ADAB PERGAULAN SUAMI-ISTRI (Tafsir QS aN-Nisa [4]: 34)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Karena itu, wanita yang salih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS an-Nisa [4]: 34). Sabab Nuzûl Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari al-Hasan, berkata bahwa seorang wanita pernah datang kepada Nabi saw. untuk mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Rasulullah saw bersabda, Qishâsh (balaslah). Kemudian turunlah ayat ini hingga selesai. Selanjutnya, wanita itu pun pergi tanpa melakukan pembalasan.1 Diriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan dengan Saad bin Rabisalah seorang pemimpin di kalangan Anshardan istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah. Ketika istrinya melakukan nusyûz, Saad menamparnya. Istri dan ayah istrinya pun pergi menemui Nabi saw. Ayahnya berkata, Putriku meninggalkan suaminya, lalu suaminya memukulnya. Rasulullah saw bersabda, Hendaklah dia membalas perlakuan suaminya. Kamudian turunlah ayat ini. Beliau bersabda, Kami menghendaki suatu perkara, sementara Allah menghendaki perkara lain. Perkara yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.2 Kedudukan Suami Allah Swt. berfirman: Ar-Rijâl qawwâmûn alâ al-nisâ (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita). Kata ar-rijâl dalam ayat ini merujuk kepada suami. Demikian pula kata an-nisâ; merujuk kepada istri. Pengertian ini dapat disimpulkan dari konteks ayat ini yang membicarakan tentang aturan pergaulan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Dalam frasa ini, suami ditetapkan sebagai qawwâm terhadap wanita (istri). Kata al-qawwâm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qâim: orang yang melakukan urusan. Jika dinyatakan bahwa laki-laki adalah qawwâm atas wanita, berarti laki-laki mengerjakan urusan wanita, menjaga, memerintah dengan benar, mendidik, dan berhak melarangnya. Dengan kata lain, al-qawâmah merupakan kepemimpinan (ar-riâsah) dan pengaturan urusan keluarga dan rumah.3 Dengan demikian, selama laki-laki menjadi qawwâm atas wanita, maka laki-laki harus mengatur, mendidik, dan memperbaikinya.4 Menurut Ibnu al-Arabi, kepemimpinan inilah yang disebut Allah Swt. sebagai kelebihan yang diberikan kepada laki-laki atas perempuan dalam firman-Nya:5 Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (QS al-Baqarah [2]: 228). Patut digarisbawahi, kepemimpinan suami atas istrinya tidak seperti halnya atasan terhadap bawahannya atau penguasa terhadap rakyatnya yang bisa bertindak otoriter. Sebab, suami-istri merupakan pasangan sahabat yang saling menenteramkan (QS ar-Rum [30]: 21, al-Araf [7]: 189). Hanya saja, dalam persahabatan itu suami ditetapkan sebagai qawwâm, yang mengharuskannya menjadi penanggung jawab atas istrinya. Kendati kehidupan suami-istri dijalin dalam konteks persahabatan, tak tertutup kemungkinan pada mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pengelolaan dan pengaturan rumah tangga. Untuk mengatasi persoalan tersebut, tentu diperlukan pemimpin yang menjadi pemegang keputusan dan kata akhir. Karena ayat ini menetapkan suami menjadi pemimpinnya, maka keputusan suami harus ditaati oleh istrinya. Di samping ayat ini, cukup banyak hadis Nabi saw. yang mewajibkan wanita/istri menaati suaminya. Berikutnya dijelaskan alasan dijadikannya laki-laki sebagai pemimpin atas wanita. Allah Swt. berfirman: bimâ fadhdhala Allâh badhahum alâ badh (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain). Menurut penjelasan para mufassir, dhamîr hum pada kata badhahum adalah laki-laki dan badh adalah wanita.6 Artinya, penyebab ditetapkannya laki-laki sebagai pemimpin atas wanita disebabkan kelebihan yang diberikan Allah Swt. kepada laki-laki atas wanita. Para mufassir pun berusaha merinci kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada wanita. Kelebihan itu ada yang berupa sifat hakiki dan ada pula yang berupa hukum-hukum syariah. Alasan berikutnya: wa bimâ anfaqû min amwâlihim (dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka). Para mufassir menafsirkan, yang dimaksudkan dengan harta yang dinafkahkan laki-laki kepada wanita adalah mahar (harta yang diberikan saat pernikahan) dan nafkah keseharian yang diberikan selama berstatus suami-istri. Kendati frasa ini berbentuk kalimat berita, ia memberikan makna perintah; bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah dari sebagian harta yang mereka miliki kepada istrinya. Kewajiban ini juga ditegaskan dalam beberapa nas lain, seperti dalam QS al-Baqarah (2): 233 dan ath-Thalaq (65): 6. Berpijak pada ayat ini, sebagian fuqaha membolehkan wanita melakukan fasakh nikah tatkala suaminya tidak memberikan nafkah kepadanya. Alasannya, kedudukan suami sebagai qawwâm atas istrinya adalah karena memberikan nafkah kepadanya. Karena itu, jika suami tidak memberikan nafkah, kedudukannya sebagai qawwâm bisa digugat sehingga istri berhak mengajukan fasakh. Demikian pendapat ulama dari mazhab Maliki dan Syafii.7 Kedudukan Istri Setelah menjelaskan kedudukan suami beserta tanggung jawab dan kewajibannya, Allah Swt. menerangkan kedudukan wanita beserta tanggung jawab dan kewajibannya. Allah Swt. berfirman: Fa al-shâlihât qânitât hâfizhât li al-ghayb bimâ hafizha Allâh (Karena itu, wanita shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara [mereka]). Wanita shalihah adalah wanita yang lurus agamanya dan mengerjakan kebaikan.8 Dalam frasa ini, mereka digambarkan sebagai qânitât (ism al-fâil dari kata al-qunût). Pada asalnya, kata qunût bermakna mudâwamat ath-thâah (senantiasa taat). Menurut Sayyid Quthb, qunût adalah ketaatan yang lahir dari keinginan, niatan, rasa suka, dan kecintaan.9 Jika mereka digambarkan sebagai qânitât berarti mereka adalah wanita muthîât, yakni wanita yang taat kepada Allah Swt. dan suaminya.10 Patut digarisbawahi, ketaatan istri kepada suaminya itu merupakan implementasi ketaatan kepada Allah Swt. Sebab, perbuatan itu diperintahkan-Nya sebagaimana ditetapkan dalam frasa sebelumnya, bahwa laki-laki adalah qawwâm atas wanita; juga perintah suami yang wajib ditaati apabila masih berada dalam koridor syari. Sifat lain wanita shalihah adalah hâfizhât li al-ghayb. Dengan demikian, wanita shalihah bukan hanya taat kepada suaminya tatkala ada di sampingnya, namun juga bisa menjaga diri tatkala suaminya sedang tidak ada. Ia bisa menjaga kehormatannya beserta rumah, harta benda, dan kehormatan suaminya. Dalam frasa ini ditegaskan, kewajiban tersebut merupakan imbalan dari Allah Swt. karena Dia telah menjaga mereka: bimâ hafizha Allâh (karena Allah telah memelihara mereka). Penjagaan Allah terhadap mereka adalah dengan mewajibkan suami untuk menjaga mereka, mempergauli mereka dengan baik, menafkahi mereka, dan mengatur urusan mereka. Bisa pula dimaknai, Allah Swt. menjaga, melindungi, dan memberi taufik kepada mereka untuk menjaga yang gaib. Demikian penjelasan para mufassir.11 Apabila Istri Nusyûz Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan istri-istri yang berbuat sebaliknya berikut sikap yang harus dilakukan suami. Terhadap mereka, Allah Swt. berfirman: wa al-latî takhâfûna nusyûzahunna faizhûhunna wa [i]hjurûhunna fî al-madhâji wa [i]dhribûhunna (wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka). Makna khawf (takut atau khawatir) dalam kata takhâfûna menurut para mufassir adalah azh-zhann (dugaan) atau al-ilm (keyakinan),12 sementara kata nusyûz berarti maksiat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan nusyûz adalah membangkang dan tidak mau taat kepada suaminya. Tindakan membangkang perintah suami jelas merupakan tindakan dosa. Sebagai qawwâm, suami wajib meluruskan istrinya dan dan mendidiknya agar kembali pada jalan yang diridhai-Nya. Ayat ini pun memberikan beberapa langkah yang dapat ditempuh suami. Langkah pertama: faizhûhunna (maka nasihatilah mereka). Al-izhah (atau al-mawizhah) adalah ucapan yang bisa melembutkan hati yang keras dan membujuk perangai yang tidak cocok.13 Suami mengingatkan mereka agar mau bertakwa kepada Allah Swt., meninggalkan perbuatan dosa, dan terdorong melaksanakan kewajiban dengan taat kepada suaminya. Jika nasihat itu masih belum bisa memperbaiki sikap mereka, langkah berikutnya adalah wa [i]hjurûhunna fî al-Madhâji. Menurut sebagian mufassir, maksudnya adalah tidak menjimaknya. Sebagian lainnya memaknainya, tidak tidur bersamanya dalam satu ranjang.14 Perlakuan ini diharapkan bisa menyadarkan istri dan menghentikan pembangkangannya terhadap suami. Jika langkah itu masih juga tidak berhasil mengubah sikapnya, maka wa [i]dhribûhunna (dan pukullah mereka). Pukulan yang dimaksudkan di sini tidak boleh membekas atau menyakitkan, seperti menggores kulitnya atau mematahkan tulangnya. Jabir menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena telah mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan menjadikan kehormatannya halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian salah seorang yang kalian benci. Jika mereka bersikukuh melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. (HR Muslim). Itulah serangkaian langkah yang dapat ditempuh suami untuk mendidik istrinya. Terhadap suami yang istrinya menyadari kekeliruannya Allah Swt. berfirman: fa in athanâkum falâ tabghû alayhinna sabîlâ (kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya). Kemudian Allah Swt. berfirman: Inna Allâh kâna Aliyy[an] Kabîr[an] (Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar). Frasa ini mengingatkan, terutama kepada suami, agar takut kepada Allah Swt. Jika dengan kekuatan dan kekuasannya seorang suami bisa menyusahkan istrinya, menghukumnya, dan bertindak sewenang-wenang terhadapnya, dia harus ingat bahwa ada Zat Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Allah Swt. tidak akan membiarkan hamba-Nya dizalimi oleh sesamanya. Frasa ini bisa pula dimaknai sebagai dorongan kepada suami untuk menerima tobat istrinya. Jika Allah Swt. Yang Mahatinggi lagi Mahabesar saja mau menerima tobat orang yang bertobat, sudah seharusnya suami lebih bisa menerima tobat istrinya.15 Aturan yang Adil Ayat ini termasuk di antara yang menjelaskan aturan pergaulan suami istri. Dalam aturan itu, tampak jelas keadilan Islam. Keadilan bukan berarti harus sama sebagaimana didengungkan sebagian orang. Sebab, pada obyek yang berbeda sifatnya, penyamaan justru merupakan ketidakadilan. Demikian pula laki-laki dan wanita. Mereka memang sama-sama manusia. Namun masing-masing memiliki sifat yang berbeda. Karena sifat yang berbeda itulah masing-masing diberi hukum, tugas, dan tanggung jawab yang berbeda. Wajar jika laki-laki mendapatkan tugas sebagai pemimpin bagi wanita karena Allah Swt. telah memberikan kelebihan kepadanya dalam perkara tersebut. Wajar pula jika wanita mendapatkan tugas dan tanggung jawab sebagai al-umm wa rabbat al-bayt (ibu dan pengatur rumah) karena wanita memang diberi kelebihan dan keistimewaan dalam perkara tersebut. Itulah aturan yang adil. Oleh sebab itu, jika aturan pergaulan suami-istri ini diterapkan, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah akan tercipta. Siapa yang tidak mendambakannya? Wallâh alam bi ash-shawâb.[] Catatan kaki: 1 As-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 513; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, vol. 1 (Beirut: Darl al-Fikr, 2000), 445; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 524; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 51-52. 3 az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 53. 4 Az-Jazairi, Aysar At-Tafâsîr. 5 Ibnu al-Arabi, Ahkâm al-Qurân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 531. 6 Ibnu al-Arabi, Ahkâm al-Qurân, vol. 1, 531; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 460; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, ; Said Hawwa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2 (tt: Dar al-Salam, 1985), 1053; 7 Al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qurân. 8 Al-Mawardi, al-Nukat al-Uyûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 480; ath-Thabari, Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, 9 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qurân, vol. 5 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992), 652 10 As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, vol. 2, 513; al-Mawardi, al-Nukat al-Uyûn, vol. 1, 480; al-Jaziri, Aysar al-Tafâsîr. 11 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2, 524; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, ; ar-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 5, 91. 12 Al-Jashshash, Ahkâm al-Qurân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 268; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 56. 13 Said Hawwa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2, 1054. 14 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 53. 15 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 58. from a webpage _________________________________________________________________ Express yourself instantly with MSN Messenger! Download today it's FREE! http://messenger.msn.click-url.com/go/onm00200471ave/direct/01/ Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/