejenak kemudian melanjutkan tidurku. Aku baru
sadar ketika semua sudah berlalu. Sebuah kesempatan telah kulepas.
Kesempatan untuk melayani Yesus yang datang padaku.

Terbayang kembali tatapan mata anak itu yang tertuju padaku. Aku yakin
bahwa dia tidak menatapku melainkan menatap pop mie yang ada di
tanganku. Dia seperti Lazarus yang menatap orang kaya yang sedang
menikmati makanannya. Bukan orang kaya itu yang menjadi perhatiannya,
melainkan makanan yang ada di mejanya. Makanan yang bisa mengurangi
rasa laparnya. Ketika tuan itu selesai makan, maka Lazarus mengambil
remah-remah yang jatuh dari meja tuannya. Anak itu pun mengambil gelas
pop mie setelah aku pergi. Sebetulnya aku bisa merasakan penderitaan
anak itu. Aku sudah merasakan kelaparan sebab sejak siang belum makan,
tapi hatiku tenang bahkan aku menolak makanan di rumah makan, sebab
aku yakin bisa membeli makanan yang sesuai dengan seleraku. Aku
mempunyai uang di saku baju. Anak itu kelaparan dan pasti tidak punya
uang di sakunya. Dia sudah berusaha menawarkan jasa untuk membeli
makanan, tapi dia gagal. Mengapa aku yang sudah merasakan kelaparan
tidak bisa memahaminya? Apakah uang yang membuat hatiku tidak peka?
Aku tidak ubahnya seperti orang kaya yang buta hati.

Dalam kegelisahan aku ingin agar peristiwa itu terulang kembali,
sehingga aku bisa membelikan dia sebungkus pop mie. Tapi bis terus
melaju menembus kegelapan dini hari. Apakah kalau peristiwa itu
terulang, aku bisa memberikan apa yang aku miliki untuknya yang sedang
kelaparan? Aku tidak yakin. Aku masih sering terlelap dan tidak siap
ketika Yesus datang. Maka aku perlu mengubah diri. Aku perlu peka akan
penderitaan sesama yang ada disekitarku bukan hanya disuatu tempat dan
suatu waktu, melainkan sepanjang waktu dan dimana saja. Bukan hanya
sebuah kewajiban dan tugas, tapi suatu sikap yang keluar secara
spontan dari dalam batinku. Anak kecil itu membuka mataku bahwa aku
masih harus banyak berubah. Aku masih belum bisa menjadikan pelayanan
dan kepedulian sebagai bagian dari hidupku. Sebagai nafas yang keluar
secara otomatis tanpa aku banyak berpikir dan pertimbangkan. Aku tidak
boleh bangga dengan apa yang sudah aku lakukan saat ini. Yesus tidak
datang hanya di Dinoyo tapi Dia datang di tempat Dia suka. Dia datang
tanpa peduli apakah aku sedang lapar atau capek. Dia datang sesuka
hatiNya. Inilah ujian imanku.

salam,


rm gani
yo...@indo.net.id

Kirim email ke