Kenikmatan makan malam saya sedikit terganggu dengan suara getar dari BB
saya. Ternyata dari salah seorang ibu di pengajian saya. Ingin rasanya 
saya mematikan telephone selular dan kembali menikmati hidangan 
sederhana bersama keluarga tercinta. Sejak tadi buka puasa saya hanya 
minum segelas teh  hangat manis dan semangkuk kecil kolak. Setelah 
shalat tarawih kami baru buka puasa besar sekalian makan malam. Namun 
segera kemalasan beralasan itu saya tepis. Saya telah berucap kaul untuk
tidak akan meninggalkan satu orangpun dalam keadaan kesusahan dan 
tersesatkan. Siapa tahu ibu yang menelepon ini pun membutuhkan bantuan 
dan pencerahan dari saya.

"Assalamualaikum Pak Lutfi.  Bisakah bapak lihat sinetron Cinta
Fitri di SCTV sekarang juga, Pa? Ini penting loh."
"Penting apaan bu? Saya tidak terbiasa menonton sinetron. Saya dari
dulu menganggap sinetron dan film kita hanyalah racun dan candu
masyarakat, gak ada bagus-bagusnya. Cuman menjual impian, cinta murahan,
tahayul dan surealisme. Apalagi acara2 religitainment. Cuman sampah yang
dibalut jargon2 islami"
"Tapi pak ini masalah penting loh buat pencitraan wajah islam di
Indonesia." Si ibu bersikeras.
"Baiklah."

Saya nyalakan tivi dan memilih program yang dimaksud.
"Adakah yang salah dari sinetron ini bu?" Tanya saya.
"Coba pa Lutfi perhatikan si Teuku Wisnu. Perhatikan dengan seksama
bagian lehernya."
Saya berpaling pada istri saya, meminta tolong untuk ditunjukan mana
tokoh yang disebut Teuku Wisnu itu. Lha saya jarang sekali nonton yang
kayak beginian. Saya perhatikan beberapa saat. Istri saya pun melakukan
hal yang sama. Tak lama kemudian dia tersenyum tersipu-sipu.
"Ada apa, Mah?"
"Ah ndak pah, Mamah kembali makan aja deh. Dari pada ketawa2, nanti
tersedak lagi."
"Loh ini ibu-ibu ngapain sih, saya ga ngerti." Saya kembali ke
si ibu penelepon.

"Ibu, sudah saya perhatikan si Teuku Wisnu itu, tapi ga ada apa-apa
tuh."
"Pa Lutfi perhatikan ga di leher sebelah kiri Teuku Wisnu ada tanda
cupang. Idih malu kan pa."
"Itu bukan cupang koq, itu tato. Mungkin  berbentuk huruf inisial
pacarnya."
"Tattoo itu sih yang leher sebelah kanan pa, kalo yang saya maksud
sebelah kiri."
Saya kembali perhatikan. Oh… ya benar juga. Seperti bekas pagutan
mesra.
"Ah ibu, kalaupun itu benar, itu kan bukan urusan kita. Biarkan
saja. Namanya juga anak muda. Atau  ibu cemburu karena bukan ibu yang
memagutnya ?" canda saya.

"Lho bukan begitu pak, Teuku Wisnu itu kan public figure. Sebagai
seorang pria muslim yang terkenal dan memainkan peran2 yang penuh
karakter islami sudah seharusnya dia menjadi contoh bagi
masyarakat."

"Ah itu tuntutan yang berlebihan ibu. Dia seorang seniman, bukan
seorang ustad. Koq dia dituntut punya ahlak yang tinggi. Yang namanya
seniman, harus diberikan ruang kebebasan untuk mengapresiasi seni agar
tidak cupet cara berpikirnya. Kalo ustads, tokoh parpol islam dan
sejenisnya tersangkut korupsi, dipenjara, terus juga ada ustadz dan
ustadzah yang jadi bintang iklan suatu produk komersil. Maka tuntutan
pada artis untuk begini dan begitu jadi sangat naïf deh.

Ibu, kita semestinya membedakan antara tokoh yang diperankan dengan
kehidupan keseharian orang itu yang ada dalam domain ruang privat. Kita
tidak bisa berharap berlebihan.  Teuku Wisnu itu tidak sempurna. Dia
manusia biasa seperti ibu dan saya yang dalam tubuhnya masih bergejolak
hormon2 seksual. Dan  itu wajar."


    * Meditasi: Timur Bertemu Barat
<http://www.rahasiaotak.com/meditasitimur-bertemu-barat/>
    * Scientific Meditation
<http://www.rahasiaotak.com/scientific-meditation/>
    * Memahami Fenomena Kesurupan dari Sudut Ilmu Hipnotheraphy
<http://annunaki.wordpress.com/2010/04/25/memahami-fenomena-kesurupan-da\
ri-sudut-ilmu-hipnoterapi/>
    * Bertanya pada Keheningan
<http://annunaki.wordpress.com/2010/04/18/bertanya-pada-keheningan/>
    * Bahagia dalam Keheningan
<http://annunaki.wordpress.com/2010/04/15/1075/>


Si ibu itu nampaknya termenung. Untuk beberapa saat percakapan menjadi
hening. Kemudian dengan nada yang rendah, ia berkata:
"Ya, bapak benar. Tidak ada diantara kita yang sempurna. Hanya
Muhammad saw, nabi junjunan kita saja manusia sempurna."

"Loh, justru itu masalah yang lebih serius lagi bu. Dari manakah ibu
tahu bahwa nabi Muhammad itu manusia sempurna? Apakah ibu melihatnya
sendiri?"
"Ya tentu tidak dong, pa Lutfi."
"Apakah ibu hidup satu jaman dengan beliau sehingga ibu bisa
mengamati gerak-geriknya, cara berucapnya, cara beliau memecahkan
masalah, cara beliau menguasai emosi ketika dihina, dipuji,
dicerca?"
"Tidak. "
"Apakah ibu melihat langsung cara beliau memimpin dirinya,
keluarganya, klannya? Apakah ibu juga menimbang dan menakar seberapa
bijaksana ia mengambil keputusan untuk berperang atau tidak
berperang?"
"Tidak."
"Lantas dari mana ibu bisa mengambil kesimpulan bahwa Muhammad itu
manusia sempurna sedangkan ibu tidak melihatnya langsung bagaimana ia
bertindak, berucap dan berpikir?"
"Ya saya dengar dari khutbah."
"Tapi jelas itu tidak dari khutbah2 saya khan?"
"Ya tidak dari khutbah pa Lutfi. Dari khutbah orang lain."
"Nah apakah para pengkhutbah itu juga hidup satu jaman dengan
Muhammad?"
"Tidak pa, tapi mereka banyak membaca dari sumber-sumber islam."
"Bagus. Tapi apakah sumber2 itu bisa dipercaya, murni, tidak
mengalami pelebih-lebihan dan pengurangan? Mengingat ada masa 1400 tahun
terentang antara Muhammad dengan kita, adalah sangat mungkin bagi para
penulis untuk bias  menulis sesuatu berdasarkan kepercayaan dan
preferensinya bukan? Apalagi ada sekitar 200 tahun gap dimana tradisi
oral memainkan peran sampai masa dimana cerita dari mulut ke mulut itu
dijadikan dalam bentuk tulisan. Dan ada banyak tulisan satu dengan yang
lain yang berbeda baik secara detail maupun maksud, sehingga banyak
musaf dibakar karena tidak sesuai dengan keyakinan sang kalifah. Atau
apakah ibu sudah hidup di masa-masa itu sehingga ibu bisa memastikan
bahwa alquran ini, sunnah2 ini, sirah2 ini dan hadist ini 100 % murni,
benar tanpa ada pergeseran dan perubahan makna, tak terselewengkan dari
jaman ke jaman?"
"Tentu tidak pa Lutfi, saya khan tidak lebih tua dari pa lutfi, mana
mungkin mengikuti perkembangan islam selama 1400 tahun."
"Nah kalau begitu dari mana ibu tahu dan yakin bahwa Muhammad itu
manusia sempurna?

Seandainya ibu hidup di jaman yang sama dengan Muhammad, dan ibu
terlahir sebagai seorang perempuan yahudi yang cantik, dan suami ibu
terbunuh dalam perang jihad, hanya karena ibu seorang yahudi, kemudian
setelah seluruh pria dalam keluarga ibu terbunuh, lalu ibu dan semua
perempuan cantik dalam klan ibu dijadikan gundik oleh Muhammad dan para
sahabatnya, apakah ibu masih percaya bahwa beliau ini seorang yang
sempurna?"
"Tentu tidak pa Lutfi. "

Percakapan menjadi senyap untuk beberapa saat. Kemudian saya lanjutkan.
"Ibu yang baik, ingatkah ciri-ciri khutbah2 saya."
"Ya, khutbah2 pa Lutfi selalu singkat dan berkesan, tidak pernah
panjang- lebar, karena kalau yang panjang-panjang – bikin ibu-ibu
kewalahan, dan yang lebar-lebar bikin bapa-bapa komplen terus."

"Loh koq jadi kesitu? Maksud saya, dalam khutbah2 saya selalu
menekankan ummah untuk berpikir dan menimbang sendiri,  memakai akal
budi untuk menilai apakah sesuatu itu baik dan benar, layak dipercaya
dan layak diteladani. Apakah ini merugikan diri sendiri dan orang lain,
apakah ini tidak melanggar nilai-nilai yang disepakati secara kolektif
dan disetujui oleh pertimbangan akal kita sendiri.  Jangan kita percaya
sesuatu hanya karena itu tertulis di kitab2, atau karena itu
dikhutbahkan oleh seorang ustadz, da'I, ulama, syeikh, habib atau
karena itu hasil fatwa MUI. Dalam banyak hal mereka tidak sepintar ibu
sendiri jika ibu memakai akal budi.

Cinta kepada seorang tokoh karena suatu charisma yang dia miliki adalah
wajar. Tapi cinta yang membutakan yang tidak menyisakan ruang keraguan,
sehingga untuk mempertanyakan historitas dari orang yang kita kagumi itu
kita jadi merasa berdosa, adalah cinta yang konyol, bodoh, tolol dan
tidak layak digenggam terus-menerus.

Dan cinta buta semacam ini yang ditanamkan oleh para rohaniwan kepada
ummah nya agar mereka tidak kehilangan ummat dan pemasukan ke kantong
mereka sendiri, dan agar dapur mereka tetap ngebul.

Tentu ibu ingat bait sebuah lagu lama  `baby, sometimes love just
aint enough.' Nah itulah kebenaran abadinya.
Cinta saja kepada ajaran, nabi dan agama tidak lah cukup. Hanya dengan
pertimbangan akal budi maka maka kita eksis dalam hidup ini dan memberi
makna akan kehadiran kita di muka bumi ini, bukan cuman percaya ini dan
itu pada suatu dogma basi yang jelas2 tidak bisa dibuktikan secara
empiris kebenarannya.

Kecintaan yang berlebihan kepada Muhammad membuat muslim tidak bisa
mengkritisi benar dan salah cerita dan kelakuan Muhammad.
Kecintaan yang berlebihan kepada Isa membuat kaum nasrani tidak bisa
mengkritisi benar dan salah keyakinannya dan membuat mereka
petantang-petenteng merasa sudah jadi ahli waris surga.
Kecintaan yang berlebihan kepada Buddha Gautama membuat orang buddhis
merasa cuman mereka yang layak menuju nirwanam yang lain cuman ngemis
dipinggiran nirwana.  Dsb.

Kekonyolan seperti ini sudah semestinya dihentikan dalam benak, pikiran
dan prilaku manusia dewasa macam kita."

"Pak Lutfi, trima kasih telah mencerahkan saya. Baru berapa hari
saya berpuasa, tapi hidayah yang saya dapat dari perenungan pa Lutfi
benar2 membuka mata saya yang tertutup oleh selaput tebal  dogma. Bapak
telah membukakan gal-hal yang tersembunyi, menegakan sesuatu yang
terkulai, menerangi mata hati yang buta karena keyakinan konyol. Trima
kasih Pa Lutfi."
"Sama-sama ibu, sudah sewajarnya saya, sebagai seorang Doktor
lulusan universitas Australia yang terkenal dalam jurusan Kajian Islam
Mutokhir alias Advanced Islam Study, untuk memberi pencerahan kepada
ummah, sebagai wujud dari memberi makna atas hidup ini."

Demikianlah sidang pembaca yang saya muliakan, semoga anda semua
mendapatkan hiddayah yang sama seperti Ibu T, penelepon tadi. Akhirul
kata, Pakailah akal  budi kita untuk menilai segala kebenaran  dan
jangan mudah percaya pada kata2 para rohaniwan, kitab2 suci dan tradisi
sampai anda yakin telah mampu membuktikan validitas kebenaran itu secara
rasional dan empiris. Dan jika kebenaran tsb tidak terbukti, maka
perlakukanlah kebenaran itu seperti cerita stensilan, sinetron2
surrealis yang berfungsi sebagai candu saja. Sedikit candu boleh2 saja,
seperti halnya masakan padang, tapi kebanyakan candu? Hmmmmm Baby
sometimes love just aint enough, seru sekalian alam.

sumber: http://www.apakabar.ws

    * Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar
<http://annunaki.wordpress.com/2010/01/02/sekelumit-kisah-sunan-kajenar-\
atau-syeh-siti-jenar-1/>
    * Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar 2
<http://annunaki.wordpress.com/2010/01/05/sekelumit-kisah-sunan-kajenar-\
atau-syeh-siti-jenar-2/>

    * Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar 3
<http://annunaki.wordpress.com/2010/01/09/sekelumit-kisah-sunan-kajenar-\
atau-syeh-siti-jenar-3/>

    * Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar 4
<http://annunaki.wordpress.com/2010/01/12/sekelumit-kisah-sunan-kajenar-\
atau-syeh-siti-jenar-4/>

    * Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar 5 (Tamat)
<http://annunaki.wordpress.com/2010/01/13/sekelumit-kisah-sunan-kajenar-\
atau-syeh-siti-jenar-5-tamat/>




Kirim email ke