Menikah, Kenapa Takut?   
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
   
  
Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, 
  menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka 
  berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya 
  merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, 
  mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah 
  tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul 
  setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? 
  Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
   
  Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang 
  tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi 
  kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. 
  Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. 
  Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa 
  kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah 
  barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan 
  bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan 
  menolak perzinaan.
   
  Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, 
  padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata 
  semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan 
  untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari 
  ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai 
  mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya 
  akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan 
  untuk membenarkan sikap.
   
  Menikah itu Fitrah
   
  Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar 
  berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, 
  dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). 
  Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan 
  fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada 
  dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. 
  Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan 
mendapati 
  perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah 
tahwiila, 
  dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)
   
  Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada 
  posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah 
  tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja 
  secara sempurna secara universal.
   
  Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, 
  tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang 
  dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali 
  masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. 
  Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.
   
  Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan 
  menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, 
  di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini 
  adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa 
  sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan 
  dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan 
  abad yang silam.
   
  Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan 
  keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun 
  bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga 
  Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, 
  mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin 
  tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat 
  dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah 
  memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut 
  Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan 
  yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.
   
  Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya 
  hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah 
  perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, 
  dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa 
  setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya.
  Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan 
  sentosa sesuai dengan fitrahnya.
   
  Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap 
fitrah. 
  Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. 
  Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga 
hancurnya 
  kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang 
  janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, 
  hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.
   
  Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi 
  pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat 
  yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. 
  Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, 
  “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara 
  berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih 
  dari mereka yang telah menikah.”
   
  Menikah Itu Ibadah
   
  Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan 
  hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. 
  Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari 
  bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih 
  menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti 
  ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa 
  kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)
   
  Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih 
  sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, 
  mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang 
  tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga 
  moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut 
  orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang 
  yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa 
  kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada 
  mereka yang belum menikah.
   
  Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu 
  tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka 
  tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah 
  yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata 
  Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa 
  merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda 
  untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun 
  juga ibadah.
   
  Pernikahan dan Penghasilan
   
  Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, 
  jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai 
  penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia 
  mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai 
  mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari 
  penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir 
  demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?
   
  Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan 
  bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah 
  karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang 
  pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya 
  yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang 
  diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. 
  Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya 
  yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar 
  maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.
   
  Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. 
  tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai 
  pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan 
  tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, 
  manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang 
  tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku 
  Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan 
  untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. 
  pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa 
  menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. 
  Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar 
  berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan 
  beban sedikit pun.
   
  Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka 
  muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang 
  bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki 
  kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya 
  yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup 
  manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang 
  menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri 
  secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan 
  beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan 
  utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
   
  Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah 
pernikahan. 
  Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. 
  Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara 
yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin 
  Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi 
  Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, 
  agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, 
  masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
   
  Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah 
  dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu 
  kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah 
  untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai 
  ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, 
  Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
   
  Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, 
  “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan 
  ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). 
  Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya:
  “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” 
  (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
   
  Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, 
  “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan 
  Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu 
  dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” 
  (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua 
  secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah 
  tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada 
  Allah dengan membangun pernikahan.
   
  Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup 
  melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali 
  untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa 
  yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. 
  Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya 
  demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa 
  banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya 
  lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan 
  penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.
   
  Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul 
  tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan 
  ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan 
bebas 
  tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat 
  kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus 
  menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau 
  ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.
   
  Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing 
  dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi 
  bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang 
  seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki 
  seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang 
  oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak 
  hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam 
  sisi ekonomi.
   
  Pernikahan dan Menuntut Ilmu
   
  Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, 
  baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. 
  Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya 
  kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
   
  Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: 
  lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan 
  semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya 
  kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita 
  tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah 
  adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita 
  mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
   
  Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan 
  mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak 
  sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah 
  doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum 
  mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga 
  bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan 
  selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, 
  tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu 
  atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan 
  untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau 
  belum mempunyai penghasilan.
   
  Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi 
  seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari 
  ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu 
  tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi 
  untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah 
  kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan 
  adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. 
  Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga 
  menegakkan rumah tungga yang Islami.
   
  Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan 
  dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal 
  beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu 
  Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya 
  terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus 
  dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas 
  sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan 
  gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. 
  Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. 
  Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika 
  ia terus ditahan-tahan.
   
  Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. 
  Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah 
  seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. 
  Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? 
  Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga 
tidak. 
  Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak 
  sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu 
  sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar 
  ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, 
  melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
   
  Kesimpulan
   
  Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang 
  harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah 
  yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan 
  agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang 
  benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya 
  tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
   
  Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian 
  “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita 
  merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa 
  saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia 
  pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi 
  kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal 
  kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari 
  nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang 
  di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
   
  Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu 
  berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci 
  banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah 
  mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, 
  seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk 
  mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan 
  yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun
  pernikahan. 
   
  Wallahu a’lam bishshawab. 
  http://www.dakwatuna.com/index.php/baitul-muslim/2007/menikah-mengapa-takut/
  
       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke