HATI-HATI TERHADAP KONSPIRASI MENYELAMATKAN 
PARA PENJAGAL POSO!

Kelompok Kristen kini gencar berkampanye menuntut pembebasan tiga PENJAGAL 
POSO, yaitu: Fabianus Tibo, Domingus da Silva, dan Marinus Riwu. 

Vatikan sudah mengirim utusan kepada ketiga PENJAGAL yang kini taat beribadah 
di penjara. Sementara para pendeta dan aktifis Kristen kini berupaya 
memanipulasi fakta dengan mengatakan ketika PENJAGAL itu hanya KORBAN 
konspirasi. Mereka menilai Tibo Cs. sama sekali tidak bersalah. 

Padahal lembaga hukum di republik ini sudah membuktikan ketiga orang itu 
sebagai AKTOR pembantaian atas Muslim Poso.

Umat Islam dan para aktifis Islam, serta segenap segmen bangsa lain, harap 
tidak termakan oleh kampanye manipulatif yang sangat menyinggung perasaan 
keadilan ribuan Muslim Poso, yang telah menyaksikan lebih dari 2 ribu Muslim 
Poso tewas dalam pembantaian berencana yang dipimpin oleh Ir. Lateka, Tibo, 
Riwu, da Silva, dan beberapa pendeta Poso (Tibo sendiri sudah menyebut beberapa 
nama pendeta dalam daftar 16 tokoh yang disebutnya sebagai aktor utama).

Kita memang senang dan amat setuju kalau eksekusi TIBO cs. ditunda demi untuk 
pemeriksaan 16 aktor intelektual Pembantaian Poso (kata yang lain 10 orang). 
Tapi bukan MEMBATALKAN eksekusi terhadap Para Penjagal itu! 

Bagi kawan-kawan yang masih belum begitu yakin terhadap kesalahan TIBO CS. 
silakan baca pengakuan seorang mantan wartawan Antara di Poso. Dia sekarang 
masih tetap wartawan tapi di media lain.

Sebagai tambahan, jaksa agung muda Prasetyo dalam wawancara di AN TV juga sudah 
menyebutkan latar belakang Fabianus Tibo yang pernah menjadi residivis karena 
membunuh 4 (prang) Muslim atas dasar masalah agama!!!

Mansyur Alkatiri
Balitbang PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah
www.alirsyad.org

CORDOVA Bookstore Online
www.cordova-bookstore.com 
www.cordova-bookstore.com/maduarab.htm  


OCHAN RUSLAN wrote:

Kawan-kawan, 

Saya setuju dengan pikiran S. Sinansari Ecip soal keadilan hukum terhadap 
Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva. Tapi saya pikir, mungkin 
belum lengkap data yang disampaikan guru ku ini. Karena itu, ada beberapa data 
penting yang perlu disharing, juga demi dan untuk keadilan hukum di Indonesia 
yang oleh s. Sinansari Ecip nanti akan tercoreng-moreng.
   
Ir. Lateka adalah mantan pejabat di Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah. Memang, 
dia adalah pimpinan "perang" Kelompok Merah yang membakar pemukiman dan 
membunuh masyarakat muslim di Poso Pesisir pada 23 Mei 2000 itu. Tapi,  yang 
perlu diluruskan adalah soal kematian Lateka.
   
Sesungguhnya kematian Lateka ini bukan hanya karena dipukul dengan rotan milik 
Habib Saleh (Habib Shaleh adalah pimpinan majelis Zikir Nurul Khairaat di 
Poso--yang menjadi benteng bagi Poso Kota saat itu. Dimana ketika itu, warga 
muslim sudah banyak yang meninggalkan Poso, mengungsi ke Kodim dan Polres) yang 
diberikan kepada seorang jamaah majelis. Karena tidak mungkin, orang yang mati 
karena dipukul rotan, di perutnya ada bekas lobang tertembus peluru tajam. Saat 
itu, Lateka hendak memenggal kepala Habib Shaleh, lantas dengan teriakan Allahu 
Akbar, Habib Shaleh lalu memberikan rotan kepada seorang jamaah yang baru usai 
salat Subuh. Lalu Lateka dipukuli dan roboh, terus ditembak oleh polisi.
   
Saat itu, jika Lateka mendengarkan saran Kapolres Poso ketika itu, Baso Opu 
(kini sudah almarhum) maka sebenarnya kerusuhan sudah selesai ketika itu. Saat 
itu, saya kebetulan ada di Poso dan tidur di ruang kerja Kapolres karena semua 
hotel dan rumah terkunci rapat. Malam itu, Kapolres menerima telepon dari 
Lateka yang melaporkan bahwa dia akan masuk Poso pada malam itu juga. 
   
Kapolres menyarankan agar Lateka mengurungkan niatnya. (saya mendengarkan 
Kapolres saling ngancam sama Lateka). Setelah itu juga Kapolres langsung 
memimpin rapat membahas soal rencana Lateka itu. Maka pasukan pun dikerahkan 
untuk antisipasi masuknya pasukan Lateka. Termasuk ada anggota Brimob yang 
ditempatkan di depan masjid Kelurahan Kayamanya itu. 

Perintahnya satu saat itu: Tembak di tempat bagi perusuh).
   
Lateka benar-benar melaksanakan keinginannya. Dia datang dengan massa dalam 
jumlah besar, dengan menggunakan truk dan mobil mikrolet. Sasarannya adalah 
membumihanguskan Poso Kota. Perjalanan dia ke Poso Kota berhasil, tapi dihadang 
oleh jamaah Majelis Zikir Nurul Khairaat pimpinan Habib Shaleh. 

Pertempuran sengit terjadi di depan masjid di Kelurahan Kayamanya itu. Allahu 
Akbar dan Haleluya bersahut-sahutan. Saat itu posisi berdiri saya hanya sekitar 
50 meter dari lokasi pertempuran bersama Kapolres.   

Sekitar 1 jam pertempuran itu terjadi, dan tiba-tiba terdengar pekik Allahu 
Akbar paling keras disertai robohnya Lateka dan mundurnya pasukan Merah, 
setelah tahu bahwa Lateka dan pimpinan pasukan sisiru (si perempuan yang 
ditulis s. Sinansari Ecip itu) tewas oleh pasukan Habib Shaleh. Lateka tewas 
dengan tangan yang terputus, lobang peluru di perut, dan luka-luka lainnya. 
Saat itu sudah sangat pagi, sekitar jam 06.15 wita. 
   
Kapolres perintahkan, agar sebelum dimasukan ke dalam peti jenazah, tangan 
Lateka disambung kembali dengan dijahit, termasuk beberapa luka bekas tembakan 
itu agar diperban. Sampai di situ cerita tentang Lateka. 
   
BAGAIMANA TIBO?
   
Setelah Lateka tewas, di Tentena sedang ada konsentrasi massa yang sangat besar 
di sebuah lapangan sepak bola. Saat itu, pihak GKST membacakan "surat wasiat" 
dari Lateka yang menunjuk Tibo sebagai pimpinan Kelompok Merah. 

(Dedy Kurniawan--sekarang Tempo di Kendari---dulunya sama-sama saya di LKBN 
ANTARA Biro Palu punya foto itu).
   
Saat itu, saya memang tidak melihat Marinus. Saya hanya melihat Tibo dan 
Dominggus berwajah bengis dengan memegang parang panjang berkaos hitam. 

Kapolda Sulteng saat itu, Zainal Abidin Ishak datang untuk negosiasi agar 
menghentikan kerusuhan. Tapi malah Kapolda Sulteng nyaris tewas (sorry memang 
Kapolda ini sangat jantan--maklum orang Makassar). 
   
Tibo dieluk-elukan, disanjung-sanjung bak seorang Jenderal Besar yang akan 
memimpin pertempuran besar. Maka saat itulah, Tibo resmi menjadi pimpinan 
Kelompok Merah. Puluhan istri dan anak-anak mengaku bahwa suami mereka 
digantung dan dipenggal di depan mata kepala mereka, lalu mayatnya dibuang ke 
sungai Poso. Semuanya menunjuk Tibo, Dominggus dan Marinus. Para janda ini 
mengaku bahwa kemaluan mereka ditusuk-tusuk dengan sebatang kayu. 

Semuanya mengatakan bahwa itu dilakukan oleh Dominggus di hadapan Tiibo. Mereka 
tahu itu adalah Dominggus, karena Tibo memerintahkan dengan menyebut nama 
Dominggus.
   
Jadi, memang korban muslim di Tagolu dan sekitarnya itu dibantai oleh pasukan 
Tibo. Saya bersama salah seorang dari Dompet Dhuafa Republika, kalau saya tidak 
salah saya sebut dia dengan Mas Ari atau Eri--maaf agak lupa-- menemukan di 
baruga (tempat pertemuan)  di Desa Tagolu, banyak sekali tali bekas gantungan 
dan bekas darah orang diseret dan sudah mengering. Lalu kami juga menemukan ada 
kuburan massal yang berisi 19 mayat. Ada yang tinggal kepala, ada yang hanya 
kaki, tangan dan ada yang masih utuh. 
   
Jadi, menurut saya bahwa pantas kalau memang ketiga yang saya sebut sebagai 
PENJAGAL POSO ini pantas dihukum mati karena perbuatannya. Soal 16 nama, itu 
perkara lain lagi. Itu adalah tugas polisi untuk mengungkapnya. Belakangan kan 
Tibo sudah mengklarifkikasi bahwa Yahya Pattiro, manta Asisten I Gubernur 
Sulteng tidak terlibat. Itu bukti bahwa Tibo tak bisa dipercaya--plin-plan. 
Jadi kemudian kalau 16 nama ini terbukti, hukum juga mereka.
   
Sekali lagi, Tibo memang pantas menerima hukuman itu. Hukuman mati itu juga 
mencerminkan keadilan bagi umat Islam di Poso. Hukuman mati bagi Tibo, akan 
menjadi obat penenang bagi umat Islam di Poso. Pertanyaan kemudian, jika Tibo 
tidak dihukum mati, adakah yang bisa bertanggungjawab jika Poso kembali 
rusuh....???
   
Salam

Ochan

=================


Jay Parandy <[EMAIL PROTECTED]> wrote:    
  
 
 Tibo Hanya korban Bukan operator lapangan
 
 Pascah keluarnya keputusan hukum yang besrsifat tetap yang  dijatuhkan 
Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001,
 diperkuat Pengadilan Tinggi Sulteng, 17 Mei 2001, dan Mahkamah Agung,
 21 Oktober 2001. Penolakan grasi dari presiden 9 November 2005 kepada Tibo Cs, 
maka sudah bisa dipstikan bahwa secara hukum tibo cs telah dinyatakan bersalah 
dan dihukum mati oleh ketetapan hukum Indonesia.  
 
 Dalam melihat kasus Tibo Cs mestinya  Tibo Cs tidak diposisikan sebagai  
subjek  tunggal.  Proses hukum yang terjadi pun tidak  objektif  semua 
bukti-bukti hukum  yang ada  tidak  kongruen (sebangun) dengan penampilan tibo 
Cs, artinya Tuduhan hukum yang dialamatkan pada tibo Cs menurut saya salah 
alamat. Tibo Cs dilihat dari latar belakangnya, riwayat hidup dan tingkat 
pemahaman terhadap konflik yang terjadi, dapat dipastikan sangat tidak mungkin 
Tibo Cs adalah operator lapangan. Semua Tuduhan yang alamatkan pada Tibo Cs 
tidak sekelas dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Tibo Cs. Kalau tibo Cs 
dituduh terlibat dalam kerusuhan Poso saya setuju, akan tetapi seberapa besar 
keterlibatan Tibo dan sejauh mana Tibo Cs memahami konspirasi besar yang ada di 
dalamnya hingga Tibo Cs, seolah-olah dijadikan sebagai figur kunci dalam 
kerusuhan Posso itu yang menurut saya salah alamat. 
 Yang mestinya dicatat, dalam suatu ruang konflik yang melibatkan massa dalam 
skala besar dan cakupan wilayah yang cukup luas cuma ada dua pilihan bagi 
orang-orang yang terjebak terlibat didalamnya, yaitu kalau tidak dibunuh, maka 
pasti membunuh. Karena ngga ada orang yang akan objektif menilai. setiap orang 
hanya akan memiliki naluri bertahan. Dan Tibo Cs yang saya pahami pasti 
memiliki naluri itu pulah. 
 
 Pengadilan Kita, adalah pengadilan yang kaku. Alat Bukti hukum, saksi, tempat 
kejadian adalah tiga hal yang menjadi rujukan, persoalannya kalau orang dijebak 
untuk memenuhi tiga unsur tersebut di atas, ini kan sangat ironis. Dan Tibo Cs 
adalah orang-orang yang dikorbankan dan masuk dalam perangkap tiga unsur titik 
api dalam istilah kepolisian itu.
  
 Sekarang apa yang dijadikan tujuan dengan adanya keputusan hukum terhadap Tibo 
Cs?, kalau ini dianggap sebagai jalan untuk menuntaskan kasus kerusuhan di 
posso, maka ini salah besar, sebab jelas-jekas salah alamat. Atau jangan-jangan 
pengadilan yang diarahkan untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Kalau kita mau 
serius mestinya yang dicari buka operator lapangan kerusuhan atau orang yang 
diperalat operator seperi Tibo Cs, tapi HARUS CARI SIAPA "USER" dan "IN 
USER-NYA". 
 
 Tibo Cs dalam kerusuhan posso adalah orang-orang yang murni memparaktekan 
NALURI SELF DEFENSE,...tidak lebih dari itu. Atau mungkin Tibo Cs berada pada 
waktu dan tempat yang salah.., sehingga akibat  kerjaan negatif orang lain 
mereka yang kebagian  sukses FEE (HUKUMAN MATI)  dari persitiwa itu..... 
 
 
 "M. Ichsan Loulembah" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
 
 Republika - Kamis, 13 April 2006
 
 OPINI
 
 Merunut Kisah Tibo dkk 
 
 S Sinansari ecip, Penulis Beberapa Buku tentang Kerusuhan Poso
 
 Tibo, da Silva, dan Riwu akan dieksekusi. Grasinya sudah ditolak dan
 kejaksaan sebagai pelaksana hukuman dengan tegas mengatakan Tibo dkk
 akan dieksekusi April ini. Mari melihat tidak dari segi hukum formalnya
 -- yang konon sudah habis, tetapi dari segi peristiwanya.
 
 Kabupaten Poso yang lama --sekarang sudah dipecah-- dihuni dua kelompok
 besar pemeluk agama. Daerah pinggir Kota Poso dan pegunungan dihuni
 penduduk asli, suku Toraja, Manado, dan lain-lain. Mereka beragama
 Kristen Protestan dengan pusatnya di Tentena, yang bahkan menjadi pusat
 Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). 
 
 Daerah pantai/pesisir kebanyakan dihuni oleh pendatang Bugis, Jawa,
 Gorontalo, dan penduduk asli. Agama mereka Islam. Pemeluk Katolik hanya
 sedikit, termasuk Tibo dkk yang datang dari Flores. Tulisan ini tidak
 bermaksud membuka luka lama. Tapi tanpa memeriksa beberapa peristiwa
 penting, kasus Tibo dkk akan kehilangan konteksnya.
 
 
 GS, Tibo, Lateka
 
 Pertengahan Mei 2000, Tibo mendapat kabar dari GS bahwa Gereja Santa
 Maria akan dibakar dan umatnya akan dibunuh. Di dalam kompleks gereja
 ini ada Panti Asuhan Santa Theresia. Tibo dkk akan menjemput anak-anak
 yang sedang belajar di sana untuk dipulangkan ke rumahnya
 masing-masing. Kebanyakan mereka tidak berasal dari Kota Poso.
 
 Tibo dkk datang ke kompleks itu 21 Mei 2000. Mereka yang berjumlah 17
 orang, singgah dulu ke Tentena bertemu GS untuk memastikan kabar
 pertama. GS tetap meyakinkan Tibo bahwa serangan akan terjadi. Mereka
 bermalam di Tentena.
 
 Pada 22 Mei pukul 15.00 Wita, Tibo dkk tiba di Mo-engko. Ternyata
 penghuni kompleks belum mengetahui rencana penyerangan, seperti
 dikatakan GS. Karena sebagian siswa sedang mengikuti ebtanas, para guru
 minta penyelamatan siswa dilakukan esok harinya. Tibo setuju dan mereka
 bermalam di asrama.
 
 Pada dini hari tanggal 23 Mei, sebagian penghuni kompleks dibangunkan
 oleh hiruk pikuk. Puluhan orang, di antaranya berpakaian hitam,
 bertopeng, berikat kepala merah, dan membawa senjata apa saja (bukan
 senjata api) berlarian masuk kompleks. Sebagian mereka malah sempat
 minum dan memakan makanan kecil. Mereka ini dipimpin Ir Lateka.
 
 Rombongan ini sempat bercerita bahwa mereka telah menyerang beberapa
 kelurahan yang dilalui dan membunuh seorang polisi dan seorang mantan
 lurah. Tak lama kemudian mereka menghilang ke arah gunung melalui pintu
 belakang kompleks.
 
 Tibo menuju ke bagian depan halaman gereja. Ada beberapa polisi yang
 menanyainya. Entah bagaimana mulanya, mereka mengganggap Tibo lah yang
 mereka kejar-kejar itu. (Bagian ini ada di laporan TV).
 
 Polisi yang diberi tahu, meski agak lama dan alot, mau mengerti dan
 meninggalkan Tibo. Sebaliknya, massa Muslim yang jumlahnya makin
 banyak, kemudian marah lalu merusak dan membakar kompleks. 
 
 Penghuni kompleks, menurut Tibo, sudah lebih dulu meninggalkan area
 gereja ke arah gunung. Mereka menyaksikan dari jauh kompleksnya
 terbakar. Mereka pun menganggap Tibo sudah tewas. Anak-anak asrama
 berjumlah 85 orang, belum termasuk guru, suster, dan lain-lain. Tapi
 Tibo menyusul mereka dan bertemu di gunung.
 
 Menjelang petang mereka bertemu dengan seseorang untuk dimintai
 bantuan. Warga siap membantu tetapi mereka akan membantu rombongan yang
 terdahulu tiba. Itulah pasukan Lateka dkk. Mereka ini juga bercerita
 telah menyerang dan membunuh orang. Lateka dan beberapa orang lain
 terluka. Semua keterangan Tibo dkk disertakan dalam lampiran suratnya
 kepada presiden tanggal 11 April 2005. 
 
 Vonis mati dijatuhkan Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001,
 diperkuat Pengadilan Tinggi Sulteng, 17 Mei 2001, dan Mahkamah Agung,
 21 Oktober 2001. Penolakan grasi dari presiden 9 November 2005.
 Pengajuan kembali perkara (PK) telah dilakukan, tetapi dianggap tidak
 benar. Menurut ahli hukum, PK boleh diajukan beberapa kali bila
 syaratnya memang terpenuhi.
 
 Informasi yang berkembang kemudian adalah, Tibo dkk yang merusak dan
 membunuh tiga orang dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, yang
 sebenarnya dilakukan Lateka dkk. Ditambahkan, selain seorang polisi dan
 mantan lurah, juga seorang lain ikut dibunuh. 
 
 Tuduhan terhadap Tibo dkk juga menyangkut keterlibatannya menyerang dan
 membunuh warga Muslim di Pesantren Walisongo dan sekitarnya. 
 
 
 Baku balas
 
 Keruwetan juga terjadi pada penyerangan ke Pesantren Walisongo,
 Kilometer 9 menuju Tentena dari arah kota. Tibo dkk yang membawa pulang
 anak-anak siswa sesampai di Tentena, tidak boleh balik membawa
 pengungsi ke kampungnya. Menurut Tibo, Lateka meminta Tibo
 menggantikannya bertugas di Lage, tidak jauh dari Walisongo. Masih
 menurut Tibo, dia tidak mau mendapat tugas ini karena rinciannya tidak
 jelas. 
 
 Pesantren dibakar habis dan penghuninya dibunuh. Pada kerusuhan di
 sini, Tibo dkk dilihat oleh korban-korban yang masih hidup. Pada 2 Juni
 2000, Lateka dan pasukannya masuk kota lagi. Sial baginya, di
 Kayamanya, mereka terlibat pertempuran dengan para santri Habib Shaleh
 Alaydrus, pimpinan Majelis Dzikir Nurul Khairaat dan penduduk setempat.
 Dua tewas, yakni Paulina (perempuan) dan Lateka, karena dipukul rotan.
 Dia ditandai sebagai pimpinan karena memberi komando menggunakan
 pengeras suara (megaphone). 
 
 Siapa Lateka? Dia bekas wakil ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
 Provinsi Sulteng. Dia ipar Herman Parimo, tokoh yang tampil dalam
 kerusuhan sebelumnya.
 
 Itu adalah dua peristiwa terpenting dan pahit dalam Kerusuhan Poso.
 Mereka sudah dirujukkan oleh pemerintah di Malino, Sulawesi Selatan.
 Salah satu butir kesepakatan rujuk adalah proses hukum bagi yang
 bersalah berjalan terus. Menurut Tibo, sebelum dia menyerah kepada
 tentara, pimpinan gereja di Tentena datang ke rumahnya. Tibo diminta
 menyerah karena akan diperiksa. Mereka kemudian sampai dihukum mati,
 yang menurut mereka tidak seimbang dengan kesalahannya.
 
 
 Hukuman mati
 
 Akankah Tibo dkk dieksekusi? Jadwal akhir Maret telah terlewati dan
 akan dilangsungkan April ini. Pertanyaan intinya, bisakah proses hukum
 formal yang habis mengalahkan rasa keadilan? Yang disebut keadilan di
 sini adalah Tibo dkk merasa tidak bersalah, terutama menyangkut
 peristiwa yang dilakukan Lateka dkk. Mereka menunjuk 16 orang tokoh,
 terutama dari arah Tentena, termasuk GS, yang perlu diusut. Merekalah
 yang menurut Tibo dkk otak kerusuhan dan provokator.
 
 Tampaknya mereka yang ditunjuk Tibo dkk adalah orang-orang kuat.
 Menurut polisi, sebagian buktinya kurang kuat. Pemeriksaan di pengadilan hanya 
sepintas lalu, tidak ditemukan bukti kuat keterlibatan mereka. Ini perlu 
dituntaskan untuk memenuhi rasa keadilan.
 
 Akan bijaksana bila proses pelaksanaan hukuman mati ditangguhkan dulu.
 Periksalah dengan cermat para saksi yang memberikan kesaksian tertulis
 bahwa Tibo dkk bukanlah pelaku penyerangan yang antara lain membunuh
 polisi. Periksa pula dengan tuntas dan tanpa pandang bulu 16 tokoh yang
 disebut Tibo dkk. Kemungkinan besar, Tibo dkk terbebas dari kasus ini. 
 
 Periksa juga Tibo dkk dalam kaitan penyerangan atas Pesantren Walisongo
 dan sekitarnya. Meski Tibo mengaku tidak bersedia dilibatkan oleh
 Lateka, banyak saksi mengetahui Tibo dkk ada di tempat peristiwa dan
 salah seorang ikut berunding dengan penghuni pesantren. Di sini mungkin
 Tibo dkk ada ''andil''-nya, seberapapun kecilnya.
 
 Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut termasuk memenuhi Kesepakatan Malino.
 Sering terjadi saksi bisa meningkat menjadi tersangka. Jika Tibo dkk
 bersalah, hukumlah sesuai perbuatan pidananya. Tetapi, bila hasil
 pemeriksaan menunjukkan kebalikannya, bebaskan Tibo dkk. Jangan biarkan
 hukum di Indonesia tercoreng-moreng terus.
 
 Saksi-saksi tentang tidak terlibatnya Tibo dkk pada kasus pertama
 (dianggap sebagai pasukan Lateka), cukup banyak. Secara tertulis,
 kesaksian sudah diberikan oleh para bekas guru, bekas siswa, dan orang
 tua murid dari Kompleks Gereja Santa Maria. Ini perlu juga mendapat
 perhatian. Kalau perlu mereka diperiksa ulang.
 
 Manakala simpulan yang ditarik salah, maka yang dihukum akan salah.
 Terlanggarlah ungkapan,''Lebih baik tidak menghukum 100 orang yang
 bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah''.
 
 
 Ikhtisar
 
 *Informasi yang berkembang bahwa Tibo dkk yang merusak dan membunuh
 tiga orang dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, sebenarnya
 dilakukan Lateka dkk. 
 
 *Dalam penyerangan atas Pesantren Walisongo, banyak saksi hidup melihat
 Tibo dkk ada di tempat peristiwa dan salah seorang ikut berunding
 dengan penghuni pesantren. ( )




[Non-text portions of this message have been removed]





Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke