Etika Islami Berbicara dengan Lawan Jenis
Publikasi: 07/05/2004 09:43 WIB


Jawaban


Etika berbicara dengan akhwat pada dasarnya sama dengan etika seorang
laki-laki ketika berbicara dengan lawan jenisnya yang bukan mahram. Intinya
adalah bahwa seorang laki-laki dan wanita yang tidak ada hubungan mahram,
tentu memiliki batasan-batasan syar'iyah dalam saling berhubungan atau
erkomunikasi.


Antara lain adalah:


1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak


Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:


"Katakanlah ke pada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya..." (QS aN-Nur: 30-31)


2. Keduanya Wajib Menutup Aurat


Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara',
yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang
tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah
berfirman:


"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya..." (QS aN-Nur: 31)


Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah
muka dan tangan.


Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:


"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu ..." (QS al-Ahzab: 59)


Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik
dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki
yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap
orang yang melihatnya untuk menghormatinya.


3. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan
membangkitkan rangsangan baik dari pihak kali-laki ke pihak wanita atau
sebaliknya.


Allah berfirman:


"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik."
(QS aA-Ahzab: 32)


4. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang lawan jenis


Firman Allah :


"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan..." (QS aN-Nur: 31)


Khususnya buat para wanita, hendaklah mencontoh wanita yang
diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:


"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan..." (QS aA-Qashash: 25)


5. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok


Disebut dalam hadits:


"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati
laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan)." (HR Ahmad dan Muslim)


Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan
wanita-wanita jahiliyah tempo dulu atau pun jahiliyah modern.


4. Menjauhkan diri dari Parfum Yang Mencolok


Bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di
rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan antara laki-laki dan
wanita.


5. Hindari Berduaan (kholwat)


Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak
hadits sahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga
adalah setan.' Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.


Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:


"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimana
dengan ipar wanita." Beliau menjawab, "Ipar wanita itu membahayakan." (HR
Bukhari)


Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan
kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan
fitnah. Kholwat adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain
(ajnabiyah). Yang dimaksud perempuan lain, yaitu: bukan isteri, bukan salah
satu kerabat yang haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara,
bibi dan sebagainya.


Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah
satunya, tetapi demi menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaa
yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis
itu, tanpa ada orang ketiganya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai
berikut :


"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali
dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya,
karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad)


"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang
perempuan, kecuali bersama mahramnya."


Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak
berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya,
menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus
rumah tangga dan mendidik anak-anak.


6. Hindari Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat


Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah
gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang,
perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati, dan pandangan
adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina.


"Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki: hendaklah mereka itu
menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya" (QS aN-Nur:
30-31)



7. Menundukkan Pandangan


Yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan
menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang dimaksud dan ini satu hal yang
tidak mungkin. Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang
disebutkan dalam al-Quran dan tundukkanlah sebagian suaramu (Luqman 19). Di
sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara.


Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu: menjaga pandangan,
tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan
perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi.


Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak
mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak
melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu.


Oleh karena itu pesan Rasulullah kepada Sayyidina Ali :


"Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya.
Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak
boleh." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)


Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus kepada lain jenis,
sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau: "Dua mata itu bisa
berzina, dan zinanya ialah melihat." (Riwayat Bukhari)


8. Tabarruj


Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah
dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang.


Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan, "Dan tinggallah
kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu
menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu." (QS
al-Ahzab: 33)


Muqatil mengatakan yang dimaksud tabarruj, yaitu melepas kudung dari kepala
dan tidak diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.


Cara-cara di atas adalah macam-macam daripada tabarruj di zaman jahiliah
dahulu, yaitu: bercampur bebas dengan laki-laki, berjalan dengan
melenggang, kudung dan sebagainya tetapi dengan suatu mode yang dapat
tampak keelokan tubuh dan perhiasannya.


Jahiliah pada zaman kita sekarang ini ada beberapa bentuk dan macam
tabarruj yang kalau diukur dengan tabarruj jahiliyah, maka tabarruj
jahiliyah itu masih dianggap sebagai suatu macam pemeliharaan.


Hukum Berbicara Dengan Wanita


Ada pendapat yang mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak
boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya.
Sebab, suara wanita dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah
dan membangkitkan syahwat. Namun bila ditanyakan dalil yang dapat dijadikan
acuan dan sandaran, sebenarnya tidak ada.


Sebaliknya Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi
antara Nabi Sulaiman a.s. dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu
dengan kaumnya yang laki-laki. Begitu pula peraturan (syariat) bagi
nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak
menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.


Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik
laki-laki, yang oleh Al-Qur'an diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara).


Pria Memandang Wanita dan Sebaliknya


Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga
dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua)
diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.


Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati
(taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan
penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar
perzinaan." Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang
yang dilarang ini, yakni: "Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas
mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya
bertemu."


Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti
rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak
diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi
acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.


Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau
ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan,
dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.


Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila
dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki
maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjukpetunjuk yang jelas,
tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan
ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.


Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama
al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji,
ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw.,
"Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw. menjawab, "Saya
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan
gangguan setan terhadap mereka."


Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si
muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya
sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi
jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak
syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.


Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu
hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu
terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam
hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:


Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara
tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, "Palingkanlah
pandanganmu." (HR Muslim)


Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat
laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula
melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya.
Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.


Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat
laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa
dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka
menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya,
walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu hukum syara'.


Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat,
dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya
dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.


Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa
aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan
aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.


Para fuqaha hadits berusaha mengkompromikan antara hadits-hadits yang
bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya).
Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw.
bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi saw. pernah membuka pahanya."
Hadits Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih
berhati-hati.


Wallahu a'alam bishshawab



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke