[Hermawan Kartajaya] Karyawan Bermental Pengusaha, Pengusaha Berjiwa Karyawan
Grow with Character! (15/100) Series by Hermawan Kartajaya

[ Rabu, 03 Februari 2010 ]

SATU hal yang saya lihat konsisten pada diri Pak Ciputra sejak dulu sampai 
sekarang ialah entrepreneurship. Beliau percaya bahwa inilah yang akan membawa 
Indonesia maju. Tanpa entrepreneurship, sebuah negara tidak akan maju.

Menurut Pak Ciputra, paling tidak lima persen penduduk sebuah negara haruslah 
berjiwa pengusaha. Jadi pengusaha sungguhan atau tetap bekerja pada orang lain, 
tapi punya jiwa pengusaha. Buat saya, kalau Anda karyawan tapi menganggap 
perusahaan tempat Anda bekerja sebagai perusahaan sendiri, dampaknya akan lain. 
Bukan cuma pada perusahaannya, tapi terutama pada diri sendiri. Itu yang kurang 
disadari orang.

Banyak yang berpikir bahwa dia merasa "rugi" kalau menganggap perusahaan tempat 
dia bekerja kayak perusahaan sendiri. "Kok enak..rugi dong aku...nanti aja 
kalau aku sudah punya perusahaan sendiri, baru begitu..." Itu alasan orang yang 
gak mau jadi intrapreneur.

Pak Ci "mengajarkan" kepada saya bahwa orang seperti itu rugi sendiri. Tidak 
memanfaatkan kesempatan yang ada. Memang, harus diakui, tidak semua perusahaan 
memberikan kesempatan kepada Anda seperti itu. Harus diakui, susah juga kalau 
Anda bekerja di divisi produksi, operasi, atau administrasi yang rutin.

Tugasnya hanya melakukan sesuatu menurut SOP (standar operasi prosedur), bahkan 
tidak boleh berinovasi sedikit pun. Tapi, bila ada bos seperti Pak Ciputra yang 
selalu "menantang" karyawannya untuk mempunyai jiwa entrepreneurship di 
perusahaannya, rugi besar kalau tidak diambil.

John Kao adalah bekas profesor di Harvard Business School yang juga produsen 
film Sex, Lies, and Videotape. Dia melakukan survei entrepreneurship dan 
menemukan bedanya dengan profesional murni.

Katanya, ada tiga yang paling utama. Pertama, seorang entrepreneur pintar 
melihat peluang atau opportunity. Sedangkan, seorang profesional lebih suka 
melihat sisi threat atau ancaman dari suatu situasi.

Situasinya bisa sama, tapi yang satu dilihat sisi positifnya, sedangkan yang 
satu dari sisi negatifnya. 

Tahu cerita orang yang dikirim bosnya untuk survei sepatu di suatu pulau? 
Ketika balik ke bos yang minta dia survei, si karyawan mengatakan bahwa di sana 
tidak ada peluang. Kenapa? Di pulau itu tidak ada orang pakai sepatu. Semuanya 
masih pakai sandal.

Buat si bos, kata "masih" itu jadi peluang untuk ngajarin mereka pakai sepatu. 
Jadi, peluangnya sangat besar! Sedangkan, si karyawan yang tidak punya jiwa 
entrepreneurship bilang begitu karena melihat ancaman. Ancaman untuk sebuah 
tugas jualan sepatu di situ. Maunya cuma jual sepatu di tempat yang orangnya 
sudah pakai sepatu, tapi banyak saingan!

Tempat seperti itu buat si bos justru ancaman. Jadi, beda kan cara melihat 
suatu situasi yang sama? Kedua, seorang profesional yang "berhasil" melihat 
peluang minta semuanya safe. Tidak mau ambil risiko.

Balik ke cerita tadi, walaupun dia mengerti bahwa pulau tersebut adalah 
peluang, si karyawan minta jaminan bahwa dia akan berhasil jualan sepatu di 
situ. Mana ada jaminan seperti itu. Si bos, sebaliknya, sudah melihat cara 
"ngajari" orang-orang di situ untuk pakai sepatu. Dia juga sudah membayangkan 
berapa besar effort dan cost yang harus dikeluarkan pada tahap awal. 
Selanjutnya, dia juga sudah membayangkan cost-benefit analysis yang harus 
dihitung.

Si bos mau ambil risiko dengan perhitungan. Dia juga siap menjadi risk taker 
dengan persiapan exit strategy kalau gagal supaya tidak rugi secara 
besar-besaran. Sedangkan, si Karyawan sama sekali gak mau ambil risiko, bahkan 
menghindarinya. Risk averter! 

Dia juga tidak mencoba mencari cara-cara kreatif untuk membuat peluang tadi 
jadi kenyataan. Menunggu ada SOP-nya..."Kan saya anak buah, kan saya karyawan, 
kan saya orang gajian...." Dan seterusnya!

Para profesional sering hanya pintar bikin alasan dan defensif kalau ditanyain. 
Tidak berani menerima challenge. Sedangkan, seorang entrepreneur berani 
melakukan sesuatu tindakan nyata dengan perhitungan.

Ketiga, sesudah bisa melihat peluang dan menghitung risiko serta mengambil 
keputusan, masih ada satu lagi yang penting. Yakinkan orang lain, libatkan 
orang lain, ajak orang lain untuk dapat modal, dapat dukungan, maupun dapat 
talenta yang bagus. 

Seorang profesional yang tidak punya jiwa entrepreneurship tidak berani 
mengajak orang lain. Takut salah, takut ditolak, dan takut dimarahin orang. 
Inilah "penyakit" orang yang begitu. Karena itu, banyak pengusaha kecil yang 
cuma bisa marah-marah pada pemerintah. Minta pelatihan, minta modal, minta 
bimbingan, bahkan minta bisnis! "Masak saya pengusaha lokal dan kecil tidak 
(dibantu) memenangkan tender!" Begitu keluhannya.

Seorang entrepeneur sejati -apakah dia sudah jadi pengusaha atau malah tetap 
jadi karyawan- jarang mengeluh! Tapi, mereka selalu berusaha "menjual idenya" 
kepada orang lain karena dia yakin bahwa idenya bagus !

Nah, sekarang Anda tahu kan? Ada karyawan yang bermental "pengusaha". 
Sebaliknya, ada yang sudah mendirikan perusahaan, tapi "berjiwa" karyawan. Anda 
milih jadi yang mana? Hahaha!

Setelah 20 tahun lebih, saya pikir-pikir apa yang saya "pelajari" dari Ciputra 
itu pas dengan hasil riset Prof John Kao. Memang Ciputra is the real 
entrepreneur! Dia adalah inspirator besar saya saat memulai MarkPlus 
Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya. (*)

Sumber: http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=115094 
Koleksi Artikel2 Menarik: http://www.gsn-soeki.com/wouw/hermawankartajaya.php 


Kirim email ke