--- In [EMAIL PROTECTED], ahmad nuim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Jalan Kalibata Utara II/84, Tlp/fax : 021-7940381 -------------------------------------------------------------------- --------------------- Berita INSISTS: DR.HAMID ZARKASYI KRITIK TAJAM NURCHOLISH MADJID DAN HARUN NASUTION Gagasan pembaruan Islam yang digulirkan Nurcholish Madjid dan Harun Nasution kembali mendapatkan kritik yang mendasar dan serius. Kali ini, kritik tajam itu disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam acara tasyakkur dan pidato ilmiah atas kelulusan doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC- IIUM), pada Sabtu 16 Desember 2006. Acara tasyakkur Hamid Fahmy diselenggarakan INSISTS di Gedung Gema Insani, Depok, dan dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan, tokoh dan pimpinan Ormas Islam, profesional, dosen, mahasiswa, dan aktivis dakwah. Selama hampir dua jam, hadirin dibuat tidak bergerak, khusyu' menyimak paparan Hamid yang bertema `Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat'. Pidato peradaban Hamid ini diakui sejumlah peserta sangat luar biasa, karena dipersiapkan dengan sangat serius dan berisi hal-hal yang mendasar dalam upaya membangun peradaban Islam yang dimulai dari upaya perumusan konsep-konsep mendasar dalam pemikiran Islam. Selain mengangkat keunggulan dan kecemerlangan tradisi dan sejarah Islam, Hamid juga memaparkan dan memberikan kritik-kritik yang mendasar dan sistematis terhadap tradisi pemikiran Barat yang kini banyak diusung dan dijiplak oleh sebagian kalangan cendekiawan Muslim. Hamid mengajak para cendekiawan untuk mengkaji dengan serius pemikiran Barat agar tidak salah dalam mempersepsikan Barat dan mengambil atau menolak nilai-nilai Barat. "Tetapi, itu harus dilakukan setelah mendapat bekal pemahaman Islam yang memadai," ujarnya. Menurut Hamid, karena tidak melakukan penelitian dengan cermat antara tradisi Islam dan barat, ada yang secara gegabah misalnya menyatakan, bahwa Barat maju karena mengambil pemikiran Ibnu Rusyd dan umat Islam mundur karena mengambil pemikiran al-Ghazali. Padahal, kata Hamid, David Hume dan Malebanche justru mengambil pemikiran al- Ghazali yang menyatakan, bahwa hukum kausalitas tidak pasti, tetapi membuang unsur ketuhanannya. Masalah ini dibahas panjang lebar dalam disertasi Hamid yang berjudul `al-Ghazali's Concept of Causality'. Secara khusus, Hamid memaparkan hakekat modernisme dan postmodernisme Barat dan pengaruhnya kepada beberapa pemikir dan cendekiawan di kalangan umat Muslim, seperti Fazlur Rahman. Menurut Hamid, identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri- ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dichotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio - dalam pengertian reason, bukan `aql dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis. Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Indonesia, Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam, ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung , Penerbit Mizan, cetakan ke VIII, 1995). "Istilah-istilah yang digunakan adalah murni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga," ujar Hamid, yang merupakan putra ke-9 dari Kyai Imam Zarkasyi, pendiri PP Gontor Ponorogo. Menurut Purek III Institute Studi Islam Darusalam (ISID) Gontor ini, banyak persoalan yang perlu diklarifikasi seputar gagasan Nurcholish Madjid. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur'an telah memerintahkan penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam al-Qur'an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru). Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. `'Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam,'' kata Hamid. Dengan gagasan sekularisasinya, menurut Hamid, Nurcholish terjebak pada pemisahan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan meninggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia `menuhankan dirinya' untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam. Hamid juga mengkritik cara Nurcholish ketika membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi, simpul Hamid, "Secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).'' Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul "Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh". Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Kanada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN. Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah. "Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi tidak terbukti dalam sejarah," kata Hamid. Dalam sambutannya, KH A. Cholil Ridwan, ketua MUI yang juga alumnus PP Gontor Ponorogo menceritakan pengalamannya menimba ilmu di Gontor, termasuk kepada KH Imam Zarkasyi. "Beliau itu lahir batin guru saya," paparnya. Ia mengaku tetap memegang teguh berbagai pelajaran dan nasehat Kyai Imam Zarkasyi dalam kehidupannya. Kini, dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi, Cholil mengaku bahagia dan tenang. Sebab, katanya, selama ini dia bimbang dengan banyaknya alumni Gontor yang masih mengagumi dan memuja Nurcholish Madjid. "Hamid punya tugas berat untuk meluruskan pemikiran-pemikiran yang menyimpang yang disebarkan sejumlah alumni Gontor," kata Cholil Ridwan. (INSISTS, 18 Desember 2006).
__________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed] --- End forwarded message ---