[Hermawan Kartajaya] Merasakan Kesederhanaan Ultah Ke-62 Hermawan Kartajaya
[ Kamis, 19 November 2009 ]

Guyub di Facebook Tak Punya Makna Keintiman 

Hermawan Kartajaya dikenal sebagai pakar pemasaran atau marketing. Dia sukses 
menjadi pemasar ulung. Namun, bertepatan dengan usianya yang memasuki 62 tahun, 
dia justru merasa sangat kecil. Ini tak lepas dari pengaruh alam Gunung Merapi 
dan sahabat barunya, Romo V Kirdjito Pr.

Frietqi Suryawan, Mungkid 

---

Tidaklah sulit bagi seorang HK -sapaan akrab Hermawan- untuk merayakan ulang 
tahun di manapun. Dengan kekayaan yang dimiliknya, dia bisa menggelar pesta 
ulang tahun (ultah) di manapun di muka bumi ini. Tapi, dia justru memilih 
merayakan ultah ke-62 bersama masyarakat Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, 
di lereng Gunung Merapi. 

Dia berbaur dengan masyarakat pedesaan. Dia memilih menyampaikan strategi 
pewartaan zaman di gereja setempat, Gereja Yuwono, dan mengikuti misa alam di 
Sungai Lamat yang berhulu di Gunung Merapi.

Dalam pewartaannya, dia menyampaikan sesuatu yang berdimensi vertikal dan 
horizontal. Sisi vertikal ditunjukkan dengan ritual ibadah manusia kepada 
Tuhan-nya. Sisi horizontal diwujudkan dengan keguyuban atau online community. 
Meski sifat guyub antara masyarakat modern dan tradisional atau pedesaan 
dibedakan lagi pada masalah keintiman. "Masyarakat modern atau perkotaan saat 
ini mulai menemukan keguyuban dengan adanya internet. Yakni, melalui milis, FB 
(Facebook),dan lainnya. Tetapi di situ tidak ada keintiman seperti keguyuban 
yang ada di masyarakat pedesaan," ungkap pria yang sejak tahun 2002 menjabat 
sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) itu. 

Kesadaran akan makna guyub yang mengandung keintiman mengantar lelaki asal 
Kapasari, Surabaya, tersebut merayakan ultah di Dukun. Ini diawali 
ketertarikannya pada profil Romo Kirdjito yang dimuat sebuah media massa 
nasional. Dia kagum pada Romo Kirdjito, pemuka agama, yang digambarkan mampu 
menembus sekat-sekat agama, status sosial, usia, dan perbedaan-perbedaan lain 
yang ada di masyarakat Dukun. ''Dari ketertarikan ini, saya kemudian kontak 
(Romo Kirdjito). Ternyata dia lahir pada tanggal 18 November seperti saya. 
Akhirnya, kita sepakat untuk merayakan ulang tahun bersama, seperti sekarang 
ini," jelasnya.

Romo Kirdjito membenarkan pernyataan ucapan HK. "Dalam suatu pertemuan, saya 
bertemu beliau (HK). Singkat cerita, dia mengajak ulang tahun bareng. Tapi saya 
bingung karena tidak pernah merayakan ulang tahun kelahiran. Karena itu, acara 
ini sengaja dibuat sebagai perayaan ulang tahun perak Imamat saya. Tapi yang 
jelas, dalam kegiatan ini saya memanfaatkan beliau," aku Romo Kirdjito yang 
saat ini menginjak usia 58 tahun.

Ada sisi religius dan humanis dalam ultah ini. Sisi religiusnya tercermin dari 
ketaatan HK saat menjalani gojlokan Romo Kirdjito dalam Misa Alam Edukasi Air 
di Sungai Lamat. Bersama belasan stafnya dari Markplus dan di dampingi para 
suster dari Corolus Borromeus, HK menikmati "pencerahan" yang dilakukan dengan 
konsep kembali ke alam itu. Dimulai penjelasan soal air murni yang tidak mampu 
menghantar listrik, jalan mundur melintasi Jembatan Tangkil, mengambil berbagai 
tumbuhan, menyusuri Sungai Lamat, dan cuci muka dari air Tuk Ayu Nirmala.

HK mengaku mempunyai pengalaman baru saat merasakan misa di Sungai Lamat yang 
airnya dingin. Bahkan, koran ini sempat melihat pria yang baru saja dinobatkan 
sebagai Duta Pariwisata Indonesia tersebut terpekur dengan mata berkaca-kaca. 
"Mulai dari salam damai, jadi ingat perjalanan saya selama 62 tahun. Saya 
merasa misa alam tersebut betul-betul luar biasa. Kemasannya sangat sederhana. 
Tetapi menimbulkan kesadaran yang sangat besar. Betul-betul menghubungkan sisi 
religius dan realitas. Saat itu saya banyak belajar. Betapa Romo Kirdjito mampu 
memberikan inspirasi itu," paparnya.

Selama misa, pria yang sempat menjadi guru tersebut mengaku merasa kecil dan 
tidak ada artinya. "Saya betul-betul merasa kecil ketika berada di alam. Saya 
betul-betul merasakan alam tidak membedakan kita. Yang kaya, yang miskin, yang 
pinter, yang bodoh, dan lain-lain semua sama dihadapan alam dan Tuhan," 
jelasnya.

Pengakuan ini mungkin benar adanya. Saat sesi mengambil tumbuhan yang berbeda, 
HK mampu membawa 10 tumbuhan. Namun, tidak ada satu pun tumbuhan itu yang 
dikenalinya, sekali pun itu ilalang dan putri malu. "Saya mampu mengumpulkan 10 
tumbuhan yang berbeda, tapi saya tidak tahu namanya. Betul-betul nol 
pengetahuan saya soal tumbuhan," ungkapnya di hadapan peserta misa alam.

HK sempat menyinggung konsepsi kesadaran akan kesamarataan di hadapan Sang 
Pencipta berorasi di Gereja Yuwono. Dia mencontohkan masyarakat di Pulau 
Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sana tidak peduli perbedaan 
agama, suku, ras, dan sebagainya. Mereka hanya tahu bahwa komodo tidak bertanya 
agama, suku, maupun rasnya saat menyerang manusia. "Saya pun manusia," ujarnya.

HK juga sempat mendapat "pelajaran" ketika berniat memberi kenang-kenangan 
kepada masyarakat Dukun. "Semula saya berniat memberi piano. Di mana alat musik 
ini mampu mengeluarkan semua bunyi alat musik lain. Tetapi Romo Kirdjito tidak 
mau. Dia justru menginginkan agar saya menyumbang seperangkat gamelan kepada 
masyarakat. Filosofinya, kalau piano hanya dimainkan oleh satu orang, sedang 
gamelan mau tidak mau harus banyak orang. Inilah makna guyub sesungguhnya," 
ungkapnya.

Gamelan sumbangan HK diberi nama Ki Abdi Syukur. Gamelan itu langsung dimainkan 
oleh kelompok Dukun, Karawitan Hangesti Laras. Mereka memainkan panembromo atau 
syair Gading Ketawang Subokastowo. "Syair tersebut merupakan pemikiran beliau 
(HK) yang sudah disebarkan ke masyarakat," tutur Romo Kirdjito.

Nama gamelan Ki Abdi Syukur pun punya filosofi.""Adalah kewajiban kita untuk 
bersyukur. Karena adanya seperangkat gamelan ini adalah suatu mukjizat. Kita 
tidak pernah membayangkan akan menerima bantuan dari beliau (HK). Bantuan ini 
yang kemudian ditambahi swadaya masyarakat kita jadikan dua set gamelan dari 
besi dan perunggu. Untuk yang dari besi kita namakan Ki Abdi Syukur. Sebagai 
wujud rasa syukur kita kepada Tuhan," jelas Romo Kirdjito.

HK sempat menempelkan namanya pada gamelan tersebut. Tetapi, dia lebih berharap 
agar gamelan tersebut bisa terus berbunyi sebagai perlambang keguyuban yang 
terus terpelihara. ***

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=127301 
Koleksi Artikel2 Menarik: http://www.gsn-soeki.com/wouw/hermawankartajaya.php 


Kirim email ke