Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Kalau teman kita suka berzina
Padahal dia punya istri dan anak
Padahal dia punya suami yang membanting tulang buat menafkahi keluarganya
Terus kita bilang itu perbuatan dosa pak, bu
Apakah lalu kita itu menjadi manusia suci tanpa dosa ??
Lalu tindakan apa yang sepatutnya dilakukan menurut Anda ?

Kalau teman kita suka ke dukun 
baik yang berpredikat dukun beneran, paranormal maupun kyai
bahkan minta jimat aji pengasih, aji kebal dan aji-aji yang lain
(entah kalau aji pangestu :) )
Lalu kita bilang itu syirik , sesat dan dosa, kawan
Apakah lalu kita itu menjadi manusia suci tanpa dosa ??
Lalu tindakan apa yang sepatutnya dilakukan menurut Anda ?

Kita beragama berpedoman pada Al Qur'an dan Hadits
Kalau disitu dikatakan berzina dan syirik itu dosa 
Bahkan syirik itu dosa tak terampunkan kalau tidak bertobat
Apakah lalu kita itu mengambil otoritas Allah dalam menghakimi manusia ??

Pak Trúlÿsøúl, tentunya bapak bisa memberikan komentar yang lebih berisi
BTW, saya sertakan tulisan dari Adian Husaini (maaf kalau sudah pernah
dimuat di milis ini)
Semoga pak Aziz bisa membaca dengan hati yang jernih

Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
masWong


Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran  
Senin, 25 Juli 2005
oleh: Adian Husaini
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2120&I
temid=0 



Hidayatullah.com--Pada Hari Jumat tanggal 15 Juli 2005, Markas Ahmadiyah
Indonesia yang berlokasi di Parung Bogor, diserbu oleh massa umat Islam.
Akhirnya, markas itu ditutup resmi oleh aparat, dan Jemaat Ahmadiyah
dievakuasi dari tempat tersebut. Pemda dan aparat Bogor  -- merujuk kepada
keputusan MUI dan Departemen Agama – juga kemudian menutup pusat kegiatan
Ahmadiyah di kota itu.

Kasus Ahmadiyah itu kemudian memunculkan banyak ragam wacana keagamaan.
Salah satunya, adalah masalah diskursus tentang kebenaran  dan kebebasan
beragama.

Masalah yang sekian lama menjadi bahan perbincangan, kemudian menghangat
kembali. Ada yang menyatakan, bahwa manusia tidak berhak menghakimi
keyakinan orang lain, dan memaksakan keyakinannya terhadap orang lain.

Dia kutip ayat al-Quran, “Barangsiapa yang mau silakan beriman, dan siapa
yang mau silakan kafir.” Jadi, biarkanlah saja orang mengikut pendapat apa
saja, dan menyebarkan pendapatnya,  apa saja jenisnya. Termasuk paham
Ahmadiyah, yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi
Muhammad saw.

Sebagai contoh, ungkapan Masdar F. Mas’udi, salah satu Ketua PBNU, yang
dikutip Harian Kompas (20/7/2005), yang menyatakan, “NU merasa tidak berhak
menfatwakan sesat terhadap para pengikut Ahmadiyah.”

Dia juga menyatakan, bahwa Allah-lah yang Maha Tahu siapa diantara manusia
yang berpetunjuk dan yang tersesat.  Dalam Kongres NU ke-5 di Pekalongan
tahun 1930, diputuskan tentang jenis-jenis kafir: (1) Kafir ingkar: ialah
orang yang tidak mengenal Tuhan sama sekali dan tidak mengakuinya, (2) Kafir
juhud: ialah orang yang mengenal Tuhan dalam hati, tetapi tidak mengikrarkan
dengan lesannya, seperti Kafirnya iblis dan orang Yahudi. (3) Kafir nifaq:
ialah orang yang mengikrarkan dengan lisan, tetapi tidak mempercayai Tuhan
dalam hatinya, (4) Kafir ‘Inad: ialah orang yang mengenal Tuhan dalam
hatinya dan mengikrarkan dengan lisannya, tetapi tidak taat kepada-Nya.

Merujuk kepada Keputusan Kongres/Muktamar NU yang dikutip dari Kitab Syarah
Safinatun Najah itu, kita dapat memahami, bahwa NU dengan tegas menyebut
Iblis dan Yahudi sebagai kafir. Iblis kafir karena membangkang kepada Allah
dan Yahudi juga jelas-jelas kekafirannya karena tidak mengimani kerasulan
Muhammad saw.

Dalam masalah keimanan, kita mengenal rukun iman, yakni beriman kepada
Allah, Malaikat,  Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan takdir
Allah. Keenam perkara itu termasuk ke dalam “rukun”, artinya keimanan
seseorang tidak sah jika tidak mencakup keenam rukun tersebut. Yang namanya
‘rukun salat’ artinya, salat kita batal jika tidak mengerjakan salah satu
rukunnya, seperti niat, ruku’,  sujud, i’tidal, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, masalah iman dan kufur, mukmin dan kufur, adalah masalah
mendasar dalam Islam. Seharusnya menjadi tugas para ulama untuk menjelaskan
kepada umatnya, mana yang lurus dan mana yang sesat, mana yang iman dan mana
yang kufur.

Ulama tidak seyogyanya malah membuat masalah menjadi kabur, dengan
menyatakan, bahwa manusia tidak berhak memutuskan mana yang benar dan mana
yang salah. Hanya Allah saja yang berhak menghukumi. Hanya Allah saja yang
tahu mana yang sesat dan mana yang mendapat petunjuk. 

Pengkaburan seperti itu sangat tidak benar, mengingat, setiap hari, setiap
Muslim minimal 17 kali berdoa kepada Allah: Ya Allah tunjukkanlah kami jalan
yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas
mereka dan bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai atau jalannya
orang-orang yang sesat. Rasulullah saw juga mengajarkan doa kepada kita: Ya
Allah tunjukkanlah kepada kami yang haq itu haq dan berikanlah kemampuan
kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang bathil itu
bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.

Tugas para ulama atau cendekiawan adalah menunjukkan mana yang salah dan
mana yang benar. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para pewaris
Nabi (ulama). Karena itu, sejak puluhan tahun lalu, NU sudah menjelaskan
jenis-jenis kaum kafir. Komentar Masdar semacam itu tentunya tidak mewakili
suara resmi NU, dan hanya pendapat pribadi yang oleh media massa dibuat
seolah-olah mewakili suara NU. Dalam kitab-kitab aqidah Asy’ariyah juga
penuh dengan penjelasan tentang kekeliruan paham Mu’tazilah. 

Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika
menyebutkan tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti
pemikiran tentang keabadian alam. Dalam Kitabnya, al-Munqidh Minadh Dhalal,
dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa golongan “dahriyyin”, yakni yang
tidak mengakui adanya Tuhan, dan mengakui bahwa alam ini ada dengan
sendirinya, tidak diciptakan oleh suatu pencipta, adalah termasuk kafir
zindiq. Begitu juga golongan “thabii”, yang tidak mengakui adanya sorga,
neraka, ganjaran bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku maksiat,
dinyatakan al-Ghazali sebagai golongan kafir zindiq.

Jadi, sebagai ulama, maka tugas pentingnya  adalah menunjukkan mana yang haq
dan yang bathil, mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Sebab, amar ma’ruf
nahi munkar, adalah kewajiban penting atas kaum Muslim.

Jika seseorang masuk dalam golongan bingung (golbin), maka dia tidak akan
dapat melakukan kewajibannya dengan baik.

Keyakinan merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi seorang manusia.
Ketika seseorang kehilangan keyakinan, dan senantiasa berada pada keraguan
akan sesuatu (golongan bingung/golbin), maka ia telah memasuki satu fase
kehidupan yang penuh dengan kegamangan dan tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan hakiki.

Dalam puisinya Bal-e-Jibril,  penyair terkenal Pakistan, Mohammad Iqbal
mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap
hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.

Padahal, menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting dalam
kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang manusia,
maka itu lebih buruk ketimbang perbudakan.

Dikatakan Iqbal dalam puisinya: “Conviction enabled Abraham to wade into the
fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know."

Kita perlu menggarisbawahi peringatan Iqbal tersebut. Seorang yang hilang
keyakinan terhadap agamanya, terhadap kebenaran dan kesesatan, maka ia akan
bersikap tidak peduli dengan kemungkaran.

Cara berpikir individualisme dan “cuekisme” terhadap kemungkaran bukanlah
lahir dari pandangan hidup Islam, melainkan cara pandang Barat yang
menjungjung tinggi paham kebebasan individu. Karena itu, dalam system hukum
Barat, perzinahan dan minuman keras, tidak dianggap kejahatan selama tidak
merugikan orang lain.

Siapa pun yang berzina, asal suka sama suka, maka dia tidak dianggap
melakukan tindak kriminal. Siapa pun yang meminum khmar, asal dilakukan
sendiri dan tidak mengganggu orang lain, maka hal itu bukan kejahatan. 

Cara pandang semacam itu tidak sama dengan cara pandang Islam. Karena itu,
di Barat tidak ada konsep “amar ma’ruf nahi munkar”, sebagaimana dalam
ajaran  Islam.

Ketika pandangan hidup Barat yang individualis merasuk dalam alam pikiran
kaum Muslim, maka tindakan amar ma’ruf  nahi munkar, dapat dipandang sebagai
satu bentuk kejahatan yang tidak disukai oleh masyarakat.

Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali mengutip satu ungkapan dari
Hudzaifah Ibnul Yaman, “Akan dating suatu zaman, ketika bangkai keledai akan
lebih mereka sukai daripada seorang mukmin yang biasa melakukan amar ma’ruf
nahi munkar.

Menjelaskan tafsir QS al-Maidah ayat 105, Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan akan
datangnya satu zaman dimana orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar
akan dibenci dan dikecam. 

Banyak kalangan yang mengaku cendekiawan saat ini rajin menggunakan ungkapan
“jangan merasa benar sendiri”, “jangan menghakimi keyakinan orang lain”,
“jangan merasa menjadi Tuhan”, dan sejenisnya.

Arah dari ungkapan-ungkapan itu ialah agar orang Muslim tidak peduli dengan
lingkungannya; tidak peduli dengan kerusakan dan kemungkaran yang berkembang
di sekelilingnya, karena itu semua adalah hak asasi manusia.

Hak asasi setiap orang untuk meyakini dan  menyebarkan keyakinannya. Tidak
boleh diganggu dan dihalangi, apalagi dihentikan. Apapun jenis kepercayaan
dan tindakannya.

Dalam kasus Ahmadiyah, banyak sekali ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh
berbagai pihak yang sifatnya “asbun”, asal bunyi, tanpa melalui pengkajian
masalah yang serius. Bahkan, banyak yang bernada membela Ahmadiyah, yang
jelas-jelas kesesatannya.

Dalam tulisannya di Harian Republika (20/7/2005), Wakil Ketua KISDI KH A.
Khalil Ridwan, menjelaskan tentang kesesatan aliran Ahmadiyah.

Keputusan Konferensi Organisasi Islam se-Dunia (14-18 Rabiulawwal 1394 H)
dan keputusan Rabithah Alam Islami telah menetapkan bahwa Ahmadiyah adalah
sekte yang menyesatkan dan tidak ada kaitan dengan agama Islam.

Negara-negara Islam juga dilarang menyebarkan paham ini. Keputusan Munas
Alim Ulama  se-Indonesia tahun 1980 telah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah
kelompok di luar Islam, sesat dan menyesatkan.

Ini dituangkan dalam Keputusan No 05/Kep/Munas II/MUI/1980 (pada 17 Rajab
1400H/1 Juni 1980M, ditandatangani oleh Ketua MUI Prof. Dr. Hamka dan
Sekretaris Drs H. Kafrawi MA, juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI (Menag)
Alamsyah R. Prawiranegara). Di samping itu juga ada Surat Edaran Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama No D/B4.01/5099/84, tgl 20
September 1984, yang berisi penegasan supaya ulama menjelaskan tentang
sesatnya Jemaat Ahmadiyah.

Sudah bertumpuk-tumpuk fakta-fakta yang membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad
– yang dipercayai oleh Ahmadiyah sebagai nabi – adalah nabi palsu.

Jadi, dalam pandangan Islam, Ahmadiyah adalah sebuah kemungkaran, karena
menyerang aqidah yang paling asas, yaitu konsep tentang kenabian.

Karena ajaran ini disebarluaskan ke tangah masyarakat  Muslim, tentu, sesuai
dengan ajaran Islam, kaum Muslim berkewajiban mencegah dan menghentikannya.
Tidak ada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran dalam bidang
aqidah.

Korupsi iman merupakan jenis korupsi yang paling besar, dibandingkan korupsi
harta. Karena itu, aneh sekali jika ada sebagian kalangan Muslim yang
menganggap enteng masalah ini,  dan lebih menganggap penting masalah
pemilihan lurah, camat, atau walikota.

Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa syarat pertama pelaku
amar ma’ruf nahi mungkar adalah mukallaf (yakni yang telah terbebani
kewajiban agama), muslim, dan mampu. Maka, orang gila, anak kecil, orang
kafir, atau yang tidak berkemampuan, tidak terbebani dengan kewajiban
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

Jadi, selama seseorang tidak masuk kategori kafir, gila, atau anak-anak,
maka ia wajib melaksanakan kewajiban agama ini. Bahkan, kata al-Ghazali,
tindakan amar ma’ruf nahi mungkar tetap wajib dilakukan, meskipun mereka
tidak mendapatkan izin dari penguasa (wa in lam yakuunuu ma’dzuniina). 

Imam al-Ghazali juga menyebutkan, amar ma’ruf nahi mungkar bisa dilakukan
dengan cara memberi nasehat atau dengan cara memaksa.

Untuk pemberi nasehat disyaratkan adanya sifat ‘adil, yakni si pemberi
nasehat bukanlah orang yang fasik, yang hobi melakukan maksiat.

Sementara itu, syarat ‘adil tidak diperlukan dalam pelaksanaan amar ma’ruf
nahi mungkar dengan kekuatan (secara paksa). Karena itu, menurut Imam
Ghazali, seorang yang dikenal sebagai fasiq sekalipun, boleh menghancurkan
persediaan khamr atau alat-alat dan tempat maksiat – sepanjang dia mempunyai
kemampuan dan kekuasaan untuk itu.

Penjelasan Imam al-Ghazali tentang amar ma’ruf nahi mungkar dengan tangan
ini, insyaallah,  akan kita bahas secara khusus pada catatan  berikutnya,
mengingat banyaknya pendapat yang dikeluarkan oleh para tokoh bahwa “Islam
tidak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam berdakwah”.

Dengan itu, mudah-mudahan kita tidak tersesat dalam opini yang salah, dan
dapat menilai suatu kasus dengan adil, tanpa terburu-buru menyalahkan atau
membenarkan satu pihak. Wallahul Muwafiq ilaa aqwamit thaariq.  (Jakarta, 22
Juli 2005).

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan kerjasama Radio Dakta 107
FM, bekasi dan www.hidayatullah.com






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke