Sekedar sharing info..
ada tanggapan yang saya rasa cukup bagus  tentang dialog ini di:
http://akmal.multiply.com/journal/item/196

maaf kalau pernah membacanya
ini copy paste nya


Lucunya Gus Dur

assalaamu'alaikum wr. wb.

Seorang penulis pernah bilang bahwa Gus Dur ini memang tidak
tanggung-tanggung kontroversialnya.  Di satu sisi ia mengedepankan
sekularisme, tapi di sisi lain ia habis-habisan menunggangi simbol-simbol
keagamaan seperti pesantren, ke-kyai-annya, atau ke-Gus-annya.  Di sana-sini
ia berteriak agar jangan terlalu mengeksploitasi hukum Islam dalam kehidupan
berbangsa yang pluralis, namun ketika ada yang hendak melengserkannya dari
kursi kepresidenan, tiba-tiba muncul istilah "fiqih dalam menghadapi makar
terhadap pemimpin umat".  Tiba-tiba saja ayat-ayat Al-Qur'an digunakan untuk
mengecam orang-orang yang hendak menjatuhkan dirinya.  Tapi itulah politik.

Belum lama ini, situs resmi Jaringan Islam Liberal (JIL) memuat sebuah
wawancara yang dilakukan oleh M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang terhadap
mantan orang nomor satu di Indonesia itu.  Pembicaraan seputar RUU APP yang
memicu banyak perdebatan itu.  Di dalamnya, lagi-lagi, muncul begitu banyak
'kelucuan' yang sebenarnya sudah menjadi ciri khas seorang Abdurrahman
Wahid.

Ketika dimintai komentar tentang Perda Tangerang yang melarang habis
pelacuran, Gus Dur melihatnya dari 'sisi lain'.  Menurutnya, membuat aturan
yang melarang pelacuran bukanlah prioritas utama.  Di baliknya, masih ada
persoalan ekonomi.  Dengan kata lain, jika tidak ada peningkatan taraf
kehidupan, maka pelacuran tidak akan bisa dihapuskan.

Barangkali Gus Dur lupa bahwa pelacuran senantiasa ada meskipun di
lingkungan orang-orang kaya.  Memang gayanya beda, dan pelacur jenis ini
tidak *mejeng* di pinggir jalan, melainkan menunggu telpon di rumah
masing-masing.  Bayarannya bukan dalam hitungan ratusan ribu rupiah, jutaan
rupiah pun ada.  Para pelacur ini juga bukan orang miskin, namun kaum
perempuan hiperseks yang mau saja dijadikan komoditas bisnis dengan harga
yang sangat tinggi.  Tidak ada bukti bahwa pelacuran bisa dihapuskan ketika
ekonomi rakyat membaik.

Berikutnya, pewawancara meminta pendapat sang Gus tentang kesan 'arabisasi'
dalam pelaksanaan RUU APP dan sejumlah perda syariat.  Gus Dur membenarkan
kesan tersebut dan tidak lupa mempertanyakan sikap 'arabisasi' tersebut.

Pertanyaan usang soal 'arabisasi' ini sebenarnya sudah dijawab dengan sangat
jitu oleh Mas Jonru <http://jonru.multiply.com/>, namun biarlah saya
mengulangnya sedikit (dengan redaksi saya sendiri).  Anggaplah kita sebagai
bangsa Indonesia tidak boleh menerima budaya lain yang akan mencemari
kepribadian bangsa kita.  Lalu apa sebenarnya yang selama ini terjadi di
negeri ini pada era globalisasi?  Kalau kita protes pada 'arabisasi',
mengapa Gus Dur tidak pernah terdengar memprotes 'westernisasi', bahkan
cenderung mendukungnya?  Apakah orang Barat lebih baik daripada Arab?

Tapi itu semua berasal dari sebuah asumsi bahwa RUU APP memang benar-benar
sebuah proyek 'arabisasi'.  Padahal tidak demikian.  Memang tidak ada
perlunya mencontoh negara-negara Arab, karena mereka sendiri tidak
melaksanakan ajaran Islam dengan benar.  Negara manakah yang menjalankan
ajaran Islam dengan sepenuhnya?  Apakah negara kerajaan bisa dianggap telah
meneladani kekhalifahan?  Jelas tidak!  Lagipula RUU APP tidak dibuat
berdasarkan standar Islam.  Tidak ada kewajiban menggunakan jilbab bagi
perempuan di RUU tersebut.  Tidak usah sampai begitu.  Sesopan Siti
Nurhaliza pun sudah cukup, kok!  Karena itu, perlu dipertanyakan RUU manakah
yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Gus Dur ini?

Untuk melengkapi keanehan itu, Gus Dur kemudian memberikan sebuah 'contoh
kasus'.  Beginilah katanya : "Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga
Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari
bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha."

Sepertinya Gus Dur gagal membedakan antara pesantren dengan istilah
pesantren itu sendiri.  Pesantren memang sebuah lembaga Islam, tapi
istilahnya tidak berasal dari ajaran Islam.  Pesantren itu sendiri
sebenarnya tidak berbeda dengan sebuah sekolah, hanya saja sangat kental
diwarnai dengan pengajaran agama Islam.  Mengenai istilah yang digunakan
untuk melambangkan sekolah yang bernuansa Islami itu sendiri bebas
menggunakan bahasa apa pun.  Orang Nepal menggunakan bahasa Nepal, orang
Meksiko menggunakan bahasanya sendiri, dan orang Brasil tidak mesti
menggunakan bahasa Perancis.  Kalau orang Indonesia menggunakan bahasa nenek
moyangnya dahulu, apa salahnya?  Toh penamaan itu tidak mempengaruhi isi
ajarannya.

Entah kelepasan atau tidak, Gus Dur kemudian bahkan menegaskan bahwa kita
tidak bisa menerapkan syariat Islam jika bertentangan dengan UUD 45.
Pertanyaannya, apakah agamanya : Islam atau Indonesia?  Siapakah Rasul yang
ditaatinya : Muhammad saw. atau para penyusun UUD 45 itu?  Mengapa seorang
Gus bisa memberi harga yang demikian rendah terhadap agamanya sendiri?
Entahlah.

Berikutnya, sang narasumber menegaskan bahwa standar moralitas berubah dari
waktu ke waktu dan bisa juga berlainan di masing-masing tempat.  Menurutnya,
apa yang dianggap tidak senonoh di masa lalu bisa jadi wajar di masa
sekarang.  Selain itu, apa yang dianggap cabul di suatu tempat bisa jadi
hanyalah sebuah tradisi yang wajar bagi yang lainnya.

Pertanyaannya sekarang : jujurkah mereka yang mengatakan bahwa standar
moralitas itu telah berubah?  Pertama, apa betul mereka tidak merasa
terangsang sedikit pun melihat pengumbaran aurat di tempat-tempat umum di
masa sekarang ini?  Hanya sekedar kata-kata dari lidah tidak bisa menjamin
apa-apa.  Siapa pun bisa berbohong dengan mengatakan dirinya tidak
terangsang agar kaum perempuan tidak ragu lagi untuk menambah rangsangan
itu.  Seharusnya kita menggunakan *lie detector*.

Kedua, apa betul standar moralitas berubah?  Pornoaksi sudah ada sejak
dahulu kala, tidak ada yang berubah.  Tari-tari erotis sudah ada sejak
dahulu kala.  Pelacuran sudah ada sejak jaman para Nabi, dan homoseksualitas
juga sudah ada, paling tidak sejak jaman Nabi Luth as.  Dan sejak dahulu
pula, semua hal tersebut sudah merongrong kehidupan manusia.  Jadi, kata
siapa standar moralitas telah berubah?

Ketika bicara tentang sastra Islam, lagi-lagi Gus Dur gagal membedakan
antara 'sastra Islami' dengan 'sastra yang dibuat oleh sastrawan yang
beragama Islam'.  Ia menceritakan sebuah novel karangan Naguib Mahfouz yang
bercerita tentang pergulatan batin seorang pelacur.  Menurut Gus Dur, sastra
itu jelas tidak bisa dianggap sebagai sastra non-Islam karena jelas-jelas
penulisnya adalah Muslim.  Sudah jelas dimana kekeliruannya, bukan?

'Kenakalan' Gus Dur yang paling parah adalah ketika ia menyebut Al-Qur'an
sebagai kitab yang paling porno.  Begini cetusnya : "Di Alqur'an itu ada
ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut.  Cari dalam Injil kalau
ada ayat seperti itu.  Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?!  Cabul
dong ini.  Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…"

Pertama, masalah menyusui anak bukanlah perkara cabul.  Kalau Al-Qur'an
tidak memotivasi kaum ibu untuk menyusui anaknya hingga waktu yang optimal,
barangkali generasi muda umat Islam akan berkembang dengan tidak cukup
baik.  Apakah perkara menyusui anak harus diabaikan lantaran berkaitan
dengan organ payudara?  Kasihan sekali anak-anak, jika memang demikian.
Untung Al-Qur'an tidak ditulis oleh Gus Dur.

Kedua, sebenarnya Gus Dur sendiri yang menyusahkan dirinya dengan definisi
cabul yang terlalu jauh.  Tidak ada yang mengatakan bahwa seorang ibu yang
menyusui anaknya itu telah berbuat cabul.  RUU APP pun jelas tidak melarang
ibu mana pun untuk menyusui anaknya.  Bahkan hanya orang gila yang akan
melarang peristiwa alamiah yang amat bermanfaat bagi bayi, baik dari segi
medis maupun psikis tersebut.

Ketiga, apa yang Gus Dur maksud dengan Injil?  Apakah ia pernah melihat
Injil yang masih asli?  Umat Islam pasti beriman pada Injil, hanya saja kita
tidak pernah lagi menemukan Injil yang asli.  Injil yang benar pasti sejalan
dengan Al-Qur'an.  Kalau yang dimaksud adalah Bibel (Kitab Suci yang
digunakan oleh umat Kristiani sekarang), maka kita tidak boleh menyebutnya
sebagai Injil, karena Al-Qur'an dan Al-Hadits telah menegaskan bahwa umat
Nasrani telah mengubah-ubah Injil menurut kehendaknya sendiri.

Keempat, anggaplah kita menerima istilah 'Injil' untuk Kitab Suci umat
Kristiani jaman sekarang.  Apakah di sana tidak ada ayat-ayat yang berbau
cabul?  Saya rasa Gus Dur harus diperkenalkan pada sebuah
*masterpiece*karya seorang ulama besar yang bernama Ahmad Deedat
(semoga Allah SWT ridha
kepadanya).  Cukuplah buku *The Choice* sebagai referensi
atas 'keanehan-keanehan' (termasuk ayat-ayat porno) di dalam 'Injil'
tersebut.

Berikutnya, Gus Dur mengulang sebuah pernyataan klise tentang
'dipojokkannya' kaum perempuan dalam masalah moralitas bangsa.  Menurutnya,
perempuan tidak perlu 'dipersalahkan' dan 'dituduh' sebagai oknum yang
menyebabkan munculnya rangsangan bagi kaum laki-laki.  Laki-lakilah yang
salah karena seringkali menganggap perempuan sebagai objek seksual.

Gus Dur lupa bahwa standar aurat untuk lelaki dan perempuan itu berbeda.
Kalau kita menggunakan standar itu, maka jelaslah bahwa populasi laki-laki
dewasa yang menutup aurat lebih banyak daripada populasi perempuan yang
menutup aurat.  Kalau Gus Dur tidak merasa terangsang, baguslah!  Tapi tidak
semua orang seperti itu.  Aturan menutup aurat diberlakukan untuk menjaga
ketertiban, bukan mendiskreditkan perempuan.

Lalu muncullah sebuah klise yang lain : Tuhan tidak perlu dibela!  Benar
sekali, Tuhan tidak butuh dibela, bahkan Dia tidak membutuhkan apa-apa dari
siapa pun.  Seluruh umat manusia kafir atau beriman tidak akan memberikan
untung atau rugi pada-Nya.  Itulah kenyataanya.  Akan tetapi, manusialah
yang perlu melakukan 'pembelaan' itu.  Kalau kita diam saja ketika Tuhan
dihina, maka kita harus khawatir di akhirat nanti kita dimasukkan ke dalam
kelompok orang-orang yang komitmennya terhadap agama lemah.

Gus Dur juga menganggap bahwa inti ajaran kejawen itu sama dengan Islam.
Pernyataan ini tidak ilmiah karena tidak mengandung bukti apa pun.  Lagi
pula, kesamaan inti ajaran saja belum bisa memenuhi syarat di hadapan
Allah.  Kalau Allah telah menetapkan syariat yang diridhai-Nya, lalu
bagaimana?  Apakah kita masih merasa bebas menjalankan agama dengan selera
kita masing-masing?  Apakah ketetapan Allah bisa diubah dengan kesepakatan
manusia?  Betapa lemahnya Allah di mata Anda, Gus!

Melihat betapa lucunya tokoh yang satu ini, kita bisa meramalkan bahwa JIL
masih akan menjadikannya sebagai narasumber di masa depan.  Sebagaimana Gus
Dur, JIL pun penuh dengan dagelan.  Karena itu, tidak usah ditanggapi dengan
terlalu serius.  Santai dan tertawa sajalah.  Tapi jangan lupa di-*counter*ya...

wassalaamu'alaikum wr. wb.



On 5/1/06, khidir <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Afwan, setau saya bukan debat, tapi wawancara biasa,
> dan JIL dgn Gus Dur gak ada bedanya menurut penilaian
> saya.
>
> berikut wawancara tersebut:
>
> KH. Abdurrahman Wahid:
> Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
> 10/04/2006
>
> Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan
> dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di
> Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH.
> Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri
> ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu,
> kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman
> cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama
> dan bernegara di negeri ini. Berikut petikan wawancara
> M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus
> Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini
> pekan lalu.
>
> JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang
> Perda Tangerang tentang pelacuran dan rencana UU Anti
> Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Gus
> Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa
> pandang bulu itu?
>
> KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda
> Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus
> jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya.
> Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur
> itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru
> bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu
> kita perhatikan sebelum menetapkan undang-undang.
> Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua
> tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan
> pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi
> pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya,
> yang berhak menentukannya adalah Mahkamah Agung.
> Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang
> mendera negara kita yang lebih butuh penyelesaian,
> seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas kita bukan
> membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran
> itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski
> kita mau bikin seribu peraturan, tapi tidak ada
> peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan
> pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan.
> Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi
> apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.
>
> JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti
> itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur
> bagaimana?
> Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus
> spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika
> Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada
> undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun
> negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang
> Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam
> undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal,
> bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan.
> Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa
> memakai dan menetapkan undang-udang secara
> sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
>
> JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak
> mengatur persoalan agama?
> Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan
> untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan
> kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri.
> Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang
> terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana
> dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.
>
> JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim
> seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan
> menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan
> alasan otonomi daerah?
> Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya,
> kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang
> berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek
> saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy'ari, sudah
> ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh
> negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar
> masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red),
> bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya
> berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama
> dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam,
> jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada
> agama Islam saja.
>
> JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP
> dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan
> "diarabkan". Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu?
> Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa
> sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya
> juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab.
> Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab.
> Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya
> tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren
> itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri
> bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali,
> bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
>
> JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia
> secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat
> non-muslim?
> Ya itulah. Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di
> Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak
> yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah
> Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga
> bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan
> sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek
> (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau
> membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya
> itu-itu saja.
>
> JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang
> kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?
> Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi
> manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai
> dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang
> moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu.
> Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok
> pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain
> sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang
> standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok
> pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita
> mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua,
> itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus
> ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok
> untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari
> perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar
> dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian
> orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah
> tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan
> kecabulan.
>
> JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
> Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar
> (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan
> kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh
> dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu
> cabul, dong? ha-ha-ha. Kemudian juga ada kitab
> Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul?
> Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau
> dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum-penyanyi legendaris
> Mesir-bisa sambil teriak-teriak "Allah. Allah."
> Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak,
> ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali
> menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul
> dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh
> dibaca.
> Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan
> Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu
> saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan
> tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya
> dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu
> rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia.
> Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus
> sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya
> yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam.
> Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya
> mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz,
> berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah
> pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh
> sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang
> beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya
> dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut
> sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan
> kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang
> sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau
> novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.
>
> JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok
> penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena
>
> katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
> Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno
> di dunia adalah Alqur'an, ha-ha-ha.. (tertawa
> terkekeh-kekeh).
>
> JIL: Maksudnya?
> Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur'an itu ada ayat
> tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari
> dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya
> menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini.
> Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha.
>
> JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan
> melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal
> aurat perempuan lewat perda-perda?
> Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik
> saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu
> kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan
> maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan
> minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur
> itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal
> dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara
> pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu
> juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang
> seorang sufi berbeda dengan ahli syara' tentang aurat,
> demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan.
> Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak
> bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian.
> ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan
> ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
> Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan
> perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa
> merangsang syahwat, karena itu tidak boleh
> dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah. saya tiap pagi
> selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan
> ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman
> dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin
> ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu,
> kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh
> hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan
> laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya
> dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.
>
> JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB
> itu sudah disahkan. Bagaimana tanggapan Gus Dur
> terhadap revisi SKB itu?
> Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang
> saling bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan
> mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada
> aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari
> berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal
> quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua,
> soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan
> ibadah. Di sini terjadi persinggungan.
> Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada
> birokrasi. Selama ini, saya menganggap
> birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A
> akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja.
> Kalau begini terus, negara kita akan kacau-balau.
> Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan,
> isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita
> tahu sendirilah, Departemen Agama itu adalah
> departemen yang paling brengsek. Hal lain, pemerintah
> tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal
> agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara
> agama.
> JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal
> pendirian rumah ibadah yang konon serampangan?
> Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit,
> bukan keadaan yang benar. Memang ada saja orang yang
> semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal itu
> sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu
> mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala
> daerah masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan,
> peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau
> ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan
> diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara
> hukum.
>
> JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa
> mirip SK Gubernur Jawa Barat yang tidak adil dong,
> Gus?
> Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut.
> Jangan peraturannya yang dikorbankan. Masak jadi
> gubernur kaya gitu?!
> JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak.
> Banyak masjid dibom dan antar muslim saling berseteru.
> Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik
> Syiah-Sunni?
> Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang
> dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada
> kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap
> menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak
> cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan
> mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau
> pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî`ah.
> Selanjutnya kata syî`ah ini menjadi sebutan dan
> identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi
> salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan
> pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan
> sebutan Sunni.
> Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang
> perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun
> doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah
> bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan
> seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah,
> tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka
> terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut
> kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam
> dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat
> kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin
> Mu'awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia
> adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali
> berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala.
> Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan
> putra Ali bin Abi Thalib.
> Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang
> sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah,
> penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama
> berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal
> kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini
> adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan
> politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di
> Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan
> problem agama.
>
> JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik
> yang dijubahi agama?
> Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi
> klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi
> seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum
> Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik)
> hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga
> menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak
> lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan
> nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi
> merebut kekuasaan.
> Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua
> pendapat di atas. Saya cukup menghormati keturunan
> Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu
> tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi
> mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena
> soal ketertundukan (the degree of obedience) politik.
> Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi
> itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang
> menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut
> Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan
> sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada
> yang kadar sosiologisnya dalam melihat persolan kuat,
> dan ada juga yang tidak.
>
> JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang
> ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan
> tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain
> terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan
> penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur
> menanggapinya bagaimana?
> Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar
> ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan
> kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan
> keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak
> ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan.
> Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya
> mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu
> nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla al-sarâ'ir
> (kami
> hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang
> berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak
> dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu
> memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela
> Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!
>
> JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat
> Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan,
> Gus?
> Begini ya. Saya sudah lama mengenalkan beberapa
> istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan
> dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada
> masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri.
> Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak
> menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut
> kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas,
> kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak
> benar itu!
> Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru
> setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika
> mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang
> dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham
> betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama
> saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual
> keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu
> akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut
> Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu
> loh. selesai, kan? Gitu aja repot. []
>
> Referensi:
> http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028
>
>
> --- Lainufar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> > Saya juga demikian. Mohon dikirim via
> > japri.....terima kasih sebelumnya
> >
> > -----Original Message-----
> > From: media-dakwah@yahoogroups.com
> > [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of
> > aldo desatura
> > Sent: Senin, 01 Mei 2006 10:11
> > To: media-dakwah; [EMAIL PROTECTED];
> > [EMAIL PROTECTED]
> > Subject: [media-dakwah] Debat dialig Gus-dur dengan
> > JIL (mohon
> > bantuannya)
> >
> >
> > Dear,
> >
> > Saya mohon dengan sangat kepada anda yang memiliki
> > Arsip dialog debat JIL dengan Gus dur yang ada di
> > website JIL, tolong diattachment lewat Japri yah,
> > surfing internet saya dibatasi dikantor
> >
> > terima kasih banyak....
> >
> > Wassalam
> >
> >
> > HrD PT Rals. Tbk.
> >
> >
> >
> > [Non-text portions of this message have been
> > removed]
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis
> > Media Dakwah.
> > Kirim email ke:
> > [EMAIL PROTECTED]
> > Yahoo! Groups Links
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
>
>
> __________________________________________________
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com
>
>
>
>
> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
> Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
>
>
>
> SPONSORED LINKS
>   
> Rek<http://groups.yahoo.com/gads?t=ms&k=Rek&w1=Rek&w2=Beyond+belief&w3=Islam+online&w4=Nation+of+islam&w5=Media&c=5&s=78&.sig=iJlLTwy7QzHGgmLoARuwHA>
>  Beyond
> belief<http://groups.yahoo.com/gads?t=ms&k=Beyond+belief&w1=Rek&w2=Beyond+belief&w3=Islam+online&w4=Nation+of+islam&w5=Media&c=5&s=78&.sig=XDH3VghWQeDBFmHyhXcYQg>
>  Islam
> online<http://groups.yahoo.com/gads?t=ms&k=Islam+online&w1=Rek&w2=Beyond+belief&w3=Islam+online&w4=Nation+of+islam&w5=Media&c=5&s=78&.sig=eY4Hst8mIpzz379G1hUfHQ>
>   Nation
> of 
> islam<http://groups.yahoo.com/gads?t=ms&k=Nation+of+islam&w1=Rek&w2=Beyond+belief&w3=Islam+online&w4=Nation+of+islam&w5=Media&c=5&s=78&.sig=gPj9YxOGI3zzosWGeF8ncg>
> Media<http://groups.yahoo.com/gads?t=ms&k=Media&w1=Rek&w2=Beyond+belief&w3=Islam+online&w4=Nation+of+islam&w5=Media&c=5&s=78&.sig=zAcwUfOlqPXzmhwjBcOTyg>
>  ------------------------------
> YAHOO! GROUPS LINKS
>
>
>    -  Visit your group 
> "media-dakwah<http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah>"
>    on the web.
>
>    -  To unsubscribe from this group, send an email to:
>     [EMAIL PROTECTED]<[EMAIL PROTECTED]>
>
>    -  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of
>    Service <http://docs.yahoo.com/info/terms/>.
>
>
>  ------------------------------
>


[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke