NASIB PEKERJA
  (Sebuah Renungan di Hari Buruh)
   
   
  Kemajuan teknologi yang sangat pesat dan kemudahan akses komunikasi 
informasi, pada era “Ekonomi Baru” saat ini, turut merubah pola perusahaan 
dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para 
pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. 
Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang 
menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan 
laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu 
mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat 
perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan 
rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan 
dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek 
sewa pelengkap produksi.  Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang 
berbunyi “pecat pekerja anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka
 selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan”. Di samping itu menahan pekerja 
yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat “besar 
kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu 
pekerja anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan upah lebih rendah 
menanti di meja manajer SDM anda”.
   
  Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah 
lewat. Hal ini berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat 
begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja 
menurun, tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya 
menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja 
kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru. Ketidakpastian kerja, bukan 
hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja “kantoran”. 
Kemajuan teknologi membuat perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. 
Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia 
pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau. Saat ini, yang harus dimiliki 
oleh seorang pekerja adalah “kemampuan bekerja seumur hidup” serta “belajar 
seumur hidup”. Kedua hal tersebut yang dapat memungkinkan seorang pekerja dapat 
pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Dari data yang
 ada (Stiglitz, 2003), terlihat bahwa mereka yang lebih terdidik akan lebih 
mudah berpindah pekerjaan, dan hanya sedikit yang mengalami penurunan 
pendapatan ketika kehilangan suatu pekerjaan dan cepat mendapat pekerjaan baru 
kembali.
   
  Kondisi pekerja pada era ekonomi baru, saat ini, yang sangat mengandalkan 
teknologi komputer, mengingatkan kejadian yang sama pada abad 18-19 (El Fisgon, 
2004), ketika para majikan memanfataatkan perubahan teknologi untuk mengurangi 
sebagian pekerja dan menurunkan gaji pekerja lainnya. Revolusi teknologi 
memungkinkan monopoli-monopoli besar menata ulang produksinya dan 
merestrukturisasi tenaga kerjanya pada skala global. Sebagai tambahan 
efisiensi, korporasi global dengan mudahnya merelokasi pabrik-pabrik mereka di 
mana saja yang upahnya paling murah. Hal ini membuat mereka mampu menekan upah 
pekerja sedunia dan merontokkan serikat-serikat pekerja serta meluncurkan aksi 
global baru yang berupaya menggugurkan segenap pencapaian gerakan buruh pada 
masa revolusi industri. Hak-hak buruh yang berusaha digugurkan pada era ekonomi 
baru ini antara lain adalah bekerja delapan jam sehari, upah minimum, dan 
tunjangan kesehatan, serta dana pensiun. Dengan demikian pemenuhan
 kesejahteraan pekerja malah menjauh akibat globalisasi ekonomi yang terjadi 
saat ini.
   
  Seiring perubahan gaya perekonomian, yang semakin konsumtif, membuat profesi 
pekerja yang selama ini sangat jarang menjadi debitur perbankan mulai menjadi 
obyek penyaluran kredit bank-bank dan lembaga keuangan lainnya. Saat ini, jauh 
lebih banyak profesi pekerja yang menjadi debitur perbankan dibandingkan 
profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi 
petani. Kaum pekerja terlibat pinjam meminjam dengan pihak bank, bukan hanya 
sekedar untuk pembiayaan investasi pokok seperti rumah dan mobil, namun 
sebagian telah terjerumus dalam perlombaan meraih mimpi-mimpi konsumerisme 
sebagai seorang modernist yang tiada garis akhir.
   
  Seorang kolumnis, Ellen Goodman (dalam Korten, 1999), menggambarkan bagaimana 
tingkah laku orang-orang (pekerja) yang dianggap normal saat ini. Mereka 
memakai pakaian yang dibeli untuk bekerja dan berkendaraan melalui jalanan 
dengan mobil kreditan guna mencapai tempat pekerjaan yang dibutuhkan. Dengan 
pekerjaan tersebut, mereka dapat membayar pakaian, mobil, dan rumah yang 
dibiarkan kosong sepanjang hari, agar dapat tinggal di dalam rumah tersebut. 
Mereka memiliki kartu kredit lebih dari satu dan menggunakan semuanya. Untuk 
membayar tagihan dan mendapatkan kepentingan yang konvensional, mereka menjadi 
semakin terperosok ke dalam tekanan karir pada korporasi tempat mereka bekerja. 
Semakin banyak yang mereka peroleh, maka semakin banyak pula yang mereka 
belanjakan, dan semakin keras pula mereka harus bekerja untuk  membayar semua 
itu. 
   
  Permasalahan penting yang membayangi pinjaman yang diperoleh oleh para 
pekerja dari lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya adalah 
terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiglitz, suku bunga tinggi 
sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada 
tiga hitungan, yaitu:
    
   Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;  
   Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;  
   Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin 
berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.
  Dengan demikian, risiko yang sangat besar, setiap saat, menghadang di depan 
para pekerja yang mendapatkan pinjaman yang sewaktu-waktu harus membayar lebih 
dari yang semula direncanakan, sedangkan penghasilan belum tentu bertambah atau 
bahkan mungkin hilang.
   
  Di sisi lain, sejalan dengan munculnya era ekonomi baru pada tahun 1990-an, 
kebanyakan mahasiswa-mahasiswa terbaik memasuki fakultas-fakultas yang 
berkaitan dengan bisnis dan teknologi informasi. Siswa-siswa unggulan tidak 
tertarik mengabdi pada sosial masyarakat, tetapi tertarik kepada pesona 
korporat dengan imbalan materi yang berlimpah. Bidang pekerjaan yang menarik 
adalah pekerjaan-pekerjaan yang mempertaruhkan uang yang berlimpah. Akan tetapi 
akibat lain yang harus diterima, adalah seorang yang ahli dalam satu teknologi 
langsung menjadi usang begitu teknologi tersebut dilampaui oleh teknologi 
lainnya, sehingga pada usia 35 tahun seorang pekerja sudah masuk “kotak” jika 
dia belum mendapat posisi manajemen senior pada perusahaan tempatnya bekerja.
   
  Fenomena di atas dapat kita saksikan pada iklan-iklan lowongan pekerjaan saat 
ini. Lowongan untuk staff pemula bagi seorang lulusan perguruan tinggi 
(sarjana), dibatasi pada usia 25 tahun, dan lowongan manager dibatasi pada usia 
35 tahun. Sehingga pekerja-pekerja yang mempunyai pendidikan tinggi standard 
namun belum mempunyai posisi yang “kuat” pada suatu perusahaan harus bersiap 
untuk masuk “kotak” atau malah kehilangan pekerjaannya karena terjadinya 
perampingan organisasi perusahaan jika tidak  selalu “belajar seumur hidup”. 
   
  Berubahnya perekonomian tahun 1990-an juga memaksa pekerja menanggung risiko 
jauh lebih besar dari era ekonomi sebelumnya. Risiko yang mereka tanggung bukan 
hanya saat mereka bekerja tetapi juga pada saat pensiun. Para pekerja 
mengandalkan program dana pensiun untuk meningkatkan penghasilan mereka pada 
masa pensiun nanti. Dalam mengelola dana pensiun, agar mendapatkan hasil yang 
maksimal, lembaga dana pensiun mempertaruhkan dananya pada saham di pasar 
modal. Namun, seringkali mereka tidak sadar, bahwa  gelembung saham membuat 
laba menjadi tampak lebih besar dan membuat gelembung itu sendiri menjadi kian 
besar lagi. Dengan demikian, sebenarnya semua itu hanya sebuah fatamorgana yang 
tidak disadari bahwa akan dapat meletus pada suatu saat.
  Anjloknya bursa saham, akan menyebabkan lembaga dana pensiun yang menempatkan 
dananya pada bursa saham akan langsung kekurangan dananya. Kondisi ini pada 
akhirnya akan berakibat kepada buruk bagi pekerja yang memiliki dana pensiun 
tersebut, yang tadinya diinvestasikan untuk persiapan penunjang kehidupan 
mereka di kala sudah tidak dapat bekerja lagi.
   
  Dari uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa pada era ekonomi baru, 
kebanyakan pekerja tidak lagi bekerja untuk satu majikan seumur hidupnya, 
tetapi berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Derasnya perubahan 
ini akan membuat perusahaan akan jatuh bangun dan lapangan kerja akan 
terstrukturisasi dengan cepat. Dengan demikian, cara berpikir tentang 
bentuk-bentuk tradisional mengenai “kepastian kerja” berubah menjadi  
“kemampuan bekerja” yang harus dibarengi dengan “belajar seumur hidup” agar 
tidak cepat tersisih dan masuk kotak dalam dunia kerja. Akhirnya, perlu pula 
dipahami bahwa pada era ekonomi baru, bagaimanapun juga posisi kaum pekerja 
berada dalam posisi yang relatif kalah dibandingkan majikan mereka. Hal ini, 
harus menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan (majikan) 
tidak mengeksploitir asimetri kekuatan tersebut.  
  


  Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
   
   

       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke