Salah Sangka Pada Allah SWT

Kita semua tahu bahwa Allah SWT itu ada, tetapi hanya sedikit 
diantara kita yang mengenal Nya. Dampaknya sangat berbeda antara 
hanya tahu dan mengenal. Tahu ada di fikiran, sedangkan mengenal 
sudah menjamah wilayah perasaan. Dalam berkomunikasi, Orang yang 
hanya tahu, mudah salah faham, sedang diantara sesame orang yang 
sudah saling mengenal, selalu terjalin saling memahami. Demikian juga 
dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan. Berikut ini kasus yang 
menimpa seorang mahasiswa, klient saya, dan kasus ini saya tulis di 
buku saya; Konseling Agama Teori dan Kasus, juga saya muat kembali di 
buku Psikologi Keluarga, cet ke 3. dengan judul Salah Sangka kepada 
Tuhan; sbb;

Seorang isteri dirut BUMN menemui penulis, mengadukan perilaku anak 
lelakinya yang tidak difahaminya. Kata ibu tersebut, anak lelakinya 
yang sekarang duduk pada semester 6 pada sebuah akademi bank sejak 
empat bulan lalu menunjukkan perilaku yang aneh, yaitu selalu 
mengurung diri dalam kamar. Pulang dari kuliah, langsung masuk kamar, 
tidak mau makan bersama dengan keluarga, tidak juga duduk-duduk 
bersama dengan kerluarga.  Makan dan minum ia ambil sendiri ketika 
tidak ada orang dan ia makan di kamarnya. Setiap ditanya ada masalah 
apa, ia selalu menjawab nggak apa-apa, saking tidak fahamnya, 
ayahnya  sering memarahinya, dan semakin dimarahi membuatnya menjadi 
semakin diam dan semakin mengurung diri. Jika ada teman-teman 
kuliahnya datang, ia juga tidak bersedia menemuinya dengan alasan 
kurang sehat. Pokoknya, kata ibunya, saya benar-benar tidak faham, 
tidak mengerti,  dan akhirnya saya cemas. Pernah dibawa ke psikiater, 
tetapi ia tetap diam, tidak mau menjawab, dan ia pun merasa enggan 
dibawa ke psikiater. Kata ibunya, anaknya rajin salat, dan bahkan 
selama mengurung diri sering dipergokinya malam hari sedang salat 
malam.

Anatomi masalah dan terapinya
Dari ceritera ibunya, maka saya menduga bahwa anaknya merasa tertekan 
karena melakukan suatu perbuatan dosa yang tidak diketahui 
keluarganya. Ia merasa berdosa besar, tetapi ia tidak mungkin 
menceriterakannya kepada keluarganya. Semakin hari ia menjadi semakin 
tertekan, karena dikejar-kejar oleh perasaan berdosa. Jiwanya menjadi 
gelap karena terkurung oleh perasaan berdosa. 

Kepada ibu itu saya minta agar anaknya diajak main ke rumah saya 
untuk ngobrol-ngobrol: Ketika datang ke  rumah, saya minta ibunya 
pulang dulu saja, sekitar tiga jam lagi biar supir menjemput, dan 
pemuda itu saya ajak jalan-jalan.
Dalam obrolan perjalanan, saya katakan bahwa saya sudah tahu 
permasalahan anda, (padahal saya belum tahu), dan saya katakan bahwa 
sebenarnya Tuhan telah mengampuni dosa anda, karena anda (dalam 
percakapan saya pakai kata kamu) telah dipenjara selama empat bulan 
oleh hati nuranimu sendiri.dan tahukah anda, nurani itu mempunyai hot 
line dengan Tuhan. Tuhan mendengar tangisanmu ketika kamu salat 
malam. Saya katakan bahwa jangan kau kira Tuhan itu galak, Tuhan itu 
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan tersenyum lho melihat kamu 
menyesali perbuatanmu. Sudahlah, yang penting sekarang kau harus 
memulai lembaran baru, waspada di hari yang akan datang, jangan 
sekali-kali kau ulangi perbuatanmu.

Ternyata ia cukup dua kali saja bertemu saya, dan pertemuan keduapun 
hanya untuk nonton film, tidak berbicara lagi tentang masa lalu, 
tetapi berbicara tentang masa depan.

Ibunya menelpon penulis, menyatakan keheranannya atas kesembuhan 
anaknya, dan menanyakan problem apa sebenarnya yang selama ini 
dipendam oleh anaknya, maka saya jawab, tidak penting yang sudah 
lalu, yang penting masa depan, saya jawab demikian karena sebenarnya 
sampai akhirpun saya tidak tahu, tetapi pemuda itu merasa bahwa saya 
telah mengetahui rahasianya, padahal yang sebenarnya saya benar-benar 
tidak tahu karena memang tidak menanyakannya.

Jadi kasus ini adalah kasus keagamaan, yaitu bahwa seseorang merasa 
tidak akan diampuni Tuhan atas dosa yang telah diperbuatnya, karena 
ia tidak tahu bahwa Tuhan Maha Pengampun. Perasaan berdosa itu 
membuatnya tertekan dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. 
Untungnya ia termasuk pemuda yang taat beragama, meskipun pengetahuan 
agamanya masih rendah. Dari konseling dengan saya, pengetahuannya 
tentang uhan sudah mulai bergeser pada mengenal. Kerajinannya 
menjalankan salat malam membuatnya mudah mengenal Tuhan yang Maha 
Pengampun.

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com


Kirim email ke